Ia yang Membakar Dirinya dalam Keramaian di Kepala
Ia yang Membakar Dirinya dalam Keramaian di Kepala

“BPD!” Psikiater bertubuh tambun itu menatapku dengan penuh keyakinan. Sedang hatiku kian bertanya-tanya, “Apa aku separah itu?” 

“Ini memang tak mudah dan akan berlangsung seumur hidup. Tapi dengan meminum obat, semua sakit yang selama ini kamu keluhkan akan perlahan hilang.” Ia mulai sibuk mengetik di komputer lalu mencoret-coret sesuatu di selembar kertas putih dengan kening berkerut dan muka dipenuhi minyak. Sesekali ia membetulkan kacamatanya.

Hening sejenak, di dalam kepala aku hendak mendebat. Namun, lagi-lagi terjadi pertentangan di sana.

“Apakah bisa sembuh tanpa obat?” tanyaku lugas saat ia melepaskan pena dan membetulkan duduknya.

- Poster Iklan -

“Nah, ini dia ciri khas orang BPD. Dia pintar. Tahu dia efek obat. Jadi begini….” Ia mulai menjelaskan dengan panjang lebar. Sesekali aku mendebatnya dan tak jarang ber-oh panjang. 

Percakapan yang panjang dan ia masih saja berusaha meyakinkanku perihal obat itu. Ahh, aku tahu meminum obat bukanlah solusi. Uh!

Pada akhirnya mulutku terkunci, kepalaku bising dan aku membawa pulang tiga macam obat-obatan: 

Propranolol hcl 10 mg
Thiamazole 5 mg
Methylprednisolone 4 mg

***

Kau tahu? Ada keramaian di kepalaku yang datang serentak dan mendadak. Kadang-kadang membikin pening hingga mual menjadi-jadi. 

Ialah kepribadian ambang yang melingkupi hidupku berhari-hari, bertahun-tahun tanpa aku sadari betul. Ia membikin kekacauan di mana-mana. Mengukuhkan keragu-raguan di bentang akal. Menimbulkan gelombang sakit yang menyesakkan dada hingga vonis hipertiroid kutelan bulat-bulat. 

Pernahkah keragu-raguan memenuhi dirimu? Pada pukul 07.00 pagi, kau bangun dengan keinginan hendak menuruti mau ibu-bapakmu, lalu pukul 09.00 di pagi yang sama, kau memilih membersamai anak-anakmu dan menanggalkan permintaan ibu-bapakmu. Namun, dengan sesak di dada dan kepala yang pening. 

Seketika tubuhmu lemas. Kau diam-diam saja. Menonton Netflix hingga pukul 01.00 siang. Kau abaikan sejenak kebutuhan anak-anakmu, demi hal-hal berlebihan.

Pernahkah mendadak kau ingat hal-hal buruk yang pernah kulalui? Lalu kau menangis histeris dan membayangkan hal-hal buruk lainnya yang akan datang. 

Kadang-kadang kau menggigil sendirian di tengah-tengah hangatnya ruang tamu. Saat-saat pikiranmu mengajak bernostalgia pada segala pengkhianatan suamimu di dua-tiga tahun yang lalu. 

Tak jarang kau benci pengabaian suamimu. Lalu menghempas apa-apa saja yang kamu temui dan membenamkan dalam-dalam kukumu pada lenganmu sendiri dengan kesadaran yang hakiki.

***

“Untuk apa minum obat?” Lelaki yang kunikahi ini lagi-lagi meremehkanku. Ia mementalkan segala pendapatku.

“Obatnya itu cuma pikiran tenang. Kalo minum obat malah jadi korslet otaknya.” Ia sungguh-sungguh menohokku. Dan aku tak mampu mendebatnya. Lagi-lagi.

Kusimpan dalam-dalam obat-obatan itu. Tidak hanya di dalam tas, tapi juga di dalam kedalaman pikiranku. 

Ahh, rasa-rasanya aku hendak menangis. Akan tetapi, di sisi lain aku hendak menertawakan kekonyolanku. Lalu harus bagaimana ekspresiku?

Akhirnya aku memilih diam dengan sorot mata memandang tajam ke lain benda. Sumpah, aku tak akan menatap matanya. Aku benci dia! Benar-benar benci.

Dalam otakku mulai bergumul. Mula-mula satu pasang debat. Lalu beranak-pinak semacam amoeba. Membelah diri semaunya. Hingga sesak di dalam sana.

Aku masih saja hening dalam penglihatannya, sedang ia memandangku dengan jengkel. Kadang-kadang ia mengusap wajahnya dan ber-uh panjang. Sementara aku masih mematung. 

“Dasar gak beres!” Lekas ia menuju kamar, meninggalkan aku dengan pertanyaan di kepala yang hampir-hampir meledak. Penuh dan payah.

“Aku benci kamu, bangsat!” Kuambil gelas plastik bermerk lalu mengempasnya keras-keras dengan segala kemarahan yang meledak-ledak.

Ia datang menghampiriku. Hanya untuk berkata, “Apa-apaan, kau? Dasar gak beres!” Lalu melesat kembali menuju kamarnya.

“Kau pikir aku jadi begini karena siapa? Karena kamu, bangsat!” Napasku naik turun. Kusandarkan tubuh di sofa lalu mulai mencengkeram pergelangan tanganku dengan kuku-kuku yang hendak memasuki kulit tangan.

Aku tahu ini sakit tapi hanya ini yang dapat menghentikan keramaian di kepala. Tenang, aku tak hendak bunuh diri. Hanya sedang menghadirkan ruang sakit lainnya, yang lebih dalam dan nyata. 

“Kamu itu kurang iman. Ngapain ke psikiater segala?” Suara ibuku mendadak mendominasi. Cengkeraman di pergelangan tangan kian dalam saja. Sementara sesak di dada muncul dengan mual yang menjadi-jadi. 

Rasa-rasanya leherku tersangkut. Aku butuh pengalihan.

“Akan kutinggalkan kalian semua, bajingan!” Lekas kuraih gunting yang tergeletak begitu saja di depanku. Kucucuk-cucuk ia ke pergelangan tanganku dengan segala keriuhan di kepala dan kekosongan pandangan.

Suamiku muncul, mungkin ia sedang menatapku heran. 

“Sudah, hentikan.” Ia merebut gunting dengan suara yang dipelan-pelankan. Aku hanya diam, mematung. 

Ia duduk di dekatku dan hendak memelukku. Namun, aku berlari ke kamar dan mengunci pintu.

Baru saja aku hendak berbaring, ia sudah menggedor-gedor pintu. Memaksaku keluar. Sungguh, aku malas melihatnya. “Tuhan, aku ingin raib saja.”

Nyatanya kubukakan pintu. Ia memelukku dan aku menangis dengan gigil di seluruh badan. 

“Maafkan aku, ya?” Ia terlihat tulus. Mendadak di dalam kepalaku menjadi sunyi. Mungkin suara-suara itu sedang tertidur. Mereka sama letihnya denganku.

“Kita jemput anak-anak sambil jajan, yuk!” Tiba-tiba saja aku merasa mencintainya dengan teramat menggebu-gebu. Dengan kelapangan pikir yang mendadak bertandang.

Benar, aku BPD. Dalam hitungan menit moodku berubah. Kadang-kadang, aku merasa bukan diriku seutuhnya. Suatu waktu, aku menjadi kepribadian yang lain, menyebalkan dan dibenci banyak orang; suatu waktu, aku menjadi seseorang yang banyak senyum dan senang berbagi.

Bolehkah, aku menganggap diriku sebagai ia–orang kedua dalam diriku sendiri? Pribadi yang mampu membakar dirinya dalam keramaian di kepala. Sebab, aku tak pernah sanggup.

“Boleh, ya?”

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here