Salah satu fakta menarik tentang Umar Kayam adalah perannya sebagai Bung Karno dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI, sebuah film yang menjadi tontonan wajib di era Orde Baru. Namun, lebih dari sekadar aktor, Umar Kayam merupakan sastrawan, budayawan, dan sosiolog yang dikenal karena karya-karyanya yang konsisten mengangkat kehidupan wong cilik (rakyat kecil). Komitmennya terhadap kehidupan rakyat kecil sangat terlihat dalam setiap novelnya yang selalu dipenuhi kegairahan dan empati mendalam terhadap perjuangan hidup mereka.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Meskipun orang tuanya tinggal di Solo, keluarganya sengaja memilih kelahiran Umar di rumah kakeknya di Ngawi, sesuai dengan keinginan sang kakek. Nama Umar Kayam dipilih oleh ayahnya, Sastrosoekoso, yang terinspirasi dari Omar Khayyam, seorang filsuf, ahli matematika, dan pujangga asal Persia yang hidup pada abad ke-12. Harapan besar yang disematkan ayahnya adalah agar Umar dapat mengikuti jejak Omar Khayyam sebagai sosok yang cemerlang dalam ilmu pengetahuan.
Pendidikan awal Umar dimulai di Solo, di mana ia menyelesaikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Ia kemudian melanjutkan ke SMA di Yogyakarta dan menamatkan pendidikannya di SMA Semarang. Setelah lulus SMA, Umar kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Paedagogi Universitas Gadjah Mada (UGM), meraih gelar B.A. (sarjana muda) pada tahun 1955. Kecintaannya pada pendidikan membawanya ke Amerika Serikat, di mana ia berhasil meraih gelar M.A. dari Universitas New York pada tahun 1963 dan Ph.D. dari Universitas Cornell pada tahun 1965.
Karier Akademik dan Kebudayaan
Umar Kayam dikenal sebagai seorang akademisi yang cemerlang. Ia diangkat menjadi profesor di Fakultas Sastra UGM pada tahun 1986 dan dikukuhkan sebagai guru besar pada tahun 1988. Sebelum itu, ia pernah menjadi dosen di berbagai institusi, termasuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara di Jakarta dan Universitas Indonesia.
Selain dunia akademik, Umar Kayam juga memainkan peran penting dalam kebudayaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI pada periode 1966-1969, serta Ketua Dewan Kesenian Jakarta dari tahun 1969 hingga 1972. Kontribusinya dalam dunia perfilman Indonesia semakin terlihat dengan keterlibatannya sebagai Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979) dan Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981).
Sebagai tokoh kebudayaan, Umar tidak hanya berkontribusi dalam seni film, tetapi juga seni teater. Pada tahun 1954-1955, ia aktif di Teater Fakultas Sastra, Pedagogik, dan Filsafat UGM, di mana ia pernah menyutradarai lakon “Hanya Satu Kali” yang diperankan oleh seniman terkenal, Rendra.
Karya Sastra Umar Kayam
Dalam dunia sastra, Umar Kayam dikenal sebagai salah satu penulis prosa terbaik Indonesia. Meskipun tidak tergolong produktif dalam jumlah, karya-karya yang ia hasilkan memiliki kualitas yang diakui luas. Salah satu karyanya yang paling dikenal adalah Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), sebuah kumpulan cerpen yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, termasuk Jepang, Jerman, dan Prancis. Karya ini juga diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Makassar.
Umar Kayam juga menulis novel-novel yang sangat berpengaruh, di antaranya Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Para Priyayi (1992), dan Jalan Menikung (1999). Para Priyayi secara khusus membahas transformasi sosial yang terjadi di kalangan kaum priyayi di Indonesia, dan mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi di dunia sastra. Pada tahun 1987, Umar menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam sastra Asia Tenggara.
Kolom dan Esai
Selain menulis cerpen dan novel, Umar Kayam juga aktif menulis kolom dan esai tentang berbagai isu sosial, budaya, serta seni. Kolom-kolomnya yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, seperti Mangan Ora Mangan Kumpul (1995), Sugih Tanpa Banda (1994), dan Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1997). Kolom-kolom ini menjadi cerminan dari pandangan Umar tentang pentingnya menjaga solidaritas sosial dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping itu, Umar juga menulis esai tentang teater, film, dan kebudayaan yang diterbitkan dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) dan Sejumlah Masalah Sastra (1983). Gaya penulisannya yang memadukan ilmu sosial dengan seni menjadikan esai-esainya sulit dikategorikan secara tegas, apakah sebagai karya ilmiah atau sastra, menunjukkan fleksibilitas intelektualnya yang luar biasa.
Warisan dan Pengaruh
Warisan terbesar Umar Kayam adalah kemampuannya untuk memadukan dunia ilmu pengetahuan dengan seni, serta keberaniannya untuk menyoroti kehidupan rakyat kecil dalam karya-karyanya. Sebagai seorang sosiolog, ia memandang kehidupan sosial dengan mata yang kritis, namun sebagai sastrawan, ia selalu menyisipkan empati dan kehangatan dalam narasi-narasinya. Hal ini menjadikan Umar Kayam sebagai tokoh yang sangat dihormati di Indonesia.
Pada tahun 1997, menjelang pensiunnya sebagai guru besar, sebuah seminar khusus diadakan di UGM untuk menghormati kontribusinya. Seminar ini melibatkan ilmuwan, budayawan, dan seniman yang membahas karya-karya serta pengaruh Umar Kayam. Hasil seminar tersebut diterbitkan dalam buku Umar Kayam dan Jaring Semiotik (1998), sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya.
Hingga akhir hayatnya pada 16 Maret 2002, Umar Kayam tetap dikenang sebagai tokoh yang telah memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan sastra, seni, dan budaya Indonesia. Karya-karyanya yang mengangkat kehidupan wong cilik terus memberikan inspirasi bagi banyak generasi penulis dan seniman di Indonesia.
[…] Gumira Ajidarma adalah penulis yang mampu menyuarakan kegelisahan sosial dan politik melalui karya sastra. Meskipun karyanya sering dikaitkan dengan kritik terhadap kekuasaan, ia selalu menekankan […]