Di dalam L’Etranger, Albert Camus menceritakan seorang kulit putih yang kembali dari pantai panas setelah beres membunuh laki-laki Arab. Laki-laki Arab yang anti pied noir (pemukim Eropa di Aljazair) itu mati, dan orang kulit putih itu dihukum, lalu lehernya bertemu alat pemenggal kepala (guillotine). Camus menggambarkan peristiwa pembunuhan itu, juga kontur Aljazair, dengan kata-kata yang begitu membekas:
“Ada silau merah yang sama sepanjang mata memandang, dan ombak kecil-kecil menerpa pasir panas dengan sedikit terengah-engah. Saat aku pelan-pelan berjalan menuju batu-batu besar di ujung pantai, aku bisa merasakan pelipis membengkak di bawah cahaya yang menyala-nyala … Dan setiap kali merasakan amuk panas menghantam dahi, aku menggertakkan gigi, mengepal tinju di saku celana, dan mengunci setiap saraf untuk menangkis marah matahari, dan rasa linglung yang gelap mulai menyusuri tubuh … yang harus saya lakukan hanyalah berbalik, pergi, dan tak memikirkan apa pun lagi. Namun seluruh pantai berdenyut, dengan panas yang menekan-nekan punggung.”
Alam membentuk manusia; dan dari Camus kita tahu bahwa manusia Aljazair dibentuk oleh teluk-teluk dan ngarai-ngarai yang murka—juga, terkadang, sejarah yang pampat.
Alam Aljazair selalu keras dan jarak akan membuat orang yang tak mengenal Tanah Sejuta Martir itu terpukau. Dari Aljir ke Tamanrasset, yang terletak di pegunungan tandus Bulan Hoggar, misalnya, berjarak 1.300 mil dan harus menyusuri gurun-gurun tandus; dari Aljir ke Oran, misalnya, berjarak 300 mil dan harus melewati bukit dan lembah-lembah. Aljazair begitu luas, ia empat kali lebih luas dari kota-kota metropolitan Perancis, dan Aljazair merupakan negara terbesar kesepuluh di planet ini.
Tak hanya luas dan panas, Aljazair, bagi Camus, adalah tempat di mana “…para dewa kencan, atau tempat para dewa-dewa tidur.” Negara itu besar, sangat indah, ia terdiri dari ngarai, gurun dan teluk-teluk; oleh karena kontur Aljazair yang keras itu pula, tiba-tiba, ia bisa jadi negara yang serba bengal dan bengis. Tapi Aljazair yang keras itu juga bisa takluk.
Pada 14 Juni 1830, di pagi buta ketika matahari terbit sedikit di timur cakrawala seperti bola logam panas, tentara Prancis berlabuh di Sidi-Ferruch, 30 km di barat Aljir. Sidi-Ferruch dipilih Prancis karena pantainya yang dangkal—tentu agar kapal-kapal, juga tongkang datar, gampang dijangkar. Setelah berlabuh, mereka mempersiapkan senjata untuk berjaga-jaga jika ada serangan musuh, dan memastikan delapan puluh empat kapal dan sampan-sampan kecil bisa mengangkut 37.000 tentara Prancis sampai di teluk Aljazair.
Armada ini merupakan ekspedisi paling besar setelah kampanye Napoleon. Armada ini berangkat dari Toulon, daerah pesisir selatan Prancis, tiga minggu sebelum tiba di Sidi-Ferruch. Di bawah matahari Laut Mediterania yang menyala-nyala itu para tentara mengatur siasat matang-matang; sebuah rencana menginvasi Aljazair.
Setelah tiba dan berhasil berlabuh di Sidi-Ferruch, dalam empat puluh delapan jam, persisnya pada tanggal 16 Juni 1830, tentara Prancis telah merubah pedalaman menjadi sebuah perkemahan lengkap dengan rumah sakit, bivak, dan istal. Setelah mendirikan perkemahan, terjadi pertempuran kecil antara tentara Prancis dan sekelompok tentara Utsmaniyah. Dan pada 19 Juni 1830, 35.000 tentara Utsmaniyah menyerang perkemahan Prancis. Namun, bedil-bedil dan granat-granat Eropa membuat Prancis cepat menang, dan memaksa mundur tentara Utsmaniyah. Pertempuran tersebut juga membuat Staoueli, tempat utama perkemahan Utsmaniyah—yang terletak di dataran tinggi dan menghadap langsung ke teluk—berhasil dikuasai Prancis. Hal ini membuat Prancis, sembari memanggang unta-unta jarahan dengan jilat api unggun, merancang invasi militer lanjutan ke Ibukota Aljir.
Tak ada yang bisa menghentikan amuk Prancis, dan Aljir jadi panik. Ratusan orang lari luntang-lantung ke luar kota, entah ke arah timur atau ke daerah pegunungan di selatan demi menghindar dari segala hal yang berbau maut. Eksodus jadi bola salju ketika Kesultanan Utsmaniyah di Istanbul, dengan terang-terangan, mengatakan tak ingin mempertahankan Aljazair..
Operasi Prancis untuk menduduki Ibukota Aljir resmi dimulai pada 29 Juni 1830—lima belas hari setelah berlabuh di Sidi-Ferruch. Dan, pada 05 Juli, tentara Prancis berhasil merangsek masuk ke Aljir. Komandan Prancis, Jenderal Bourmont, memberi jaminan bagi keyakinan agama—tentu saja Islam sebagai agama mayoritas—dan keyakinan lokal agar tetap dihargai dan terus hidup. Namun, kampanye toleransi Bourmont itu hanya bertahan dua puluh satu hari. Setelah janji palsu itu, Prancis meruntuhkan masjid-masjid dan menggantikannya dengan gereja-gereja. Mereka yang protes akan bertemu moncong senjata dan telah menewaskan 400 manusia.
Mengapa Prancis menginvasi Aljazair yang tersusun dari gurun, ngarai dan teluk yang monoton itu? Pada tahun 1827 terjadi insiden konyol dan Prancis baper. Persisnya, invasi itu terjadi karena “insiden kocokan lalat” (fly whisk incident) pada tahun 1827—tiga tahun sebelum kapal-kapal dan tongkang datar Prancis berlabuh di Sidi-Ferruch.
Insiden Prancis baper itu sebagai berikut.
Pada tahun 1820 wilayah-wilayah Aljazair merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah-wilayah tersebut mengalami krisis ekonomi karena aliran keuangan yang akan masuk ke Aljazair dibajak. Dalam rangka mengatasi krisis ekonomi, Kesultanan Utsmaniyah menaikkan pajak rakyat lokal, dan suka tak suka, hal ini menyebabkan terjadinya pembangkangan sipil.
Karena situasi Aljazair sedang krisis, Kesultanan Utsmaniyah ingin hutang Prancis selama perang Napoleon dilunasi. Namun, ketika konsul Prancis menolak bayar hutang, Khodja Hussein menyerang konsul Prancis dengan kata-kata kasar, ia menyebut konsul Prancis tersebut sebagai orang yang “jahat, tak setia pada janji, dan begundal penyembah berhala.” Insiden kocokan lalat ini berakibat pada krisis diplomasi antara Kesultanan Utsmaniyah dengan Prancis. Pada akhirnya, dialog-dialog politik bertemu gang buntu.
Setelah insiden kocokan lalat, media Prancis mulai memprovokasi untuk balas dendam. Nasionalisme ditegakkan, dan media Prancis memberi julukan kepada Kesultanan Utsmaniyah sebagai sarang bajak laut. Dan, seperti yang sudah-sudah, sembarang penyamun harus diberi pelajaran dan hidung-hidung mereka harus bonyok. Puncaknya, pada 02 Maret 1830, Charles X mengumumkan pertemuan Majelis Nasional agar Prancis, mau tak mau, melancarkan invasi. Raison d’etre invasi ini adalah perlunya balas dendam atas penghinaan serius pada Prancis, menumpas sarang bajak laut, dan mencaplok Aljazair untuk komunitas Kristen.
Meski Kesultanan Utsmaniyah tak lagi jadi pemimpin dan Aljazair sah diambil alih, bukan berarti rakyat Aljazair rela diatur oleh titah Prancis. Umat Islam maghribi melawan dan tak sudi dipimpin oleh orang-orang yang gandrung membakar masjid.
Kita tahu, kedatangan pertama kali bangsa Arab ke Aljazair terjadi pada tahun 647 Masehi—sebagai bagian dari perluasan Islam dari semenanjung Arab setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. pada tahun 632 Masehi. Hal ini membuat agama Islam tersebar luas dan menjadi konstituen dasar struktur sosial di Aljazair. Di pedesaan-pedesaan Aljazair, bentuk utama Islam adalah sufisme; tarekat Rahmaniya di Kabylia, tarekat Tijana di Sahara, tarekat Darqawa dan Sadziliyyah di Oran. Tak heran jika perlawanan terhadap kolonial Prancis ini dipimpin oleh otoritas pusat keagamaan atau pimpinan tarekat—yang sering juga disebut marabout. Oleh karena itu, motivasi utama perlawanan muslim maghribi adalah agama.
Sejak perlawanan terhadap Kesultanan Utsmaniyah ketika penarikan pajak yang sangat tinggi, tentu juga terhadap kolonialisme Prancis, masyarakat Aljazair mempunyai paradigma yang telah mendarah daging: kebencian terhadap kekuasaan yang datang dari luar. Paradigma ini juga menyebabkan pemberontakan serius dan melahirkan nasionalisme Aljazair. Pada 1943, Ferhat Abbas mengumumkan sebuah manifesto yang berisi sebuah hak mutlak Aljazair untuk membentuk konstitusi. Prancis abai terhadap manifesto Abbas, mereka menganggap bukan ancaman serius. Akibatnya, masyarakat Aljazair mulai membentuk Amis du Manifeste et de la Liberte (AML). Puncaknya, pada Selasa 08 Mei 1945, 115 tahun setelah Prancis berlabuh di Sidi-Ferruch, Aljazair benar-benar berusaha keluar dari kerangkeng Barat.
Bouzid Saal, laki-laki muda berusia 22 tahun, pada 08 Mei 1945, ditembak mati tentara Prancis ketika menolak menurunkan bendera Aljazair. Saal menjadi martir pertama dan menjadi permulaan dari pembantaian berantai di Setif, Guelma dan Kherrata (kota-kota yang menjadi basis utama perlawanan). Tepat pada hari kematian Bouzid Saal—juga tepat di hari ketika Nazi Jerman menyerah pada sekutu—ribuan masyarakat Aljazair pro-kemerdekaan turun ke aspal-aspal.
Prancis murka, amuk polisi menjadi-jadi, di bawah komando Jenderal Raymond Duval puluhan ribu manusia Aljazair di jalan-jalan kena pentung, lebam, dan nasib paling buruk adalah ditembak bedil Prancis lalu ajal datang. Prancis mengamuk, mereka menyerang dengan membabi buta tak pandang bulu: 44 desa hangus dalam 15 hari. 45.000 orang bernasib sangat buruk, mereka menjemput maut di timur laut Setif atau di Guelma atau di Kherrata. Namun pemberontakan itu bisa diredam, dan 26 Juni 1945 huru-hara lindap. Tapi murka Aljazair tetap berkobar diam-diam dan rakyat Aljazair mulai menyusun siasat.
Sembilan tahun Aljazair menyimpan murka setelah Pembantaian Setif. Dan, amarah itu meletus pada 01 November 1954 ketika terjadi peristiwa mengerikan Gueree d’Algeria, Perang Kemerdekaan Aljazair. Pemberontakan dan upaya kemerdekaan Aljazair tersebut dipimpin oleh Front de liberation nationale (FLN), juga didampingi oleh Mouvement national algerien (MNA) dan Parti Communiste Algerien (PCA). FLN menyerang fasilitas militer Prancis dan tempat aktivitas pied-noir, serangan ini dikenal sebagai Toussaint Rouge dan terus meluas. Kebebasan, seperti yang telah ditunjukkan sejarah, menuntut jutaan tumbal.
Pada 1956, 400.000 tentara—lebih tepat jika kita sebut mereka tukang jagal—dikirim dari Prancis, lengkap dengan artileri, granat, proyektil dan senapan. Pada 1957, pemimpin operasi militer, Jenderal Jacques Massu, ingin markas-markas FLN di Aljir hancur. Demi mencapai visi itu, ia menggunakan taktik gila: menyiksa tahanan perang.
Tentara Prancis menangkap para pemberontak, dan menyiksa mereka di ruang interogasi kamp militer yang angker dan penuh siasat. Mereka dicambuk, dipentung, dipukul hingga bonyok; disetrum dengan menggunakan gegene; jika perempuan diperkosa; kepala tahanan ditenggelamkan dalam air dan dada mereka nyaris meledak, waterboarding; juga, tubuh mereka disulut puntung rokok umpama asbak yang tak berharga. Semua kebengisan ini terjadi agar informasi tentang FLN cepat didapat. Gilanya, penyiksaan ini tak sekadar inisiatif individu, melainkan terstruktur dan datang dari atas, juga dengan skala yang luas. Benar, kegilaan ini telah menjadi bagian integral dalam taktik Prancis untuk membasmi para pemberontak.
Namun, pada tahun 1958, politik Prancis gegar. Republik Keempat di bawah kepemimpinan Rene Coty makzul, dan Republik Kelima di bawah rezim Charles de Gaulle berhasil berdaulat. Peristiwa krisis politik di Prancis ini punya sumbangsih besar bagi Aljazair. Pada 1961, de Gaulle membuka mata dan mendukung kemerdekaan Aljazair; teluk-teluk dan ngarai-ngarai yang murka itu tak harus jadi milik Prancis. Namun, jenderal-jenderal militer di Aljazair membangkang, mereka tak ingin Aljazair lepas dari pelukan Prancis yang punya julukan Les pays des Droits de L’Homme itu. Pembangkangan para jenderal ini dikenal sebagai Putsch April. Namun, pembangkangan ini tak mengubah takdir sejarah.
Pada 18 Maret 1962, de Gaulle berunding dengan FLN dan menyepakati Perjanjian Evian sebagai langkah menuju kemerdekaan Aljazair. Puncaknya, pada 03 Juli 1962, Aljazair lepas sudah (seratus persen?) dari kerangkeng kegilaan Barat.
Kemerdekaan Aljazair dicapai dengan kala 132 tahun, juga dengan jumlah korban yang kolosal. Setidaknya Perang Aljazair, di luar perang-perang lain, merenggut 150.000 tentara FLN; 1.500.000 warga sipil Aljazair; 25.000, jauh lebih sedikit, tentara Prancis; dan ribuan pied noir dan Harki (muslim Aljazair yang mendukung Prancis). Dengan demikian, kemerdekaan mengorbankan rakyat Aljazair dengan jumlah yang akbar.
Demikianlah, Aljazair dengan teluk-teluk dan ngarai-ngarai yang murka itu, jadi jazirah perkabungan.
Daftar Bacaan
Martins Evan. Algeria: France’s Undeclared War. New York: Oxford University Press. 2012. (h.07-19).
Alistair Horne. A Savage War of Peace: Algeria 1954-1962. New York: The Viking Press. 1977. (h.44-50; h.415-418; h.461-470).
Raphaelle Branche. La Torture et l’armee pendant la gueree d’Algerie (1954-1962). Prancis: Editions Gallimard. 2001. (h.326-334 di bab 13 Des violence tous azimuts dan h.365-372 di bab 15 Les Tortionnaires ordinaires di sub-bab pertama Comment on devient tortionnaire).
Greg Beyer. Algerian War of Indepence: Freedom from the French. https://www.thecollector.com/algerian-war-of-independence/
[…] Aljazair di Prancis. Keadaan darurat itu berlaku hingga pada Mei 1963, setahun setelah kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962, dan tidak ditujukan secara khusus untuk Franko-Aljazair. Namun, kebijakan keadaan […]