sastra
Sumber Foto: Semilir.co

Malam sehabis hujan, purnama meredup di balik sisa-sisa awan mendung. Bau tanah masih melekat di ujung hidung. Bising bincang-bincang manusia menyertai harumnya kopi yang bergumul. 9 September 2022, jiwa-jiwa sastra tua dan muda berhimpun dalam satu agenda di pusat taman kopi bernama Belanda, Koopen sebutannya.

Yusri fajar di malam apresiasi

Sebuah apresiasi digelar demi wujudkan tamadun kesustraaan dengan tajuk “Menumbuhkan Karya Sastra di Era Digital” dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional 2022. Majelis Daerah KAHMI Kota Malang selaku penyelenggara bersama tokoh-tokoh terpandang dan para insan yang haus akan sastra turut hadir meramaikan acara.

Pukul 19.56 WIB, desing mikrofon mulai bersuara, tanda acara telah dibuka. Agenda pertama diisi oleh sambutan dari Luthfi  J. Kurniawan, selaku presidium KAHMI. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan-pembacaan puisi yang diiringi alunan merdu petikan dawai. Syair demi syair memecahkan hiruk pikuk kota, riuh tepuk tangan kian memeriahkan suasana.

Pembacaan puisi diiringi instrumen musik dawai

Pewara kemudian membawa acara pada agenda inti. Pemberian penghargaan pertama diberikan kepada Yusri Fajar atas kritiknya berjudul “Chairil Anwar tak Menghiraukan Alam?” yang telah meraih posisi Pemenang III dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 bertema “Modernisme Chairil Anwar”. Pandangannya yang membantah Sutan Syahrir Alisyahbana, menyebut puisi-puisi Chairil sebagai pembela alam.

Pada orasi budaya yang tercatat dalam agenda malam itu, Yusri menyampaikan refleksinya dibalik proses kreatif naskah kritik yang ditulisnya tentang sajak-sajak Chairil Anwar. Sebagai pendobrak tradisi konvensional dalam bidang kesusastraan, Chairil tidak semata-mata menempatkan manusia sebagai pusat, melainkan juga menempatkan alam sebagai tempat kembali. Chairil tidak membayangkan hidup yang sempurna, sebab “sekali berarti, sesudah itu mati”.

Pemberian penghargaan

Pemberian penghargaan kedua pun diberikan kepada Redy Eko Prasetyo, seorang seniman sekaligus penggagas Kampung Cempluk yang telah berdiri selama dua belas tahun hingga saat ini.  Musisi kelahiran Situbondo itu juga dikenal sebagai pencipta instrumen musik berbasis dawai yang diberi nama Dawai Cempluk. Karena kontribusinya, ia pun masuk dalam 74 daftar penerima Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila pada tahun 2019 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Penganugerahan apresiasi kepada dua tokoh yang berkontribusi besar bagi Indonesia itu turut dimeriahkan dengan penampilan duet dari Yusri sebagai pembaca puisi dan Redy dengan dawainya yang mengiringi. Pembacaan puisi berjudul “Di Negeri Bekas Penjajah Aku Menemukan Dirimu” yang digubah oleh Yusri sendiri menggema di langit malam, Jumat itu. Bising-bising sekajap membisu di balik irama dawai yang syahdu.

Beberapa penampilan pembacaan puisi dari alumni KAHMI dan hadirin juga tak kalah ikut memeriahkan malam apresiasi. Begitu banyak runtutan puisi yang dibacakan dalam acara hingga lupa mencatat semua judul dan pembacanya. Meski begitu, suara-suara mereka tak akan terpendam, sebab kedai kopi Koopen menjadi saksi biksu bersama dinginnya angin malam.

Penganugerahan apresiasi oleh Times Indonesia

Tak lupa sepatah dua patah kata kehangatan dari Ibu Handayani yang terhormat, selaku pembicara dari Dinas Pendidikan Kota Malang. Kemudian dilanjutkan dengan monolog  singkat dari arkeolog terpandang, Dwi Cahyono, mengenai “perkembangan kesusastraan di Kota Malang” yang ikut menyertai acara.

Acara pun ditutup dengan ucapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai sepanjang agenda. Namun, perbincangan masih belum usai sampai di situ. Dilanjutkan oleh diskusi ringan informal seputar “Menumbuhkan Karya Sastra di Era Digital” oleh petandang utama acara, yakni Redy Eko Prasetyo, Yusri Fajar, Dwi Cahyono, dan Ibu Handayani.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here