Literasi memegang peranan penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan setara. Tidak hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, literasi memiliki arti yang lebih luas, termasuk kemampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi untuk membuat keputusan yang berdampak positif pada kehidupan. Literasi menjadi alat strategis dalam pemberdayaan perempuan, terutama di daerah-daerah yang masih menghadapi kesenjangan akses pendidikan dan informasi. Peningkatan literasi perempuan di daerah dapat membuka peluang yang lebih besar dalam pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya, meskipun terdapat tantangan yang signifikan dalam prosesnya.
Sejak kecil, saya selalu duduk di sudut ruang tamu sambil mengamati ibu saya. Setiap hari, dia bangun sebelum fajar, mempersiapkan sarapan untuk keluarga, dan memastikan semua pekerjaan rumah tangga selesai sebelum kami semua bangun. Rutinitas ini seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ibu, tetapi di balik kesibukan itu, saya menyaksikan semangatnya untuk belajar dan berjuang demi perubahan. Ibu saya, seorang perempuan dari desa, hidup di tengah budaya yang memposisikan wanita sebagai pengurus rumah tangga semata. Namun, pengalaman dan perjalanan yang dijalani ibu melukiskan bagaimana literasi dapat mengubah nasib seorang wanita.
Ibu lahir di sebuah desa kecil di Jawa, di mana pendidikan formal bagi perempuan bukanlah prioritas. Menurut data dari UNESCO, di Indonesia, tingkat pendidikan perempuan di daerah pedesaan masih jauh di bawah perempuan di perkotaan. Sebagai contoh, dalam beberapa daerah di Indonesia, sekitar 20% perempuan dewasa tidak memiliki akses pendidikan dasar. Kebanyakan dari mereka diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga dan ladang. Prinsip “perempuan cuma tahu urusan dapur”, seakan mengukuhkan norma-norma yang mengikat ibu. Namun, ketertarikan ibu terhadap buku mulai muncul ketika dia menemukan beberapa buku bekas di sebuah perpustakaan desa. Buku-buku itu menjadi jendela bagi dunia baru, memberikan wawasan yang sebelumnya tidak ia miliki.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya berusia sepuluh tahun, ibu memutuskan untuk belajar hal baru dengan serius. Ia mendaftar di sebuah kelas literasi yang diadakan oleh organisasi lokal. Setiap malam, ketika kami tidur, ia akan duduk dengan buku dan membaca buku itu untuk mewujudkan keinginannya mengetahui tentang suatu hal. Melihat dedikasinya, saya mulai menyadari betapa pentingnya literasi bagi perempuan. Ibu sering mengajarkan saya bahwa dengan pengetahuan, perempuan dapat mengubah nasibnya. Dengan belajar membaca hal baru, ibu juga mulai memahami pentingnya manajemen keuangan. Sekitar 52% perempuan di daerah pedesaan di Indonesia masih bergantung pada pasangan mereka untuk pengambilan keputusan finansial, menurut data dari Badan Pusat Statistik.
Dengan pengetahuan yang didapat, ibu dapat membuat anggaran, menabung, dan mengambil keputusan yang lebih baik tentang pembelanjaan. Ibu bisa mengatur dana untuk pendidikan kami agar bisa mendapatkan pengajaran yang lebih baik. Ia juga bisa mengubah hobi memasaknya menjadi usaha yang menguntungkan. Dalam prosesnya, ibu menjadi salah satu contoh perempuan di desa kami yang mampu berkontribusi pada ekonomi keluarga, serta menantang norma yang telah mengikat banyak perempuan di desa.
Meningkatnya literasi di kalangan perempuan juga berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Menurut laporan dari World Bank, peningkatan literasi perempuan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga secara signifikan, hingga 10-20%. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dan keterampilan literasi dapat membawa dampak langsung pada kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Ibu adalah contoh nyata dari hal ini. Ia menggunakan pengetahuan literasi yang diperolehnya bukan hanya untuk kesejahteraan dirinya tetapi juga untuk meningkatkan taraf hidup keluarga kami.
Literasi juga memberikan ibu saya kemampuan untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat dan terencana di bidang rumah tangga. Ia belajar membaca label makanan dan memahami nutrisi yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan penelitian dari Kementerian Kesehatan, kurangnya pemahaman tentang gizi telah mengakibatkan masalah kesehatan seperti stunting di kalangan anak-anak di Indonesia. Dengan memiliki pengetahuan ini, ibu mulai menyusun menu makanan yang lebih bergizi untuk keluarga. Dia mengajarkan kami tentang pentingnya makanan sehat dan bagaimana menghindari makanan olahan yang tidak baik untuk kesehatan. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas lainnya, kami menghabiskan waktu di kebun kecil belakang rumah untuk menanam sayuran dan buah-buahan. Pendekatan ini tidak hanya mendidik kami tentang kesehatan tetapi juga mempererat hubungan kami sebagai keluarga. Aspek sosial juga tidak kalah penting.
Pada awalnya, ibu merasa terisolasi karena peran tradisionalnya. Namun, setelah mulai belajar, ia terlibat lebih aktif dalam komunitas. Dia menjadi anggota kelompok belajar yang diadakan oleh perempuan lain di desa. Mereka berkumpul setiap minggu untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan. Ibu menjadi salah satu suara utama yang mendorong perempuan-perempuan lain untuk belajar membaca dan menulis. Menurut survei dari UNICEF, ketika perempuan terlibat dalam jaringan sosial dan memiliki akses kepada pendidikan, mereka lebih cenderung untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka.
Satu malam, kami mengadakan pertemuan di balai desa, ibu berbicara dengan penuh semangat tentang bagaimana literasi bisa mengubah hidup seorang wanita. Ia mengisahkan pengalamannya dalam belajar membaca hal baru, serta bagaimana hal itu membantunya memahami hak-hak sebagai seorang perempuan. Saya merasakan kebanggaan yang luar biasa saat melihatnya berdiri di depan semua orang, menantang norma yang ada.
Seiring berjalannya waktu, ibu akhirnya menemukan jalan untuk memulai usaha kecilnya. Dia tidak hanya ingin membesarkan anak-anak dengan baik, tetapi juga ingin memberikan pelajaran berharga tentang keuangan dan bisnis. Dengan mempelajari cara mengelola usaha kecil dan memahami pasar, ibu dapat meluncurkan produk makanan yang terbuat dari bahan lokal. Melalui media sosial, ia memasarkan produk tersebut, menjangkau pelanggan lebih luas dari sebelumnya. Di era digital ini, perempuan yang melek literasi digital dapat membuka peluang pemasaran yang lebih baik, menciptakan usaha yang berdaya saing.
Perjalanan ibu ini juga membawa dampak besar bagi perempuan-perempuan lain di desa. Mereka mulai berani mengambil langkah serupa, membuka usaha kecil berdasarkan keahlian mereka dan saling mendukung satu sama lain. Ibu saya menginisiasi program pelatihan bagi perempuan yang ingin belajar membuat kerajinan tangan, menjahit, dan memasak. Dia menciptakan ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman, bertukar pikir, dan menjalin persahabatan. Dalam waktu singkat, kehadiran mereka dalam dunia usaha semakin terlihat.
Dengan literasi, perempuan di desa mulai menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berbicara dan memperjuangkan kebutuhan mereka. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik masih rendah, hanya sekitar 18% di DPRD. Namun, peningkatan literasi dapat mengubah tren ini. Ibu membaca berbagai literatur tentang hak perempuan dan pendidikan. Dalam diskusi komunitas, wanita-wanita di desanya berani mengajukan pertanyaan dan menyampaikan pendapatnya, sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu. Dalam berbagai pertemuan desa, mereka mulai mendiskusikan isu-isu penting seperti pendidikan anak, kesehatan, dan kesetaraan gender.
Melihat perubahan yang terjadi, saya merasa bangga dengan apa yang sudah dicapai ibu. Dari seorang wanita yang terjebak dalam budaya patriarki, ia menjadi pionir literasi untuk pemberdayaan perempuan. Sekarang, perempuan di desa berani memimpin, berbicara, dan membuat keputusan penting dalam kehidupan mereka. Keberanian dan tekad ibu saya telah menginspirasi generasi muda, menanamkan keyakinan bahwa pendidikan adalah hak setiap perempuan. Kini ketika saya melihat ibu, saya tidak hanya melihat seorang wanita yang dulunya terkurung dalam batasan-batasan sosial.
Saya melihat seorang pelopor, seorang pendidik, dan inspirasi bagi banyak orang. Saya menyadari betapa pentingnya literasi dalam memberdayakan perempuan, dan bertekad untuk meneruskan perjuangan ini dalam lingkup yang lebih luas. Kisah ibu seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa edukasi adalah kunci untuk membongkar belenggu dan menciptakan kesetaraan.
Di dunia yang terus berubah ini, literasi adalah jendela menuju masa depan yang diharapkan. Yang terpenting, saya belajar dari ibu saya bahwa selama kita berjuang dan membangun pengetahuan, tidak ada tantangan yang tidak bisa kita atasi. Dengan meneladani ibu saya, saya pun termotivasi untuk terus belajar dan mengedukasi diri sendiri serta orang lain. Kami semua berhak untuk bermimpi lebih dan menjadi yang terbaik dalam diri kami masing-masing.