Kabupaten Musi Rawas merupakan kabupaten terluas di daerah Provinsi Sumatera Selatan setelah Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun kedua kabupaten terakhir justru yang terlebih dahulu dimekarkan menjadi beberapa kabupaten.
Sedangkan pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara baru dilaksanakan pada tahun 2013. Padahal, Kabupaten Musi Rawas Utara mempunyai potensi sumber daya alam yang cukup melimpah seperti batubara, minyak bumi, dan emas.
Kabupaten tersebut secara strategis juga menjadi perlintasan antar kota antar provinsi seperti Jambi, Sumatera Utara, dan Bengkulu. Dari segi historis dan kultural, sejak era kolonial daerah tersebut terpisah menjadi dua yakni masyarakat Musi dan Rawas, serta mempunyai adat dan bahasa yang berbeda.
Latar belakang pembentukan daerah baru semakin menguat karena adanya beberapa konflik politik di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Pertama, perebutan wilayah Sumur Gas Suban IV yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebijakan politik pemerintah dalam hal mekanisme pembentukan daerah otonomi yang baru.
Masyarakat Banyuasin kecewa terhadap Gubernur Alex Noerdin karena dianggap tidak mampu menjaga wilayahnya dari sengketa Suban IV dan Kabupaten Musi Rawas. Upaya negosiasi yang cukup alot berakhir pada Surat Bupati Musi Rawas kepada Gubernur Sumatera Selatan yang pada intinya berisi menyerahkan sepenuhnya penyelesaian konflik politik proses pemekaran wilayah ini kepada pemerintah pusat.
Akhirnya pembahasan daerah otonomi baru yang sudah diajukan dan dibahas DPR harus tertunda hingga pasca dilaksanakan Pemilu 2009.
Peristiwa kedua yang memunculkan gejolak politik yakni kontestasi Pilkada Gubernur Sumatera Selatan 2013. Dimana 2 tokoh yang saling memperebutkan pengaruh yakni Alex Noerdin dan Ridwan Mukti.
Tarik menarik kepentingan di tubuh Golkar memanas memperebutkan jatah pencalonan, karena terdapat perbedaan pilihan antara DPP dan DPD Golkar. Faktor ketiga yakni dualisme Presidium Musi Rawas Utara yaitu versi Muhammad Ibrahim (kelompok Ridwan Mukti) dan versi Syarkowi Wijaya (kelompok Alex Noerdin).
Dualisme ini merupakan bagian dari pertarungan politik menuju Sumsel 1 tahun 2013 yang menjadikan isu pemekaran menjadi objek politik. Keduanya bahkan saling melaporkan diri ke aparat penegak hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi yang pernah dilakukan selama menjabat.
Fakto terakhir yakni wacana Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maraknya perusahaan asing menanamkan investasinya, terutama untuk sektor pertambangan dan perkebunan. Mayoritas masyarakat tidak menganggap wacana tersebut membawa kesejahteraan sosial. Namun justru menjadi ladang basah korupsi antara kerjasama pejabat dan pengusaha.
Semangat Desentralisasi
Dalam paparan di atas secara sekilas kita bisa menyimpulkan bahwa nuansa politik selalu ada dalam tata kelola pemerintahan, bukan semata administratif. Nuansa politik hampir selalu mengundang adanya konflik, tidak jarang melalui cara kekerasan.
Dalam kasus pembentukan daerah otonomi baru, kasus Musi Rawas Utara juga menggambarkan kepentingan elit yang begitu dominan alih-alih murni semangat bersama masyarakat. Kekuasaan politik berperan begitu besar dalam setiap keputusan politik bahkan dapat menggerakkan masa dalam jumlah besar hingga polarisasi.
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) adalah usaha untuk merekonstruksi kembali distribution of power antara pusat dan daerah sebagai upaya membentuk format baru otonomi daerah yang lebih demokratis (Zaini, 2018). Upaya tersebut merupakan bentuk tindak lanjut dari semangat otonomi daerah pasca reformasi 1998. Kenyataan menunjukan bahwa desentralisasi selalu saja memicu konflik dan gesekan antar berbagai kelompok kepentingan.
Padahal, desentralisasi bukan hanya berfungsi mendistribusikan dan atau merebut kekuasaan, namun juga mengelola kemajemukan wilayah yang ada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri setiap wilayah punya ciri khas masing-masing, pun dengan potensi yang beragam sehingga desentralisasi juga harus memahami konteks kewilayahan di daerah.
Problem saat ini, desentralisasi justru tergelincir dan hanya dipahami sekadar pembagian kue-kue kekuasaan di tingkat lokal. Memunculkan raja-raja kecil didaerah. Hal demikian juga berefek pada derajat demokratisasi yang berbeda-beda di tiap daerah.
Demokratisasi memberikan ruang yang lebih besar bagi elemen masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses politik. Namun dalam proses pembentukan daerah baru, tidak jarang malah menimbulkan konflik antar berbagai kelompok masyarakat yang melibatkan elit lokal secara horizontal dan vertikal.
Selain itu problem paternalistik tidak bisa terlepas dalam konteks Indonesia. Budaya patronase yang mengakar kuat juga terinstitusionalisasi dalam sistem pemerintahan, juga partai politik.
Praktik tersebut terwujud misalnya dalam bentuk orang-orang kuat secara politik dan ekonomi, serta pemberian rekomendasi pencalonan oleh ketua partai. Dalam kasus Sumatera Selatan DPP partai Golkar lebih merekomendasikan calon orang baru, berbeda dengan kehendak DPD partai. Suatu hal yang sering terjadi hingga saat ini.
Pembagian kewenangan pusat-daerah ini tidak jarang juga menimbulkan kontradiksi. Seringkali terdapat ketidaksesuaian kehendak antara keduanya.
Adanya wilayah administratif di daerah setingkat kabupaten kota memang membuka harapan, namun penguasaan keputusan-keputusan strategis tetap menjadi wewenang pusat. Hal yang demikian juga menimbulkan praktek korupsi kolusi dan nepotisme yang tidak dapat dibendung. Korupsi kini menjadi kian menjamur baik raja besar di pusat dan raja kecil di daerah.
Dapatkan promo khusus pembelian buku ini dengan klik di sini di sini.
DATAIL PRODUK
Penulis: Drs. Zaman Zaini,
Penerbit: INTRANS PUBLISHING
ISBN. : 978-602-6293-25-1
Tahun. : Februari, 2018
Halaman. : xiv + 258 hlm
[…] Membangun Daerah Baru : Dari Cita-Cita Hingga Konflik Politik Budaya yang Menggerakkan Mengurai Etika Administrasi Publik Urgensi Partai Politik dan Pelembagaannya Film Aku Mencintai Maka Aku Ada, Perjalanan yang Sedih dan Gembira di Saat Bersamaan AllBukuFilmMusik […]