Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu penyair kontemporer paling terkemuka di Indonesia, yang tidak hanya mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia tetapi juga memberi warna baru dalam perpuisian Indonesia modern. Dikenal sebagai “Presiden Penyair Indonesia,” Sutardji merevolusi puisi Indonesia dengan pendekatannya yang unik terhadap kata-kata dan bahasa. Bagi Sutardji, kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi entitas yang harus dibiarkan bebas untuk mengekspresikan maknanya sendiri.

Lahir dan Latar Belakang Sutardji

Sutardji dilahirkan pada 24 Juni 1941 di Rengat, Riau, dari pasangan Mohammad Bachri, seorang polisi asal Jawa Tengah, dan May Calzoum, perempuan asli Riau. Dari lingkungan keluarga yang penuh tantangan, Sutardji tumbuh dengan jiwa seni yang kuat. Meski ayahnya seorang polisi, Sutardji memilih jalur yang berbeda dengan melanjutkan pendidikan di Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung. Namun, ia tidak menyelesaikan studinya karena panggilan hatinya yang kuat untuk menjadi penyair.

Sejak usia muda, Sutardji menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap puisi. Pada tahun 1971, ia menerbitkan puisi pertamanya berjudul “O” di majalah sastra Horison. Setahun kemudian, ia menerbitkan kumpulan puisinya yang terkenal, “Amuk,” di majalah yang sama, yang memperkenalkan dunia kepada gaya berpuisi yang revolusioner. Dari sinilah namanya mulai dikenal luas di dunia sastra Indonesia.

Kredo Puisi dan Pengembalian Kata kepada Mantra

Salah satu kontribusi terbesar Sutardji terhadap puisi Indonesia adalah “Kredo Puisi” yang ia ciptakan. Dalam pandangannya, kata-kata tidak seharusnya dibatasi oleh tata bahasa atau konvensi. Kata, bagi Sutardji, harus bebas dari beban pengertian dan ide yang mengikat. Menurutnya, penyair harus membiarkan kata-kata menciptakan maknanya sendiri, memberikan kebebasan seluas-luasnya pada kata untuk bereksplorasi. Kredo ini memberikan puisi Sutardji keunikan tersendiri, di mana kata-kata bisa dipotong, dibalik, atau disusun dengan cara yang tidak konvensional.

Sutardji juga menemukan kembali kekuatan mantra dalam puisi. Baginya, menulis puisi adalah mengembalikan kata-kata kepada kondisi awalnya—sebagai mantra. Inilah yang membuat puisi-puisinya terasa magis dan penuh dengan kekuatan simbolik. Dengan mengembalikan puisi kepada esensi mantra, ia memperluas batasan bahasa dan membuka peluang baru bagi penyair generasi selanjutnya untuk bereksperimen dengan kata.

Pengaruh Internasional dan Kunjungan ke Luar Negeri

Pengaruh Sutardji tidak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi juga di tingkat internasional. Pada tahun 1974, ia diundang untuk mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. Ia juga mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat, dari Oktober 1974 hingga April 1975. Selain itu, Sutardji sering diundang untuk menghadiri berbagai acara sastra internasional, termasuk Pertemuan Penyair Internasional di Baghdad dan Festival Puisi Internasional di Medellin, Kolombia.

Karya-karya Sutardji telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dan Belanda, yang memperluas jangkauan puisi-puisinya di luar negeri. Ia juga aktif dalam berbagai pertemuan sastrawan di ASEAN dan Nusantara, menjadikan namanya sebagai salah satu tokoh yang diperhitungkan dalam perkembangan sastra di kawasan Asia Tenggara.

Karya-Karya Ikonik Sutardji

Sutardji telah menelurkan banyak karya yang ikonik, baik dalam bentuk puisi, cerpen, maupun esai. Kumpulan puisinya yang pertama, “O” (1973), diikuti oleh “Amuk” (1972) dan “Kapak” (1979). Ketiga buku tersebut kemudian digabungkan menjadi “O, Amuk, Kapak” dan diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah perpuisian Indonesia modern.

Selain puisi, Sutardji juga menulis cerpen dan esai. Kumpulan cerpennya “Hujan Menulis Ayam” diterbitkan pada tahun 2001 oleh Indonesia Tera. Sementara itu, esai-esainya, yang sering dimuat di berbagai media massa, memberikan pandangan mendalam tentang dunia sastra dan puisi. Ia juga menulis kajian sastra untuk berbagai seminar, serta sedang menyiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji.

Penghargaan dan Pengakuan

Sepanjang kariernya, Sutardji telah menerima berbagai penghargaan sastra bergengsi. Pada tahun 1977, ia menerima Anugerah Seni dari Dewan Kesenian Jakarta, disusul dengan Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand pada tahun 1979. Ia juga menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1993, serta Penghargaan Sastra Chairil Anwar pada tahun 1998.

Puncak penghargaannya adalah ketika ia dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2008, serta gelar “Datuk Seri Pujangga Utama” dari Lembaga Adat Melayu Riau pada tahun 2018. Pengakuan ini menegaskan statusnya sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.

Warisan Sutardji dalam Dunia Sastra Indonesia

Sutardji Calzoum Bachri telah meninggalkan warisan yang mendalam dalam dunia sastra Indonesia. Dengan pendekatannya yang revolusioner terhadap kata-kata dan bahasa, ia membuka jalan bagi penyair generasi berikutnya untuk berani bereksperimen dan mengeksplorasi batas-batas bahasa. Gaya puisinya yang magis, penuh dengan kekuatan mantra, telah memberikan nuansa baru dalam perpuisian Indonesia.

Bagi para pecinta sastra, Sutardji tidak hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai sosok yang terus mempertahankan semangat kebebasan dalam berkarya. Hingga kini, karya-karyanya tetap relevan dan sering menjadi bahan diskusi di kalangan sastrawan dan akademisi. Dengan demikian, Sutardji Calzoum Bachri akan selalu dikenang sebagai salah satu penyair terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here