Remy Sylado adalah sosok seniman multitalenta yang telah meninggalkan jejak besar dalam berbagai bidang seni di Indonesia. Ia bukan hanya seorang penulis, tetapi juga seorang penyair, aktor, sutradara, novelis, dosen, dan pelukis. Salah satu fakta menarik tentang Remy Sylado adalah ia mengusung puisi “mbeling,” suatu bentuk pemberontakan terhadap estetika puisi yang dianggap terlalu kaku. Dengan pandangan kreatif dan nonkonvensionalnya, Remy membuka jalan bagi ekspresi bebas dalam seni puisi yang kemudian menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia.
Awal Kehidupan dan Latar Belakang Pendidikan
Remy Sylado lahir dengan nama asli Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong pada 12 Juli 1943 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, di mana ayahnya, Johannes Hendrik Tambayong, adalah seorang pendeta di Gereja Christian and Missionary Alliance. Bakat seni Remy mulai tampak sejak kecil, dan ia mulai menulis pada usia 16 tahun setelah mendapat dorongan dari guru Bahasa Indonesianya.
Pendidikan formal Remy meliputi berbagai bidang seni dan teater. Setelah menamatkan sekolah dasar di Makassar, ia melanjutkan pendidikannya ke Semarang, di mana ia lulus SMA pada tahun 1959. Kemudian, ia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Solo. Kecintaannya terhadap seni teater dan sastra semakin mendalam, dan pada tahun 1963 ia memulai karier jurnalistiknya sebagai wartawan di harian Sinar Harapan.
Perjalanan Karier di Dunia Seni
Remy Sylado dikenal sebagai sosok yang serbabisa dalam berbagai bidang seni. Ia pernah menjadi aktor teater, pemain film, sutradara, serta penulis buku dan novel. Karier jurnalistiknya juga cukup panjang, mulai dari menjadi wartawan di berbagai media hingga menjadi redaktur pelaksana harian Tempo di Semarang pada tahun 1965. Pada tahun 1971, Remy memulai kariernya sebagai dosen di Akademi Sinematografi Bandung, mengajar mata pelajaran seperti dramaturgi, ikonografi, dan tata rias.
Salah satu karya penting dalam kariernya adalah ketika ia membentuk grup teater yang disebut Teater 23761. Grup ini memainkan peran penting dalam gerakan teater Indonesia pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Dalam teater ini, Remy mulai mengeksplorasi gagasan “mbeling” yang kemudian berkembang menjadi gerakan puisi mbeling.
Puisi Mbeling: Sebuah Gerakan Kreatif dan Pemberontakan
Puisi mbeling yang digagas oleh Remy Sylado muncul sebagai bentuk protes terhadap pandangan estetika puisi yang dianggap terlalu baku dan formal. “Mbeling” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti nakal, susah diatur, atau memberontak. Bagi Remy, puisi tidak harus tunduk pada aturan atau standar tertentu. Ia percaya bahwa puisi harus mencerminkan kehidupan sehari-hari dan bisa menggunakan bahasa yang sederhana atau bahkan kasar, selama pesan yang disampaikan bermanfaat dan menyadarkan masyarakat.
Remy mempopulerkan istilah “puisi mbeling” pada tahun 1972 melalui kolom yang diasuhnya di majalah Aktuil di Bandung. Pada waktu itu, Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru yang penuh dengan kesan feodal dan otoriter. Lewat puisi mbeling, Remy mengajak anak muda untuk berani mengekspresikan diri mereka tanpa rasa takut akan kritik dari kalangan seni tradisional. Gerakan ini memberi ruang bagi para penyair muda untuk menulis puisi dengan gaya dan bahasa yang lebih bebas.
Menurut Remy, tanggung jawab seorang penyair bukan hanya untuk menciptakan karya yang estetis, tetapi juga untuk memiliki gagasan yang kuat dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Melalui puisi mbeling, Remy menantang pandangan bahwa seni puisi hanya dapat diciptakan oleh kalangan elit atau menggunakan bahasa yang “tinggi”. Puisi, bagi Remy, adalah cerminan dari realitas hidup dan tidak perlu diatur oleh aturan estetika yang kaku.
Karya-Karya Remy Sylado
Sebagai penulis, Remy Sylado telah menghasilkan lebih dari 50 novel, termasuk beberapa yang terkenal seperti Ca Bau Kan (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002), Kembang Jepun (2002), dan Namaku Mata Hari (2010). Novel Ca Bau Kan bahkan diadaptasi menjadi film layar lebar yang memperkenalkan kembali kisah sejarah pedagang Tionghoa di Betawi (Jakarta).
Selain menulis novel, Remy juga menulis puisi dan naskah drama. Karya-karya puisinya meliputi Kerygma (1999) dan Puisi Mbeling Remy Sylado (2004). Karya dramanya seperti Genesis dan Messiah II menggabungkan elemen-elemen sosial dan kritik terhadap kekuasaan, yang membuatnya dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia teater Indonesia.
Remy juga menguasai berbagai bahasa asing seperti Mandarin, Arab, Yunani, Belanda, dan Inggris. Hal ini membantunya dalam riset untuk karya-karyanya, yang sering kali mengambil latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks. Salah satu ciri khas dari novel-novel Remy adalah pendekatan riset mendalam yang dilakukannya, yang membuat karyanya tidak hanya sekadar hiburan tetapi juga penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Warisan Remy Sylado
Hingga akhir hayatnya, Remy Sylado masih aktif menulis dan berkarya. Salah satu novel terakhir yang ia tulis adalah Brower, yang belum sempat diterbitkan saat ia meninggal dunia. Karya-karya Remy Sylado tidak hanya meninggalkan jejak dalam dunia sastra dan seni Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk berani berkreasi dan menantang batasan-batasan konvensional dalam berkarya.
Remy Sylado adalah bukti nyata bahwa seni tidak mengenal batas usia. Dengan semangat yang tak pernah padam, ia terus berkarya hingga akhir hidupnya, meninggalkan warisan yang akan selalu dikenang dalam dunia sastra dan seni Indonesia.