“Hitam dan putih bukanlah lawan, melainkan dua sisi dari sebuah kebenaran yang utuh.”
Aku melihatmu di dalam perut ikan paus bayangkan!
dan kukatakan hari ini adalah hari jujur Guetta. Lalu, aku lari kembali ke kamar Viviana. “Aduh,” gumamku, “masa iya ada paus di sini?
Gimana bisa aku tahu?”
Maria, yang sedang sibuk, mengangkat kepalanya. “Alpha dan Beta udah siap, Bu.
Arbei segarnya juga udah di keranjang.”
Aku menghela napas. “Terima kasih, Sayang.
Kita harus ubah rencana. Sepertinya kawanan paus itu bergerak ke timur. Jadi, kita nggak bisa ke utara.”
Stephanus, yang muncul entah dari mana, tersenyum. “Kapas lembut ini memang luar biasa, ya. Rasanya seperti mimpi.”
“Iya, benar,” kataku. “Tapi kita harus ingat, cerita tentang permen tetap berlanjut, asal kita rajin sikat gigi.”
Anakku mendekat, matanya berbinar.
“Bu, dongeng malam ini tentang apa?”
Aku tersenyum. “Tentang dua rusa di Padang Zenith, Sayang. Jangan lupa tutup mulutmu yang lucu itu. Dan… matikan lampu sebentar, ya? Biar hati kita tenang.”
Kepada Emanuel, pacarku, aku berbisik, “Kereta akan berangkat. Janji, ya, kamu akan kembali?”
“Janji,” jawabnya, sambil memasukkan saputangan ke sakunya. “Tenang, nggak ada tembakau Kuba kok.”
Neneknya mengajak Ingrid menari. “Ingrid, sayang, menarilah balet Swan Lake!”
Ingrid menggeleng. “Nggak, Nenek! Aku mau menari dengan piring di senja hari. Ini lebih seru! Kayak naik roda kereta kuno di desa, tapi lebih berkesan.”
Sarange Kwan Bom…
Qua Shi, melihat bulan yang terlihat malas, tersenyum pada seseorang. “Kancingmu lepas. Sini, biar kujahit,” katanya lembut. “Aku suka kamu, tahu?”
“Benarkah?” jawab orang itu, sedikit terkejut.
“Tentu,” kata Qua Shi. “Bandara selalu memberi harapan, kan? Serahkan hatimu padaku. Aku pilih jalan pergi, biar salju menutup kisah kita yang penuh warna merah.”
Aku terpejam di pelukanmu. “Sungguh menakjubkan,” bisikku. Bibir kita menyatu, seperti opera yang tak terhentikan! “J’aime Sam Brodin City,” gumamku, “kata-kata yang menutup pagi.”
“Hitamku adalah putihmu,” bisikmu.
Salju turun semakin lebat, membungkus kota dalam selimut putih tebal. Qua Shi dan kekasihnya berjalan beriringan, langkah mereka meninggalkan jejak di hamparan salju yang masih perawan. Udara dingin menusuk tulang, namun kehangatan di antara mereka terasa lebih nyata.
“Kau tahu,” kata Qua Shi, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin, “aku selalu merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan dengan Gueta.”
Kekasihnya, yang bernama Liam, merapatkan jaketnya. “Guetta? Yang kau temui di perut ikan paus itu?”
Qua Shi mengangguk. “Ya. Hari kejujurannya… rasanya masih menggantung di udara. Aku merasa perlu kembali, untuk menyelesaikannya.”
Liam menggenggam tangan Qua Shi erat-erat. “Kau yakin? Perut ikan paus itu… tempat yang mengerikan.”
“Aku tahu,” jawab Qua Shi, “tapi aku merasa terikat padanya. Seperti sebuah janji yang belum ditepati.”
Mereka berjalan dalam diam sejenak, hanya suara langkah kaki mereka yang memecah kesunyian. Salju terus turun, menyelimuti dunia dalam keheningan yang damai. Tiba-tiba, Liam berhenti.
“Lihat!” katanya, menunjuk ke arah sebuah cahaya redup di kejauhan.
Qua Shi mengikuti arah pandang Liam. Cahaya itu tampak semakin dekat, semakin terang. Sebuah rumah kecil, dengan asap mengepul dari cerobongnya, muncul di antara pepohonan yang tertutup salju.
“Itu… rumah Guetta,” bisik Qua Shi, jantungnya berdebar kencang.
Mereka berjalan menuju rumah itu, rasa penasaran dan sedikit ketakutan bercampur aduk dalam hati mereka. Ketika mereka sampai di depan pintu, Qua Shi ragu-ragu sejenak. Lalu, dengan napas dalam, ia mengetuk pintu.
Seorang wanita tua membukakan pintu. Wajahnya ramah, namun matanya menyimpan sejuta cerita. “Qua Shi?” tanyanya, suaranya lembut.
Qua Shi mengangguk, tak mampu berkata-kata. Dia tahu, petualangannya belum berakhir. Hari kejujuran Guetta masih menunggunya. Dan, dia siap untuk menghadapinya.
Wanita tua itu mempersilahkan mereka masuk. Rumah kecil itu hangat dan nyaman, berbau kayu bakar dan rempah-rempah. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu tua terpajang, di atasnya terdapat sebuah buku tua yang tampak usang.
“Duduklah,” kata wanita tua itu, yang ternyata adalah Guetta. “Aku sudah menunggumu.”
Qua Shi dan Liam duduk di kursi kayu yang sederhana. Gueta menatap Qua Shi dengan tatapan yang penuh arti.
“Hari kejujuranmu belum berakhir, Qua Shi,” kata Guetta, suaranya berat. “Ada sesuatu yang harus kamu selesaikan.”
Gueta membuka buku tua itu. Halaman-halamannya berisi tulisan tangan yang rapi, namun sulit dibaca. “Ini adalah catatan perjalananmu,” kata Gueta. “Catatan tentang hitam dan putih.”
Qua Shi mengambil buku itu dengan tangan gemetar. Dia mulai membaca, halaman demi halaman. Catatan itu menceritakan tentang perjalanan hidupnya, tentang pilihan-pilihan yang telah dia buat, tentang hitam dan putih yang selalu berdampingan dalam dirinya.
“Hitamku adalah putihmu,” bisik Qua Shi, mengingat kata-kata terakhir yang pernah diucapkan. Dia menyadari, hitam dan putih bukanlah dua hal yang berlawanan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya saling melengkapi, saling menyempurnakan.
Liam memperhatikan Qua Shi dengan penuh perhatian. Dia melihat perubahan dalam diri Qua Shi, sebuah pemahaman yang mendalam tentang dirinya sendiri.
“Aku mengerti,” kata Qua Shi, akhirnya. “Aku harus menerima kedua sisiku, hitam dan putih. Hanya dengan begitu, aku bisa menemukan kedamaian.”
Guetta tersenyum. “Itulah hari kejujuran yang sesungguhnya, Qua Shi. Menerima diri sendiri apa adanya.”
Salju masih turun di luar, namun di dalam rumah kecil itu, kehangatan dan kedamaian terpancar. Qua Shi dan Liam meninggalkan rumah Guetta dengan hati yang lebih tenang. Petualangan mereka belum berakhir, namun mereka telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: pemahaman diri. Hitam dan putih mereka, kini menyatu dalam harmoni yang sempurna.
Setelah meninggalkan rumah Guetta, Qua Shi dan Liam berjalan beriringan di bawah salju yang masih turun. Udara dingin terasa lebih lembut, seolah-olah ikut merayakan kedamaian yang telah ditemukan Qua Shi. Jejak kaki mereka di salju, kini menjadi simbol perjalanan panjang yang telah mereka lalui, perjalanan menuju pemahaman diri yang lebih dalam.
Liam memeluk Qua Shi erat. “Aku bangga padamu,” katanya, suaranya penuh kasih sayang.
Qua Shi tersenyum.
“Aku juga bangga padamu,” jawabnya.
“Kau selalu ada untukku.”
Bumi Hujan, 3 Desember 2024