tepuk tangan

“Orang-orang selalu bertepuk tangan untuk alasan yang salah,” J.D Salinger.

Pada suatu Minggu di Agustus 2021 yang berangin kering saya menikmati secangkir kopi di tempat menyenangkan. Tempat itu berada di ujung pusat pertokoan Okaz, Ponorogo. Dari namanya, dan arsitektur timur tengahnya, langsung mengingatkan saya pada sepenggal sejarah pasar rakyat bangsa Arab pra-Islam, Pasar Ukaz. 

Di sana para penyair Arab beradu kualitas. Dan puisi-puisi terbaik di antara mereka, belakangan dikenal sebagai Al Mualaqot, ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka’bah. Tapi, entah dengan Okaz.

Sangat mungkin, di tahun-tahun sebelum 2021, sedikit pun tak ada aroma kesusastraan menguar dari dalamnya. Sampai kemudian lahirlah Rusamenjana: Sebuah toko buku bersanding angkringan. Dari situ saya baru yakin adanya rengeng-rengeng kesusastraan di sana, dan itu sedikit memantaskan pilihan nama Okaz, yang mirip dengan Ukaz. 

Saya lebih suka menyebut Rusamenjana toko buku plus plus. Tentu saja bukan plus menjual Alat Tulis Kantor (ATK), tas, sepatu, atau tasbih jimat. Bukan pula plus memajang seluruh karya seorang penulis yang keproduktifannya bikin geleng-geleng otak. 

Seorang penulis yang hari ini menulis Pulang; seminggu lagi menulis Pergi; dan lima hari kemudian merampungkan Pulang-Pergi. Bagi penulis model begini, bisa jadi menulis segampang mengupas rambutan. Jadi, tak perlu kagum.

Lalu, plusnya apa? Di Rusamenjana, saya menemukan buku tak sekadar komoditas, suatu barang yang diproduksi dan dipertukarkan untuk mendapatkan nilai lebih. Mereka memperlakukan buku seintim mungkin: Membukanya, menghirup baunya, dan menelanjangi isinya. Seperti yang mereka lakukan beberapa waktu lalu kepada Saksi Mata-nya Seno Gumira Adjidarma. Dan plus terpentingnya adalah, mereka bukan tipe penjual yang mengglorifikasi karya semenjana agar payu.

Kutipan di pembuka tulisan ini juga saya hafal begitu saja dari selembar kain merah pemanis salah satu sudut Rusamenjana. Saya sudah lama membaca dua karya J.D Salinger “The Catcher in the Rye” terbitan Banana, dan “Raise High the Roof Beam, Carpenters” terbitan Pelangi Sastra. Namun, saya lupa belaka dengan kutipan itu. Terima kasih sudah diingatkan, Rusamenjana.

Meski bukan wahyu, tetap saja kita tidak dapat mengelak kebenaran kata-kata itu. J.D Salinger, salah satu pemuja militan Hemingway di Amerika, mencipta kalimat cerdas sekaligus tandas. Kalimatnya itu benar-benar menampar muka kita. Iya, kita. Siapa lagi?

Bukankah kita merupakan satu-satunya spesies yang dikaruniai kemampuan bertepuk tangan untuk mengungkapkan perasaan atau menilai sesuatu? Dan sayangnya, sebagaimana kata Salinger, banyak tepuk tangan kita untuk alasan yang salah.

Tindakan tepuk tangan itu mudah, sering terkesan sepele. Bahkan sejak bayi, kita sudah diajari tepuk tangan. Tepuk tangan telah menjadi bagian tindakan semesta, cara manusia berkomunikasi. Kita tinggal membenturkan dua tapak tangan, dan jadilah tepuk tangan. 

Tindakan sederhana itu ternyata memanggul ragam makna: Tanda bahagia, kagum, setuju, menghina, dan sebagainya. Tapi, dalam jagad The Catcher in The Rye, tepuk tangan menjelma sebentuk metafora tentang dukungan kita terhadap sesuatu. Bisa nilai, ideologi, peristiwa, pilihan politik, sosok, dan banyak lagi.  

Tahun 2014, banyak orang bertepuk tangan untuk lelaki bertubuh ceking dan menyorotkan tatapan ketulusan. Tepuk tangan kala itu kurang lebih bersuara: “Ini nih, Ratu Adil yang selama ini ditunggu”; atau “Pemimpin sipil yang jauh dari kejahatan HAM masa lalu”; atau “Pemimpin yang muncul dari bacin gorong-gorong adalah pemimpin yang layak dimenangkan”. Dan, bha, di tahun 2021 tepuk tangan itu telah berubah jadi tepok jidat— duh, ternyata podo wae.

Saya pikir, makin banyak orang bertepuk tangan untuk sesuatu yang salah, maka kualitas peradaban semakin longsor. Tepuk tangan banyak orang terhadap suatu pemerintahan despotik, bakal membuat nyawa makin murah dan kritik mental oleh senjata. Di atas tepuk tangan banyak orang, “ormas preman” berani tampil heroik; mendaku paling loreng dan pancasilais; atau mendaku pejuang agama tersahih. 

Di era digital, tempik sorak emoji tepuk tangan ribuan netizen juga menyerbu unggahan “selebgram kata-kata” secepat Polisi Pamong Praja menghapus mural-mural. Mereka bicara hujan mulai membasahi September; kembali berceloteh tentang hujan dan kenangan. Juga rindu. Juga masa kecil yang kuyup, yang telanjang, yang berebut bola plastik di selokan sekolah atau lapangan. 

Hey Bro dan Sis, apa tepuk tangan kalian lupa?
Bahwa, kenangan yang pasti berulang sewaktu hujan adalah kebanjiran. Bahwa, rindu di musim hujan yang patut diratapkan adalah rindu akan pembangunan yang tak memperparah banjir, longsor, dan cacingan. Bahwa, lapangan masa kecilmu juga makin tersudut oleh pertambangan.

Jadi, pikirkan ulang tepuk tangan kita. Sebenarnya, tepuk tangan ini untuk apa (dan siapa)?

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here