Pada tahun 2016, Martin Scorsese menggarap film yang berjudul Silence. Ia mengajak beberapa aktor yang cukup ternama, seperti Liam Neeson, Andrew Garfield dan Adam Driver. Minim dialog dan minim aksi adalah impresi saya atas film ini sehingga saya menyimpulkan kalau film ini: membosankan. Kemudian pada pertengah tahun 2022 saya baru mengetahui kalau film garapan Martin Scorsese itu diadaptasi dari salah satu novel karya Shusaku Endo, tak menunggu lama saya langsung mencari dan membeli novel tersebut di aplikasi keranjang oranye.
Setelah sampai, langsung saya buka kemasannya dan segera dibaca. Air mata saya yang turun telah sukses membuat novel ini basah. Novel ini ditulis orang Jepang, Shusaku Endo, dan berhasil membuat saya mempertanyakan iman saya yang seorang Katolik dan –secara khusus- mempertanyakan kebertuhanan saya.
Hening. Ya, sesuai dengan judulnya, novel ini mengangkat nuansa keheningan; di mana para pelaku utama dalam novel ini bergerak secara diam-diam menghindari mata rezim dalam melakukan tugasnya, itu yang saya pikir pertama mengenai keheningan yang diusung pada novel ini. Namun setelah saya membaca untuk kedua kalinya, karena disarankan oleh dosen, maka saya menemukan bahwa keheningan yang dibangun bukan hanya latar, melainkan Tuhan yang hening.
Mengambil latar abad ke-17 dengan peristiwa penyebaran agama Katolik di Jepang oleh misionaris Portugis ini bisa dikatakan novel beraliran fiksi sejarah. Novel ini menceritakan dua orang Jesuit yang memiliki dua tugas, yaitu: membina gereja Katolik lokal dan mencari Christovao Ferreira, guru mereka. Kita akan diajak menelusuri lika-lika dua tokoh kita, Sebastiao Rodriguez dan Francisco Garrpe dalam melaksanakan misi mereka. Bermodal keberanian (dan iman), mereka dengan tegak melangkah dari Portugis menuju Jepang; yang mana pada masa Tokugawa, sangat merepresi orang nasrani Jepang.
Selama membaca, kita akan melihat bagaimana umat Kristiani Jepang mempertahankan dan memperjuangkan imannya dan selama itu pula kita juga akan menyaksikan pergumulan tokoh utama kita, Sebastiao Rodriguez, dalam membina Kakure Kirishitan (Kristen Tersembunyi).
Novel memang bisa menjadi salah satu alat memantik kita untuk berefleksi, sehingga ketika saya membaca novel ini saya merasa ‘bercermin’, yang artinya saya melihat Sebastiao Rodriguez dalam diri saya. Saya pikir, Rodriguez adalah cermin manusia beragama ketika diterpa banyak masalah dan kita pasti akan mempertanyakan pertanyaan yang sama seperti Rodriguez dan para Kakure Kirishitan, “Tuhan, di mana Engkau?”
Tak perlu menjadi seorang Katolik untuk membaca novel ini, karena menurut saya novel ini tidaklah bersifat mengajak pembaca non-Katolik menjadi berubah ‘haluan’ dan menurut saya, membaca novel ini dengan pandangan non-Katolik membuat novel ini menjadi menarik. Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa novel bisa memantik kita untuk berefleksi, maka novel ini bisa dijadikan salah satu pemantik refleksi pada kehidupan spiritual kita. Saya pikir kehidupan atau dinamika spiritual harus dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan yang reflektif, karena dari pertanyaan tersebut kita semakin tahu menjadi tahu siapa yang kita sembah dan bukan hanya kesadaran palsu belaka. Di masa modern ini banyak sekali kita temukan teman-teman kita yang hanya mengimani Tuhannya bermodal dengan kesadaran palsu, yang mana -menurut saya- hal ini bisa berujung pada fanatisme buta a la kaum puritan.
Mungkin bagi beberapa pembaca akan merasa kesulitan meraba-raba peristiwa sejarahnya, apalagi peristiwa sejarah yang dijadikan latar dan konteks tempatnya jauh berbeda dari kita, Indonesia. Kegelisahan semacam itu tidak perlu dirisaukan, karena di bagian kata pengantar kita pertama-tama dibantu meraba konteks historisnya. Agar kita lebih mengetahui latar dari novel tersebut ada baiknya untuk membaca kata pengantarnya terlebih dahulu. Di dalamnya terdapat serangkaian data-data historis yang bisa membantu kita untuk merangkai imaji konteks historis pada novel tersebut. Saya pikir kita tidak perlu membaca jurnal atau buku terkait dengan dinamika dan peristiwa penyebaran agama Katolik di Jepang. Bisa saya katakan bahwa novel ini bisa menjadi gerbang untuk mengetahui dinamika penyebaran agama Katolik di Jepang.
Si penulis, Shusaku Endo, merupakan seorang Katolik sejak kecil, sehingga ia merasa yakin bahwa Katolik merupakan dirinya. Namun meskipun ia seorang Katolik dari kecil, tak jarang ia meragukan kekatolikannya, karena ia merasa bahwa Katolik adalah sesuatu yang bersifat ‘pinjaman’ atau berasal dari eksternal. Kegundahan ini membawa pada kesimpulan bahwa di dalamnya terdapat “rawa-rawa Jepang”. Rawa-rawa Jepang disini bisa diibaratkan dengan Kristen yang masuk ke dalam sarang laba-laba Jepang, dimana kecil kemungkinan Kristen akan tetap hidup. Melihat hal itu, Endo menawarkan satu solusi bagi, dimana kita “harus menyerap Kristianitas tanpa dipengaruhi tradisi, sejarah, warisan ataupun sensibilitas Kristen.”