Ada banyak teknik sinematografi seperti Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film (JESEDEF). Masuk adegan, ke dalam adegan, masuk adegan, ke dalam adegan. Sehingga apa yang kita temui, pada akhirnya adalah peristiwa dramaturgi. Mungkin kita pernah mengenalnya saat kecil ketika menonton Spongebob yang sedang berkunjung ke mimpi Squidward. Di episode itu, mimpi Squidward diacak-acak oleh Spongebob dengan unyu. Latar utamanya bukan mimpi Squidward, melainkan rumah nanas dan rumah patung Squidward itu, hanya saja mereka dalam mimpi dan menciptakan adegan baru.
Spongebob masuk dalam adegan mimpi Squidward, terlibat aktif dalam mimpinya, mengacak skema keindahan yang telah dibayangkan alam bawah sadar Squidward. Sebagai anak kecil yang pernah menonton filmnya, saya ikut merasa kesal, “diperas emosinya” kata Yoard pada Bagus saat mengoreksi rancangan skenario filmnya. Setidaknya, teknik masuk adegan ke dalam adegan lain, membentuk cerita lagi, menumpuk kisah lagi, sudah kita kenal sejak belia. Apa yang harus dilihat dari Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film? Bayangan seorang penulis yang jatuh cinta pada seorang perempuan, melakukan pendekatan sebagai seorang penulis, dan, mengajarinya melihat kisah cinta di dunia ini dengan cara film bekerja? Klise.
Dalam aspek dialog, saya kira agaknya banyak penulis yang memiliki kesukaran menciptakan dialog verbal dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, betapapun terus dikembangkan, seringkali amat berjarak pada kehidupan publik. Seorang teman, yang tekun menulis, pernah berkata pada saya, Bahasa Indonesia itu macam malaikat, penuh sopan santun dan memiliki garis pembatas yang ketat dari Bahasa yang di luar kesantunan. Walhasil, dalam tradisi penceritaan Bahasa Indonesia, dalam dunia film dan dialog verbal, seringkali lebih dominan menggunakan Bahasa slang. Dalam perkembangan Bahasa Slang Indonesia, kita barangkali merasa, gejala kebahasaan ini jauh lebih banyak diisi oleh dialog-dialog popular, yang berisi komedi, satir, atau serapah yang terlalu banyak. Seperti Bahasa Slang antar distrik di Kawasan Kota Jakarta misalnya – perbedaan antara Slang Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Ini juga terjadi dalam tradisi film. Penulis JESEDEF, entah itu Bagus, si tokoh yang menjadi seorang penulis dalam film, atau Yandy Laurens, si penulis naskah film itu sendiri, sama-sama menggunakan Bahasa Popular ala film. Meskipun dalam pertangahan scene, sutradara film ini menegaskan melalui tokoh Bagus menyatakan, ini bukan film art , tapi komersil. Entah fungsi penegasan itu berupa satire, atau memang diperuntukkan untuk komersil sepenuhnya oleh Sutradara. JESEDEF berhasil membuat gerak ganda, tafsir dalam penokohan, adegan, dan sinematik. Film dibuat berada di antara, meski saya merasa ini kesengajaan. Kesengajaan penulis meletakkan JESEDEF berada di antara art dan komersil tanpa meletakkan tendensi apapun, meskipun sedikit rencana terselip barangkali dalam keinginan penulis. Keinginan untuk mengatakan,
“Saya ingin membuat kisah cinta seromantis Romeo-Juliet dengan epilog tragedi pembunuhan dengan racun-meracun. Tapi saya tidak ingin melankolis, nanti, semisal teh berisi racun itu sudah berada di depan mulut, urungkan pembunuhan bukan dengan cara mencegah, tapi ubah gelas berisi teh itu dengan jamu. Sehingga ketika diminum, justru bukan kematian yang ada, tapi adegan seksual tanpa henti selama 3 hari, dan atau setelah itu mereka saling menyukai Jamu dan mengolah Jamu bersama”
Hal serupa dengan kasus kebahasaan dalam film-film cinta
“Ingin menulis film cinta, romantis, drama, sedikit bumbu komedi dengan Bahasa Indonesia, tapi khawatir larut dalam dialog Zainuddin Hayati, itu kan Melayu. Sementara itu, kalo pake model Cinta Jakarta, berarti elu-gue dan slang. Lantas, bagiamana?”
Apa yang harus masuk penilaian, “baik” untuk film JESEDEF? Apakah dengan posisinya, yang seolah dianggap asik, dalam konteks tema cinta hanya sampai situ saja? Padahal dialog verbal antar adegang “film dalam film” terasa satu suara. Karakter film JESEDEF, seharusnya mampu melampaui itu, seperti peristiwa karnaval ragam dialog dalam setiap bingkai adegan. Tema ini menarik, film JESEDEF juga menarik, tapi mengapa tanpa tarikan lebih jauh secara adegan.
Tugas film, sebagai bingkai yang memotret keterbatasan dalam peristiwa yang bisa ditangkap adalah dasar peristiwa sinematik. Di dalamnya, ia menggambarkan peristiwa ruang. Kebahasaan seperti yang ditangkap JESEDEF, seolah beragam, tapi seragam. Ada banyak komparasi yang bisa dilakukan oleh penikmat sinema dalam film JESEDEF. Ada banyak apresiasi yang bisa diberikan pada film ini juga. Warna industri perfilman Indoonesia, cukup semarak setelah ini, barangkali karena keberanian JESEDEF mengangkat teknik dan film ini ke publik. Penulis, sekali lagi, entah Bagus atau si Sutradara tetap mengangkat “penulis” sebagai tokoh utama film. Penulis bisa sutradara, bisa tokoh utama, bahkan anda sendiri sebagai penonton. Jika anda tidak merasa terlibat, imajinasi anda tidak larut dalam naskah, seolah seperti andalah penulisnya. Keberhasilan film ini perlu diuji.