Humanisme Pramoedya: Melampaui Marxisme dan Eksistensialisme?
Humanisme Pramoedya: Melampaui Marxisme dan Eksistensialisme?

Pramoedya Ananta Toer, sang begawan sastra yang dikenal dengan ketajaman kritik sosial dan pemikiran progresifnya, kerap diasosiasikan dengan Marxisme. Namun, benarkah humanisme Pramoedya semata-mata merupakan cerminan dari ideologi Marxis? Atau justru terdapat nuansa lain, sebuah resonansi dengan eksistensialisme, yang menyelinap di balik barisan kata-kata penuhnya?

Mungkin, pertanyaan seperti itu adalah sebuah jebakan, sebuah upaya untuk menyederhanakan kompleksitas pemikiran Pramoedya ke dalam kategori-kategori yang kaku dan menyesatkan. Seperti yang sering Zizek katakan, “Yang nyata selalu lebih liar daripada yang simbolik.” Humanisme Pramoedya, layaknya realitas itu sendiri, penuh dengan kontradiksi, ambiguitas, dan paradoks yang menantang setiap upaya untuk mendefinisikannya secara final.

Perdebatan seputar humanisme Pramoedya telah lama bergulir, menimbulkan berbagai interpretasi dan perdebatan yang tak kunjung usai. Di satu sisi, ada yang melihat humanisme Pramoedya sebagai sebuah kritik terhadap Marxisme, sebuah upaya untuk menemukan jalan alternatif menuju emansipasi manusia yang tidak terjebak dalam dogma materialisme historis. 

Di sisi lain, ada yang mengartikan humanisme Pramoedya sebagai sebuah bentuk eksistensialisme, sebuah penegasan akan kebebasan dan tanggung jawab individu di tengah absurditas eksistensi.

Namun, mengapa kita harus memilih salah satu? Mengapa kita tidak bisa melihat humanisme Pramoedya sebagai sebuah symptom, sebuah gejala dari kegelisahan eksistensial manusia modern yang terjebak dalam jaringan kekuasaan dan ideologi? Bukankah justru dalam tegangan antara Marxisme dan eksistensialisme, antara kolektivitas dan individualitas, antara struktur dan agensi, terletak kekuatan dan relevansi humanisme Pramoedya? 

Saya akan mencoba membedah kompleksitas humanisme Pramoedya dan menganalisis relasinya dengan Marxisme dan eksistensialisme, tanpa berpura-pura untuk menawarkan jawaban yang pasti dan menyeluruh.

Humanisme dalam Karya Pramoedya

Humanisme Pramoedya tercermin dengan jelas dalam berbagai karyanya, terutama dalam Tetralogi Buru yang monumental. Melalui kisah Minke, seorang priayi Jawa yang terdidik dalam budaya Barat, Pramoedya menggugat struktur kekuasaan kolonial dan feodal yang menindas rakyat jelata. Minke, dengan kesadaran kritisnya, berjuang untuk kesetaraan dan keadilan sosial, menyuarakan hak-hak kaum tertindas yang dibungkam oleh sistem.

Namun, figur Minke sendiri mengandung kontradiksi yang menarik. Ia adalah seorang priayi, bagian dari elit yang justru diuntungkan oleh sistem yang ia kritik. Ia terdidik dalam budaya Barat, yang notabene merupakan budaya penjajah. Dengan kata lain, Minke adalah subyek yang terbelah, terjebak dalam dikotomi antara penindas dan tertindas, antara kolonial dan terjajah.

“Tirani muncul bukan karena kekejaman orang-orang jahat, tetapi karena ketidakpedulian orang-orang baik.” Kutipan dari Rumah Kaca ini mengungkapkan esensi humanisme Pramoedya yang menentang penindasan dalam bentuk apapun. 

Ia menyerukan kepedulian dan solidaritas untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Namun, kutipan ini juga mengandung sebuah sinisme yang tajam. Jika ketidakpedulian orang-orang baik adalah penyebab tirani, lalu siapakah “orang-orang baik” itu? Bukankah mereka juga bagian dari sistem yang menindas?

Di sini, kita dapat melihat sebuah tema yang berulang dalam karya-karya Pramoedya, yaitu tema kemunafikan. Para penjajah yang mengklaim membawa misi peradaban, para priayi yang mengutuk penindasan sementara mereka sendiri menikmati hak istimewa, para agamawan yang menyerukan moralitas sementara mereka melakukan korupsi dan kekerasan. Pramoedya, dengan ketajaman matanya, membongkar topeng-topeng kemunafikan ini dan mengungkapkan wajah sejati kekuasaan.

Dalam Gadis Pantai, Pramoedya mengungkapkan sisi humanisme yang lebih personal dan eksistensial. Ia mengisahkan nasib tragis seorang gadis desa yang dijadikan gundik oleh seorang Bupati. Melalui kisah ini, Pramoedya menunjukkan bagaimana sistem patriarki dan feodal merampas kebebasan dan martabat perempuan. 

Ia mengajak kita untuk berempati dengan penderitaan manusia dan meresapi ketidakadilan yang tersembunyi di balik struktur sosial. Namun, Gadis Pantai juga dapat dibaca sebagai sebuah alegori tentang Indonesia itu sendiri, seorang “gadis pantai” yang dieksploitasi dan diperdaya oleh kekuasaan kolonial dan neo-kolonial.

Lebih jauh lagi, Gadis Pantai juga mengungkapkan dimensi traumatik dari sejarah Indonesia. Trauma kolonialisme, trauma kekerasan, trauma kemiskinan, semuanya tercermin dalam nasib tragis sang gadis pantai. Pramoedya, dengan kepekaannya sebagai seorang sastrawan, mengajak kita untuk tidak hanya memahami sejarah secara intelektual, tetapi juga merasakannya secara emosional.

Kritik Terhadap Marxisme?

Meskipun Pramoedya dikenal sebagai seorang aktivis komunis dan karya-karyanya sarat dengan kritik sosial ala Marxis, humanismenya tidak selalu sejalan dengan dogma Marxisme. Pramoedya tidak hanya fokus pada perjuangan kelas dan materialisme historis, tetapi juga memberikan perhatian yang besar pada individu dan kebebasannya.

Di sini, kita dapat melihat pengaruh pemikiran humanis Marxis seperti Antonio Gramsci, yang menekankan pentingnya kesadaran kritis dan hegemoni budaya dalam perjuangan kelas. Namun, Pramoedya melangkah lebih jauh dari Gramsci. Ia tidak hanya melihat individu sebagai agen revolusi, tetapi juga sebagai subyek yang memiliki keunikan dan kompleksitas tersendiri.

Dalam beberapa karyanya, Pramoedya bahkan mengkritik kekerasan dan dogmatisme yang sering kali menyertai gerakan komunis. Ia menunjukkan bahwa revolusi sosial harus dilakukan dengan cara yang manusiawi dan demokratis, menghormati hak-hak individu dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 

Kritik ini menunjukkan bahwa Pramoedya tidak tertarik pada sebuah utopia komunis yang abstrak dan jauh dari kenyataan, melainkan pada sebuah masyarakat yang adil dan manusiawi yang dibangun di atas fondasi kebebasan dan martabat manusia.

Resonansi dengan Eksistensialisme?

Selain kritik terhadap Marxisme, humanisme Pramoedya juga menunjukkan resonansi dengan eksistensialisme, terutama pemikiran Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Tema-tema seperti kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup yang menonjol dalam karya-karya Pramoedya merupakan ciri khas dari filsafat eksistensialisme.

Namun, eksistensialisme Pramoedya bukanlah eksistensialisme yang pesimis dan nihilistik seperti yang sering ditemukan dalam karya-karya Sartre dan Camus. Eksistensialisme Pramoedya adalah eksistensialisme yang berakar pada perjuangan dan harapan. Minke, meskipun dihadapkan pada absurditas eksistensi dan ketidakadilan sosial, tidak pernah menyerah pada keputusasaan. Ia terus berjuang dan mencari makna hidup, bahkan di tengah penderitaan dan kehilangan.

Di sini, saya melihat sebuah kemiripan antara Pramoedya dan Frantz Fanon, seorang filsuf dan psikiater dari Martinik yang menulis tentang pengalaman kolonialisme dan perjuangan pembebasan nasional. Fanon, dalam bukunya The Wretched of the Earth, menekankan pentingnya aksi dan kreativitas dalam melawan penindasan. Ia menyerukan sebuah “humanisme baru” yang lahir dari perjuangan pembebasan dan menciptakan makna baru bagi eksistensi manusia.

Humanisme dalam Konteks Sosial-Politik Indonesia

Humanisme Pramoedya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik Indonesia pada masanya. Ia adalah sebuah respons terhadap penjajahan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial yang merajalela. 

Pramoedya, yang mengalami sendiri kekejaman penjajahan dan rezim otoriter, mencurahkan kegelisahannya dalam karya-karyanya. Ia menggunakan sastra sebagai senjata untuk melawan penindasan dan menyuarakan hak-hak kaum tertindas.

Di sinilah letak “keunikan” humanisme Pramoedya. Ia bukanlah humanisme yang abstrak dan universal, melainkan humanisme yang lahir dari rahim perjuangan konkret melawan penindasan. Humanisme Pramoedya berakar pada pengalaman historis bangsa Indonesia yang panjang dan berliku, yang diwarnai oleh kolonialisme, feodalisme, dan kekerasan.

Tetralogi Buru, misalnya, adalah sebuah monumen sastra yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda. 

Melalui kisah Minke dan tokoh-tokoh lainnya, Pramoedya menunjukkan bagaimana penjajahan tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga merampas martabat dan jati diri bangsa Indonesia. Ia menggugat mitos “misi peradaban” yang digunakan oleh para penjajah untuk menjustifikasi kekejaman mereka.

Namun, kritik Pramoedya tidak hanya tertuju pada penjajah asing. Ia juga menyoroti ketidakadilan sosial yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Dalam Gadis Pantai, ia mengungkapkan bagaimana sistem patriarki dan feodal menindas perempuan dan kaum miskin. 

Ia menunjukkan bahwa kemerdekaan politik tidak secara otomatis menghilangkan penindasan dan ketidakadilan. Perjuangan untuk emansipasi manusia adalah sebuah proses yang panjang dan berliku, yang memerlukan kesadaran kritis dan partisipasi aktif dari seluruh rakyat.

Humanisme di Era Modern

Meskipun ditulis pada masa lalu, karya-karya Pramoedya tetap relevan untuk konteks saat ini. Nilai-nilai humanisme yang ia usung, seperti keadilan sosial, kebebasan, dan martabat manusia, masih sangat penting dalam menghadapi tantangan zaman modern.

Di era globalisasi ini, kita dihadapkan pada paradoks baru. Di satu sisi, dunia semakin terhubung dan batas-batas geografis semakin kabur. Di sisi lain, kesenjangan sosial semakin melebar dan eksploitasi manusia semakin canggih. 

Kapitalisme global, dengan logika akumulasi yang tak kenal batas, menciptakan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang tertindas.

Teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia, justru seringkali memperkuat struktur kekuasaan dan penindasan. Algoritma media sosial, misalnya, menciptakan echo chambers yang mengisolasi kita dalam gelembung informasi kita sendiri, memperkuat bias dan prasangka kita. 

Surveillance capitalism mengumpulkan data pribadi kita dan menjualnya kepada pihak ketiga, merampas privasi dan otonomi kita.

Krisis lingkungan, yang mengancam kelangsungan hidup manusia, adalah puncak dari keserakahan dan ketidakpedulian kita terhadap alam. Eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali, polusi, dan perubahan iklim adalah bukti nyata dari kegagalan kita untuk hidup selaras dengan alam.

Dalam situasi ini, humanisme Pramoedya menawarkan sebuah alternatif, sebuah jalan keluar dari kebuntuan. Ia mengajak kita untuk menolak setiap bentuk penindasan dan eksploitasi, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. 

Ia menyerukan sebuah solidaritas global untuk mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Ia mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab, yang memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri dan menciptakan dunia yang lebih baik.

Humanisme Pramoedya adalah sebuah warisan berharga yang patut kita jaga dan lestarikan. Ia adalah sebuah sumber inspirasi untuk terus berjuang mewujudkan cita-cita kemanusiaan, yaitu sebuah dunia yang bebas dari penindasan, ketidakadilan, dan penderitaan. Ia adalah sebuah ajakan untuk terus “berjalan terus”, seperti kata Pramoedya sendiri, menuju sebuah masa depan yang lebih manusiawi.

Kesimpulan

Kembali ke pertanyaan awal, “Apa sebenarnya humanisme yang diusung Pramoedya dalam karya-karyanya?” Jawabannya, seperti yang telah kita telusuri bersama, bukanlah sebuah rumus sederhana yang dapat diringkas dalam satu kalimat. Humanisme Pramoedya adalah sebuah labirin, sebuah jaringan yang kompleks dan dinamis, yang terbentang di antara berbagai kutub pemikiran: Marxisme dan eksistensialisme, kolektivitas dan individualitas, struktur dan agensi, masa lalu dan masa kini.

Ia adalah humanisme yang lahir dari api perjuangan melawan penindasan, tetapi juga menemukan resonansinya dalam kegelisahan eksistensial manusia modern. Ia adalah humanisme yang mengakar pada konteks sosial-politik Indonesia, tetapi juga menawarkan relevansi universal bagi perjuangan emansipasi manusia di seluruh dunia.

Pramoedya, melalui karya-karyanya, mengajak kita untuk tidak hanya menjadi penonton pasif dalam drama kehidupan, tetapi juga menjadi aktor yang aktif dan kritis. Ia mengingatkan kita bahwa kebebasan bukanlah sebuah hadiah, melainkan sebuah perjuangan yang tak kunjung usai. Ia menyerukan sebuah humanisme yang militan, yang tidak takut untuk menghadapi kekuasaan dan ketidakadilan.

Seperti kata Pramoedya sendiri, “Seorang intelektual harus berani menentang arus.” Humanisme Pramoedya adalah sebuah seruan untuk menentang arus, untuk mempertanyakan segalanya, untuk mencari kebenaran yang tersembunyi di balik permukaan. Ia adalah sebuah kompas yang mengarahkan kita menuju sebuah dunia yang lebih manusiawi, sebuah dunia di mana keadilan sosial, kebebasan, dan martabat manusia dijunjung tinggi.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here