kritik film

Film yang bagus, saya kira membantu anda hidup dalam realita yang sulit diterka. Ada ulasan menarik dari seorang kritikus, pembuat, dan juga aktor terkenal Prancis. Ialah Francois Truffaut. Entah mengapa, sedari kecil, tubuhnya yang mungil sering ia gunakan menyusup ke bioskop, jika tidak memiliki uang membayar tiket. Sampai suatu ketika, penjaga tiket kenal betul dengannya, karena itu, jika ada gelagat ia ingin menyusup tubuhnya ditangkap. Tetapi ia diperkenankan masuk setelahnya. Mengapa ia begitu antusias? Alasannya keyakinannya, bahwa film  yang sukses adalah film yang dapat mengekspresikan ide tentang dunia dan sinema secara bersamaan.

Ide tentang dunia dan sinema secara bersamaan, bagaimana melihatnya?. Salah satu keresahan Truffaut pula yang saya rasakan saat ini. Melihat film secara objektif, seolah menyampingkan cita rasa menonton film apa adanya. Melihat dunia, artinya menerka realitas yang ditangkap oleh manusia dalam karya seni. Melihat sinema sekaligus, artinya sejauh mana penangkapan itu hadir dalam bentuk sinematik – gambar yang bergerak. Mari mulai berbincang dari sini.

Pada mulanya, film bukanlah pamor teringgi dari kesenian potret. Setidaknya sampai tahun 60-an, dunia potret – menangkap cahaya dalam kamera – lebih banyak digunakan oleh Fotografi. Teknologi berkembang, seni sinematik berkembang. Sebagian besar, gerak yang diterjemahkan dalam sinema terpengaruh dari dunia kesenian panggung. Hanya saja, film seolah terlihat lebih personal. Berkembangnya film, juga melahirkan pecinta kesenian film, seperti halnya pertama kali Don Quixote tersebar luas di pelbagai dunia di kesusastraan.

Muncullah istilah kritikus. Seorang kritikus, dalam dunia kesenian lazim ditemukan di berbagai bidang. Tugasnya adalah memilah mana film yang dikatakan sebagai, “baik” dalam kontes estetika. Berbeda dengan kultur kesusastraan yang cenderung kanonik penuh kultus, perkembangan dunia kritik film terasa lebih semarak. Barangkali karena sinema, tidak memiliki beban serupa sastra yang dianggap suci. Pun, jikalau ada lembaga kanon, atau katakanlah peristiwa kanonik, itu biasanya terjadi di festival industri perfilman. Bukan dalam lembaga seperti Nobel. Sehingga para sineas dunia, memiliki jejaringnya sendiri, yaitu penghargaan Oscar.

Bicara kritik, mengapa perlu diawal. Saya kira kedudukan ini perlu dilihat, katakanlah sebagai gejala kesenian dalam jenis apapun, dan genre apapun. Karena melalui ini, kita mampu saling megejek, saling menilai, bahkan saling adu jotos, hanya sekedar mengatakan seleramu buruk, sementara filmku baik. Martin Scorsezsy, misalnya pernah mengatakan Marvel Universe sebagai film dengan segmen selera anak-anak yang senang bermain di taman. Padahal, sangat mudah berbincang tentang Iron Man disbanding film Naga Bonar.

Kritikus sudah hilang, dalam konteks kesusastraan misalnya, Martin Suryajaya pernah mengatakan ini. Hanya saja dalam konteks tersebut, peran kritik lebih mudah berbaur dengan hiruk pikuk komentar Netizen dalam banyak media sosial. Setidaknya kita beruntung, masih mampu berbicara kekacauan naskah suatu film dibandingkan gagasan politik hari ini. Membaca pemikiran Martin, dalam gagasan estetika, saya kira hari ini, kita sudah mencapai tahap, ketika estetika dilihat sebagai peristiwa karnaval. Sebuah peristiwa kesenian, yang tidak lagi bicara meluu soal tingkat kehebatan sebuah karya, melainkan merayakannya dengan semarak. Siapapun bisa memilih film bagusnya sendiri, dengan guidenya masing-masing,

Bila demikian konteksnya, lantas apa yang perlu diperbincangkan dari dunia dan sinema?. Hidup. Sinema adalah kehidupan sebagai mana Truffaut meyakini itu. Sinema, sama seperti awal mula fotografi berkembang. Tugas dari kamera, sama seperti indra kita. Menangkap peristiwa dalam ruang-waktu yang terbatas. Tentu semesta tidak mampu diterjemahkan Indera, tetapi melalui Sinema, setidaknya ada ruang-waktu yang mampu kita tangkap. Semakin bagus tangkapan momen sinema, dalam horizon pertistiwa tertentu, semakin baik indra kita mencerna semesta yang tak terduga.

Carlo Rovelli, dalam buku popular terkenalnya, “The Order Of Time” pernah menulis tegas tentang waktu. Waktu dalam tingkatan pemahaman manusia, dan kemampuan manusia menerjemahkannya. Waktu dalam Rovelli, dalam konteks pembacaan manusia, dianggap sebagai jalan buntu. Dengan setumpuk teori ruang-waktu yang lahir dari Sains, baik makro atau mikrokosmos. Galaksi atau dunia kuantum. Manusia sesungguhnya tidak mampu menangkap, barang sekecilpun gerak atomik dari dunia non-inderawi. Karenanya, satu-satunya waktu yang mampu ditangkap oleh manusia adalah horizon peristiwa.

Dari Rovelli, agaknya kita layak Kembali merayakan karnaval sinema dalam film. Mulai dari genre yang paling ngantuk, Drama, sampai yang paling dagdigdugser, yaitu action. Mulai dari media pembelajaran paling apik, Dokumenter, sampai film pengantar perang, film propaganda. Pilih genre kalian sendiri. Tentu di hari ini, hari dimana waktu terasa bergerak cepat, karnaval kesenian film sangat mewah, mulai dari kisah-kisah utopis, masa depan bumi yang indah, hingga yang paling apocalypse, melihat kehancuran dunia pelan-perlahan. Dari tengat waktu, sebelum segalanya menjadi nihil, satu minggu sekali, di waktu luang aktivitas manusia, menonton film agaknya menjadi tawaran yang cukup membangun interaksi manusia kembali.

Sisakan sekotak kacang rebus, komentari tokoh dalam film, plot yang aneh, sampai senjata paling purna pemusnah masal dunia. Di hadapan dunia sinema, manusia seolah dihadapkan secara riil dengan kehidupannya. Manusia yang paling jahat, seorang psikopat, sampai manusia yang paling baik, titisan ras malaikat. Di hadapan dunia film dan sinema, akhirnya kita mengerti, kita mampu menghentikan waktu, sejenak saja, sementara barangkali hiruk pikuk peperangan di luar layar.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here