Aku meniriskan mi, memindahkannya ke mangkuk, dan mengaduk bumbu hingga merata. Alunan piano “Moonlight Sonata” yang dimainkan Beethoven terus bergema dari ponsel yang volumenya kukeraskan.
Sinar bulan seolah-olah muncul di tengah ruang makan, menyoroti potongan kaki, tangan, paha, pinggul, perut—yang ususnya terburai di taplak putih. Lalu empat potongan kepala itu entah menggelinding ke mana. Satu di kaki meja dan satu di sudut ruangan dengan bola mata menatap nanar.
Bau darah menguar. Namun, sayang sekali, aromanya masih kalah sedap dengan mi goreng yang siap santap ini.
Dulu, saking miskinnya, mi merupakan hidangan mewah. Nyaris setiap hari Ibu memasak sayur bayam—yang tumbuh subur di belakang rumah. Jika kami—aku dan saudara-saudaraku—mengeluh, Ibu langsung mengeluarkan kalimat andalannya.
“Jadi miskin sama dengan terkungkung. Zaman sekarang hukum saja bisa dibeli sampai bapak kalian dituduh dan dijebloskan ke penjara. Kita tidak punya duit, jangan banyak tingkah, apalagi banyak menuntut. Kalian ini memang tidak tahu diri, tahunya cuma bikin Ibu stres, bikin Ibu mikir keras apa bisa kasih makan empat anak untuk besok dan besoknya lagi.”
Setelah mengoceh panjang lebar seperti itu, wajah Ibu terlihat amat muram. Langkahnya agak gontai. Berusaha tegap sembari memegangi kosen, lalu lenyap di balik pintu.
Ketiga adikku cuma bisa melongo, memasang ekspresi polos. Mereka sama sekali tidak memahami apa yang terjadi. Kadang, sebagai anak tertua, rasa bersalah selalu menyiksaku. Seandainya aku sedikit berguna, mungkin kami dapat segera terlepas dari jeratan kemiskinan yang begitu mencekik.
Jujur saja, aku bukan pengangguran. Kebetulan, berkat kecintaanku terhadap buku-buku, aku diterima untuk bekerja sebagai penjaga perpustakaan di salah satu sekolah menengah di kampungku. Namun, daripada bekerja, itu lebih layak disebut sukarelawan. Gajinya tidak bisa dibilang mencukupi.
Ibu berkali-kali menyuruhku berhenti, bahkan memaksaku ikut kerja di ladang orang atau menjadi pembantu di rumah Tuan Tanah paling tersohor di kampung ini. Sinting. Pria tua yang rambutnya disemir cokelat terang itu benar-benar sinting. Jika kami tak sengaja berpapasan di jalan, dia akan memandang penuh nafsu. Mana sudi aku kerja di rumahnya, entah hal gila macam apa yang akan menimpaku.
Sore sebelum kejadian nahas itu, aku menangkap gelagat aneh dari Ibu. Seharian Ibu tidak pergi bekerja. Kemudian malamnya Ibu memasak ikan—yang katanya diberikan oleh Pak Yatno, salah seorang nelayan. Ketiga adikku sampai meneteskan air mata, saking terharunya bisa menyantap makanan enak. Ibu juga memasak sebungkus mi kuah—dengan porsi kuah lebih banyak. Tanpa bicara, semua orang makan dengan lahap.
Kebahagiaan tidak berlangsung lama, tatkala aku mendapati ibu dan ketiga adikku terbujur di lantai dengan kondisi sesak napas. Kontan aku berteriak sambil berlari keluar rumah. Mencari pertolongan. Namun, begitu kembali, semua terlambat. Keempatnya tewas.
Beberapa hari setelah pemakaman, aku terduduk sembari bersandar di tembok. Mati-matian menahan senyum. Menertawakan metode yang Ibu pilih, malah menyelamatkanku. Seharusnya Ibu tahu bahwa aku tidak suka makan ikan, atau Ibu memang sengaja hanya menyisakanku untuk memikul dendam tanpa sasaran ini. Mustahil bukan, menyalahkan Tuhan atas kemiskinan?
Meski sadar bahwa Ibu ingin bunuh diri bersama anak-anaknya dengan cara menyajikan ikan beracun itu, aku sama sekali tak berniat mencegahnya. Justru, aku sangat mendukung keputusan Ibu. Toh, buat apa tetap hidup jika hari-hari dibayangi kematian karena kelaparan. Benar, miskin itu membatasi pilihan, bahkan untuk hidup sekalipun. Sementara orang kaya di luar sana yang ongkang-ongkang kaki, tampak begitu bebas. Membuatku iri.
Sekarang, musiknya berganti dengan alunan piano dari Chopin. Ritme “Minute Walz” membuatku mengetuk sisi meja, seolah-olah tengah ikut memainkan piano.
Setelah mengambil cabai dari kulkas, aku berpindah ke ruang tengah. Menaburkan irisan cabai itu di atas mi dan segera menyantapnya. Makan setelah ada kematian, itu hal yang wajar. Anggap saja sebagai bentuk perayaan.
Potongan kain planel yang tertempel di pintu sebelah kanan itu, membentuk susunan nama, PUTRI. Ah, ya, anak pemilik rumah ini namanya Putri. Layak sekali dia menyandang nama itu, hidup dimanja seperti seorang putri.
Takdir memang lucu. Pertemuanku dengan Putri benar-benar seperti kocokan dadu yang membawa kemenangan. Gadis 17 tahun itu sering berkunjung ke perpustakaan, meminjam dan mengembalikan buku secara rutin.
Entah karena dia memang tidak punya teman atau apa—aku tidak peduli—dia sering mengajakku mengobrol. Tanpa sungkan menceritakan segala unek-unek yang ada di kepalanya. Termasuk tentang perselingkuhan ibunya. Hari itu matanya tampak cekung, rambutnya yang biasa diikat dibiarkan terurai dan berantakan. Sesekali Putri menggigit ujung kukunya yang panjang, lalu saat mendapatkan ketenangan, dia berbicara perlahan.
“Aku tidak ingin pulang ke rumah cepat-cepat, biarkan aku di sini sampai pukul lima sore,” pintanya memelas. “Kalau aku pulang sekarang, suara Ibu yang tengah bercinta dengan selingkuhannya pasti menerobos dinding dan menyiksa telingaku.”
Sungguh gadis yang malang, jadi aku bertanya, memang ke mana ayahnya.
Putri mengembuskan napas, lalu melanjutkan dengan nada kecewa. “Dia sibuk mengurusi pabrik sepatu. Tahu, kan, satu-satunya pabrik di kampung ini? Itu milik ayahku. Ayah bahkan terlalu sibuk mengurusi para pekerjanya ketimbang anak dan istri.”
Karena posisinya sebagai pendengar, aku berusaha menghiburnya. Menyarankan agar dia tidak perlu memusingkan apa yang terjadi di dunia orang dewasa. Akan kubantu sebisanya dengan mencoba mengajak ibunya mengobrol. Hanya beberapa kata dari mulutku, sontak membuat binar di mata Putri kembali berkilau – menaruh harap.
Tepatnya hari ini, aku datang berkunjung. Putri tinggal di kompleks perumahan mewah, yang sepi di siang hari karena rata-rata penghuninya sibuk bekerja.
Begitu ketukan pintu ketiga, seorang perempuan yang tampak berusia 30-an membukakan pintu. Rambutnya digulung asal dengan karet gelang, dress yang dikenakannya sedikit menerawang, bahkan dia lupa dengan bekas cupang yang ada di lehernya.
Ibu Putri tersenyum amat ramah, seolah-olah tidak ada yang terjadi, padahal aku tahu kedatanganku pasti sangat mengganggunya di situasi yang menggairahkan. Mungkin saja dia mengutukku di balik senyum itu.
Aku mengeratkan pegangan pada tas yang kusampirkan di bahu kiri, lalu masuk dan duduk di sofa. Ibu Putri memunggungiku saat hendak ke dapur untuk membawakan minuman.
Tanpa melewatkan sedikit pun kesempatan, kapak yang kusembunyikan di dalam tas segera kukeluarkan. Mengayungkannya sebanyak dua kali ke punggung wanita itu, dan yang terakhir memenggal kepalanya dengan cepat agar dia tak sempat teriak. Tidak sia-sia olahraga rutin, melatih kekuatan lengan dan cengkeraman tangan agar dapat mengayunkan kapak dengan l. Darah memercik di wajahku, setidaknya lebih gampang memenggal hewan, darah mereka tidak akan seamis ini.
Setelah beres, aku menenteng kapak itu, membuka kamar yang terletak di posisi depan. Seorang pria bertelanjang setengah badan tengah tertidur. Biar kutebak, dia selingkuhan ibunya Putri. Benar-benar pria murahan.
Perutnya menjadi sasaran pertamaku, ayunan kedua sedikit meleset, mengani bantal hingga kapuknya berhamburan. Untung lehernya berhasil terpenggal, meski tidak sampai putus. Jadi aku menuntaskannya hingga kepala dan badan itu benar-benar terpisah.
Begitu berbalik, Putri dan adik laki-lakinya sudah berdiri di ambang pintu. Aku tidak terlalu ingat ekspresinya karena dua bocah itu kubereskan dengan cepat.
Namun, meski sudah membunuh keempat orang itu, dendamku terhadap ayah mereka masih sulit ditenangkan. Makanya kujadikan mereka beberapa potong, agar si pria keparat itu tak mampu mengenali keluarganya lagi—bahkan selingkuhan istrinya.
Akan kuajarkan bahwa uang tak dapat membeli nyawa keluarganya. Makanlah kebebasan yang terasa seperti di neraka. Padahal ayahku pekerja yang baik. Mentang-mentang dia yang berkuasa, dia malah menyalakan Ayah atas kematian salah satu pekerja yang disiksanya. Kemudian, jika Ayah tidak mati, hidup keluargaku pasti tetap normal. Tidak akan pernah kemiskinan mengisap kebahagiaan kami.
[…] Dari Belanda Puisi-Puisi Dian Chandra Hari Pertama Menjadi Kucing Kemiskinan yang Mengungkung Puisi-Puisi Sultan Musa II […]