Persatuan

Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Gibran kemungkinan besar menang. Seteru polemik di Media Sosial sudah berakhir dan waktunya kembali bersatu menyongsong Indonesia Emas 2045. Pada akhirnya, kita yang tak memiliki perangkat politik selain melalui partai harus legowo menerima segala hasil apapun yang terjadi nantinya. Kira-kira demikian sebagian besar isi linimasa beranda Media Sosial. Masih banyak kesibukan yang harus dikerjakan oleh bangsa ini, jangan terus memperlebar polarisasi. Kesimpulan retorik yang menarik sekaligus patut menjadi analisa yang cukup untuk terus memberikan ruang diskursus tentang “Bangsa Indonesia”. Seolah polarisasi, perpecahan dan konflik Identitas momok menakutkan dalam bangsa ini, jauh lebih menakutkan ketimbang melihat populis kanan jauh berkuasa.

Persoalannya sejak kapan perpecahan itu jadi momok menakutkan dalam narasi sejarah bangsa Indonseia? . Mari beranjak pada sila kedua Pancasila bukan hanya melihatnya sebagai jargon, melainkan lanskap yang lebih jauh daripada itu, mempertimbangkan konteks dan kehendak politik Bangsa Indonesia akan persatuan. Persatuan bukan satu kata yang memiliki makna tunggal, misalnya dalam debat antara Dandy dengan Budiman tentang persatuan Bangsa Melanesia, dalam hal ini Papua yang “dipaksa” turut dalam Negara Indonesia terjadi polemik yang dasar epistemologinya sudah jelas berbeda. Perdebatan ini antara Nature vs Nurture.

Dalam proses hadirnya sebuah persatuan “Papua” Dandy berada dalam poros Nature. Proses persatuan yang terjadi sebab adanya dinamika budaya yang fair. Maka dari itu, ia berpendapat, biarlah kelak sejarah yang menentukan, apakah orang-orang ingin menyatu dengan imaji bangsa Indonesia atau tidak. Biar mereka bergerak atas kehendak poliik mereka sendiri, dengan kata lain tanpa campur tangan Negara. Sementara Nurture bertolak dari prinsip politik penyatuan alamiah, golongan ini, termasuk Budiman berpendapat bahwa campur tangan Negara melalui Pemerintah adalah perlu. Selain karena posisi dirinya berada di Petahana, Budiman konon “seorang manusia politik” , yang dalam bahasa Hannah Arendt “Vita Activa”. Karena itu, pendapat Budiman lebih menekankan pada alam tidak melulu campur tangan pada proses penyatuan Orang-Orang Papua.

Tentu saja ini berangkat dari konsep abstrak. Bagaimana secara konkrit kita menerjemahkan Nature vs Nurture dalam sejarah konkrit yang berdasar pada Histomat (Historical Materialism). Ketimbang bicara jargon Pancasila saya akan membukanya melalui Arus Balik. Dalam naskah Pram, Arus Balik bermaksud menunjukkan perubahan poros kekuatan geopolitik dunia. Dunia Selatan, termasuk Majapahit pada waktu itu adalah yang dimaksud oleh Pram pernah “berjaya”. Dalam arti, kejayaan itu seperti Amukti Palapa Gajah Mada, ialah “menyatukan Nusantara” di bawah panji Majapahit. Hasil daripada persatuan itu, membentuk apa yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Nusantara sebagai “Negara Sejahtera” dengan basis maritim yang kuat. Berabad sebelum Majapahit berkuasa, ini juga yang diyakini mayoritas masyarakat Nusantara, kejayaan Sriwijaya dengan kekuatan Maritim yang membuat Nusantara sejahtera.

Narasi ini bersifat umum (Common Sense)  yang diciptakan dan dilembagakan terus menerus melalui kurikulum. Kejayaan yang dimaksud adalah berlandaskan pada kesatuan, yang pada akhirnya secara lanjut bertujuan menciptakan kesejahteraan. Dalam konteks struktur sosial politik, untuk mencapai tujuan ini, sebagian besar kerajaan di Indonesia menerapkan konsep kesatuan adalah bermaksud “Manunggal” menyatunya antara rakyat dan raja untuk tujuan bersama itu, yakni kesejahteraan dan kejayaan.  Sebenarnya konsep ini terpengaruh oleh Caesaro-Papism – Paham yang menjadui dalil kaisar atau raja dipilih tuhan – adalah struktur sosial Peradaban Indus. Peradaban India yang berpijak pada naskah perwayangan yang selanjutnya menciptakan sistem pengkastaan. Dalam Arus Balik, persatuan ini pada akhirnya menurut Pram dihancurkan oleh kekuatan dari Utara. Kekuatan yang berasal dari Eropa jauh, yang sebelumnya sangat sedikit sekali peradaban Nusantara melakukan interaksi dengan Bangsa-Bangsa Utara. Dalam konteks Asia, Mongol dan Cina lebih memiliki pengalaman panjang berinteraksi dengan Bangsa Utara.

Apa yang menarik disorot oleh Pram selain tentang kekuatan dari Utara adalah proses perpecahan yang terjadi di Nusantara. Wiranggaleng tokoh utama yang berasal dari kalangan Sudra kemudian naik menjadi Ksatria memiliki kehendak yang hampir sama dengan Gajah Mada. Ia secara jeli, melakukan diplomasi terhadap raja-raja di Kawasan Pantai Utara, Malaka dan Kawasan sekitarnya agar bersatu. Dalam tubuh setiap kerajaan, dalam lanskap Arus Balik Pram mengalami perpecahan yang hampir lebur, karena politik Kolonial yang dalam bahasa sejarah umum disebut sebagai Politik Adu Domba (Devide At Impera). Maka Wiranggaleng menggalang persatuan untuk mengusir bangsa dari Utara. Hanya saja, Pram menyoroti lebih dalam, bahwa kemudian ada persatuan antar kerajaan ialah tetap hanya berada dalam tataran elit kerajaan. Masalah yang diajukan oleh Pram adalah seperti ini, sebetulnya masyarakat pada waktu itu tidak merasa terjajah karena raja-raja mereka masih ada. Begitupun monumen tanda kedaulatan mereka, yakni istana para raja masih utuh. Dengan kata lain, sebenarnya rakyat masih merasa berdaulat dan tidak terjajah. Rakyat dalam Arus Balik, hanya akan merasa terjajah kedaulatannya, sejauh jika raja itu mati terbunuh dan kekuasaan berada dalam situasi vakum atau istana mereka hancur.

Setelah Pemilu 2024 berakhir dua hari, Yusril Ihza Mahendra seorang yang selalu ada di setiap rezim memilik argumen menarik, yang bagi saya bisa ditilik secara kritis dalam segi kebudayaan tapi tidak dalam gerakan sosial. Yusril dalam forum Karni Ilyas mengatakan, pada akhirnya dalam politik Indonesia, tujuan utamanya adalah persatuan. Persis seperti yang digambarkan sila kedua dan secara konteks dalam Arus Balik Pram. Dengan cara apa, tentu saja bagi-bagi kekuasaan di antara elit politik. Adakah kebaruan kontroversial dalam argumen Yusril? Dalam konteks kebudayaan politik Indonesia sejak nama itu belum ada kiranya memang tepat. Pada akhrinya, rakyat biasa harus terus bekerja demi dirinya sendiri, sementara Negara biar mereka bertugas untuk mencapai kesejahteraan melalui kontestasi para elit.  Lagi-lagi ada semacam hantu yang tak kasat, seperti halnya bayang-bayang Komunisme di Eropa. Hantu-hantu kehendak untuk bersatu.

Imaji Persatuan Dan Perpecahan

Apakah kita hanya berhenti di sini? Kita siapa dan menuju apa? Ini soal imajinasi agar tidak terus berkelit dalam masalah oke gas dan sebagainya. Untuk terus mempersoalkan tentang persatuan, kita kekurangan alat analisis jika hanya berpijak pada pertarungan kelas. Dalam sisi tertentu, ia menjadi penting untuk mengukur kekuatan gerakan sosial politik progresif, tapi dalam sisi lain, teori ini akan mengalami benturan keras ketika dihadapkan dengan masalah persatuan yang muaranya bukan dari pertentangan kelas tapi identitas. Persatuan dalam negara ini, bukan untuk menyatukan kelas pekerja, akan tetapi persatuan guna stabilitas politik. Jikalau anda memiliki kehendak revolusi, apakah memakai teori nilai kerja dan kelas sudah cukup di Indonesia? Saya kira belum, karena pada akhirnya revolusi yang hanya berpijak pada masalah kelas di Indonesia hanya akan berujung pada kekalahan, racauan sumpah serapah dan rasa frustasi berlebihan yang ujung-ujungnya hanya menghilangkan keyakinan kita terhadap imajinasi People Power.

Melihat imaji bangsa, kita tidak bisa berangkat dari “Alam Pikir Yunani”, kita karenanya harus melhat Alam Pikir bangsa Indonesia. Dari mana melihat alam pikir Bangsa Indonesia, setidaknya kita mampu melihat perangkat ini dari para pemikir Indonesianis. Meskipun tidak berlandas pada analisis kelas yang berujung pada politik praktis, para Indonesianis dapat menjadi acuan penting untuk mengukur strategi kita. Salah satu yang patut dilihat adalah pemikiran Ben Anderson dalam bukunya Imagined Community. Ada dua unsur yang patut saya tulis di sini, pertama pemikiran Ben tentang mengapa bayang-bayang Indonesia itu “perlu dan niscaya”, kedua analisis Ben tentang transformasi sosial yang ada di Indonesia, lebih umum di dunia ketiga, dan tentu yang sangat berbeda coraknya dengan Eropa.

Indonesia adalah bangsa baru, seturut dengan ramainya polemik Kebudayaan ketika Negara dan Bangsa ini digagas oleh tokoh-tokoh 45. Memang Indonesia  sebagai imajinasi tidak lahir dari ruang hampa, jauh-jauh hari interaksi ini sudah terbangun bahkan sebelum Portugis dan Spanyol masuk ke Nusantara. Dalam catatan Ben, berikut yang saya tangkap Imaji Nusantara barulah lahir ada “sosok liyan” yang bersifat komunal dan menggangu imaji kedaulatan. Persis seperti Rakyat yang tak merasa terjajah dalam Arus Balik.  Sebelum “Bangsa dari Utara”, dalam hal ini Eropa masuk dengan Kolonialisme, Nusantara telah mengalami interaksi multikultur sebagaimana yang sering dijual oleh Negara. Hanya saja, ini menyebabkan keheranan para sejarawan yang bagi Ben selalu mengandaikan “sifat modernitas yang objektif”. Keheranan ini menimbulkan pertanyaan semacam, mengapa interaksi multikultur yang sudah terjadi berabad-abad di Nusantara justru tidak melahirkan Kolonialisme. Raja-raja Nusantara, Dinasti Cina, pedagang para Jazirah dan sebagainya berdagang sebagaimana orang pergi pasar lalu pulang kemudian. Tetapi ketika Portugis dan Spanyol datang, pasar seketika terkotak-kotakkan, khususnya dengan adanya benteng-benteng pertahanan yang dibangun.

Cara berdagang yang baru dengan bentuk monopoli selain menyebabkan Kolonialisme juga menyebabkan kejut kebudayaan baik bagi masyarakat yang sudah bermukim di Nusantara atau yang hanya datang untuk berdagang lalu pulang kemudian. Maka dari itu, lahirlah kehendak untuk bersatu, tapi apakah persatuan itu dalam bentuk Negara? Nanti dulu, kesampingkan konsep Negara Modern yang berdaulat itu. Kolonialisme mengakar merubah banyak hal dalam berabad-abad, khususnya dalam cara perdagangan dan konsensus politik antar kekuatan di masa abad 19 awal. Sementara itu, di Eropa, lembaga pengetahuan sudah memiliki semangat “Rennaisance”. Apakah dalam hal itu, Nusantara mengalam “Rennaisance” yang serupa? Patutkah kita mengatakan jikalau ya, sebelum Rennaisance Nusantara mengalami zaman kegelapan seperti perburuan para penyihir di Eropa? Nanti dulu.

Kolonialisme yang bercokol ratusan tahun, menyebabkan transformasi sosial di Nusantara, jika mengacu pada Eropasentris cenderung lambat dibandingkan dengan ada yang di Eropa. Tapi barangkali tidak bagi orang-orang Nusantara. Transformasi sosial “di utara” justru baru terasa ketika Revolusi Amerika dan Prancis terjadi yang melakukan definisi ulang tentang sifat kekuasaan dan poitik. Berangsur-angsur, tahun-tahun berikutnya gejolak masyarakat eropa yang memiliki corak monarki absolut berubah. Tuhan tidak lagi memilih raja sebagai tokoh suci, Tuhan pelan-pelan diturunkan ke bumi dalam bentuk suara rakyat. Dengan paham baru ini, tokoh reformis dari golongan agamawan mulai lahir dan pada akhirnya melahirkan bentuk emansipasi baru dalam cara pandang terhadap rakyat. Revolusi Rusia misalnya, Tsar Nicholas bahkan ketakutan setengah mati nasibnya akan sama dengan Raja Louis Prancis yang kepalanya dipenggal di tengah kota. Kuasa rakyat perlahan mulai tumubuh. Akan tetapi, patut dicatat dalam waktu yang sama ini tidak terjadi di Indonesia.

Adanya paham ini, melahirkan kebijakan baru dari koloni terbesar di Indonesia yaitu Belanda. VoC yang sudah berada dalam daulat Kerajaan Belanda menerapkan politik balas budi atas negara jajahannya yaitu Indonesia. Politik Etis ini, menyebabkan transfer pengetahuan dan gejolak historis Eropa turut mewarnai Indonesia. Akan tetapi Negara belum hadir, meskipun narasi kekuatan rakyat sudah muncul pada abad 19 awal. Mulailah orang-orang yang mulai merasa terjajah di Indonesia sering melakukan dialog tentang Nasionalisme. Kendati menarik dicatat, dalam kesadaran Nasionalisme awal yang turut merespon justru bukan para tokoh Nasionalis pada awalnya, melainkan golongan kiri yaitu Partai Komunis dan barangkali sebagian Anarkis. Satu lagi adalah golongan Islam. Hanya saja, waktu itu, mereka yang turut serta merespon gelombang kebebasan di Eropa sama-sama memiliki tujuan satu sebagaimana yang dicatat oleh Pram dalam Arus Balik. Atas nama “Indonesia” kita harus bersatu melawan Kolonialisme, Imperialisme dan Soekarno yang di balik nama kehendak persatuan turut menyematkan Kapitalisme.

Lagi, tentang persatuan bukan? Pada waktu itu sederhana, perlawanan sampai pada tahun 1949  sebetulnya bermotif pada persatuan. Segala narasi dirangkum seragam dalam persatuan. Bahkan kaum komunis, di samping memperjuangkan kepentingan kelas tidak jauh-jauh memiliki irisan dengan “Indonesia”. Inilah yang membedakan Sejarah Indonesia dengan sejarah bangsa lain , ada hantu-hantu persatuan di sana, entah sebabnya apa tapi itu jelas kentara. Agar lebih jelas, mari lihat gejola pasca Proklamasi. Dalam sejarah bangsa lain, sejarawan bangsa masing-masing biasanya tegas menyebutkan fenomena “Perang Saudara”. Perang Saudara adalah fenomena sejarah yang hampir terjadi di setiap bangsa dan istilah itu tidak ada dalam Sejarah Indonesia. Kita memiliki pengalaman serupa, tapi dalam politik kebudayaan kita selalu membayangkan persatuan sehingga istilah itu terasa samar dan bahkan terasa tidak ada.

 

 

Gelombang pencerahan di Rusia, Spanyol, Prancis, Tiongkok, Jerman dan Negara pemain utama dalam Perang Dunia 1 dan 2 memiliki pengalaman Perang Saudara. Mereka, para sejarawan, sastrawan, budayawan dan sebagainya mencatat tegas istilah “Perang Saudara”. Di Spanyol, bahkan Perang Saudara memiliki kelompok yang beragam. Mereka yang Komunis, Anarkis dan Nasionalis memiliki garis tegas. Bagaimana Indoesia? Lagi-lagi Persatuan seperti kehendak agung yang harus diciptakan oleh kita, saya tak ingin meruntuhkan imaji itu atau mencurigai, saya justru mempertanyakan apa sebab utamanya sebenarnya?. Pasca 1945, DI/TII berontak, Permesta terjadi dan belakangan hari Gerakan Aceh Merdeka. Mereka ditumpas jika menggunakan kata dibantai terlalu keras. Bahkan mereka dibunuh, katakanlah oleh Saudara sendiri. Hanya saja ini berbeda dengan Eropa, mengapa? Karena kehendak persatuan itu. Tidak pernah ada kamus sejarah yang menyebutkan itu dengan istilah “Perang Saudara”. Gerakan itu justru diberikan istilah “Separatis dan Pemberontak” yang mengacaukan persatuan.

Argumen ini sebenarnya tidak ingin saya tujukan pada kritik mengapa para sejarawan, budayawan dan seniman memakai istilah ini. Saya hendak mencari sebab “mengapa berbeda”. Dengan menganlisis secara jeli, kita yang masih memiliki imaji masyarakat ideal dalam masing-masing kelompok akan sangat terbantu jika menemukan perangkat ini. Terbantu dalam arti menemukan strategi yang pas, yang sejauh ini berdasarkan catatan sejarah hanya Soekarno yang mampu menemukan. Selain Soekarno saya kira belum ada yang mampu menarasikan ini.

Setiap zaman memiliki tantangan berbeda. Setiap tantangan memiliki strategi yang harus berbeda pula. Dalam konteks harapan sosial bersama, apa yang mampu dibangun oleh pegiat sosial pada hari ini?. Agaknya kekuatan analisis yang betul-betul jeli diperlukan pada hari ini, tidak semata hanya bertarung pada aras mengorganisir rakyat, akan tetapi manajemen yang canggih untuk membentuk sebuah ruang temu bersama. Melihat fenomena 2024 sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Pengamat Militer dan Politik Indonesia Harold Crouch berpendapat, bahkan salah satu unsur pembentuk “persatuan” dan sekaligus perpecahan dan ketimpangan di Indonesia adalah Militer. Perpecahan dalam tubuh militer di Indonesia, seperti menjadi pembentuk penting dalam sejarah Indonesia. Meskipun sirkulasi elit militer yang ada hanya berputar pada orang-orang itu saja.

Kiranya perlu dimaklumi argumen ini menjadi diskursus penting untuk melihat kebudayaan politik sekaligus politik kebudayaan di sepanjang sejarah Bangsa Indonesia. Dalam kehidupan yang semakin kabur sekat batas identitas sebagai pembentuk teritori memori Manusia, diskusrsus kebudayaan Indonesia perlu terus dilempar ke dalam dialog publik. Hal ini tidak lain semata agar kita mampu melihat gejala kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat secara terang. Begitupula dengan film sebagai satu spektrum kesenian yang cukup besar andilnya membangun Indonesa.

 

 

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here