Seperti mendengar pengalaman dan petuah dari orang lain, novel bisa jadi media belajar hal baru. Dikemas dengan narasi yang mengalir, berkenalan dengan konsep-konsep baru pun terasa lebih efektif dan cepat meresap di kepala. Ini yang saya rasakan saat membaca sejumlah novel Jepang dari beberapa penulis perempuan mereka, yakni Mieko Kawakami, Sayaka Murata, dan Emi Yagi.
Ketiga penulis tersebut seolah membuka mata pembaca pada isu-isu sosial di Jepang yang jarang terekspos di media. Bukan yakuza dan sebangsanya, tetapi hal-hal mengerikan lain yang mirisnya sering dianggap lumrah.
Dalam novel Convenience Store Woman karya Sayaka Murata misalnya, pembaca akan diperkenalkan tentang posisi krusial minimarket atau konbini dalam tatanan masyarakat Jepang. Namun, di sisi lain ini juga tentang sang lakon, Keiko, yang tidak ambil pusing dengan ekspektasi sosial yang melekat padanya sebagai perempuan berusia pertengahan 30-an di Jepang secara spesifik.
Pada usia itu, seharusnya Keiko sudah berada di level manajerial dan berkeluarga. Didukung pula oleh indikasi neurodiversity yang diidapnya, Keiko sangat mencintai rutinitas repetitifnya di minimarket tempatnya bekerja.
Secara tidak langsung, pergolakan batin Keiko yang ingin dianggap “normal” mencerminkan keseragaman luar biasa di Jepang, di mana menjadi mencolok bukanlah pilihan yang tepat bila ingin diterima di sana. Murata juga menyertakan sosok Shirahara yang dijadikannya sebagai representasi makhluk-makhluk misoginis sekaligus oportunis yang menyebalkan, tetapi eksistensinya tidak bisa diberantas begitu saja.
Adapun Mieko Kawakami, lewat novel Heaven, ia menggambarkan peristiwa perundungan di sebuah sekolah. Walau korban dan pelakunya sama-sama anak di bawah umur, penggambarannya cukup brutal dan kadang bikin tak sampai hati membayangkannya. Apalagi dalam novel itu, Kawakami menggunakan sudut pandang korban dan kata ganti orang pertama. Ini bukan hiperbola atau upaya dramatisasi.
Melansir Nippon.com, setidaknya 83 persen sekolah di Jepang menerima laporan perundungan pada 2019. Dampaknya pun fatal. Data yang dihimpun Nippon.com dari kepolisian dan berbagai sumber lain, ditemukan bahwa jumlah siswa sekolah di bawah 18 tahun yang mengakhiri hidupnya mencapai ratusan pertahun. Puncaknya terjadi pada 2022 ketika 500 lebih kasus ditemukan.
Jangan lupakan pula mahakarya Kawakami lainnya yang bertajuk Breasts and Eggs. Di sini, ia mengupas habis isu-isu womanhood dan otonomi tubuh, termasuk ekspektasi sosial pada perempuan yang lama kelamaan tak masuk akal. Bahkan mirisnya ini sudah dirasakan perempuan sejak masa kanak-kanak dan secara tidak langsung mempengaruhi keputusan yang diambil perempuan saat dewasa. Meski berlatar di Jepang, obrolan sang lakon dan karakter-karakter lain di sekitarnya cukup umum dan bisa dirasakan semua perempuan di berbagai belahan dunia.
Novel debut Emi Yagi juga tak kalah menarik. Saat membaca sinopsisnya, saya mengira ia akan banyak membahas dan mengkritisi isu yang mirip Breasts and Eggs yakni otonomi tubuh dan peran reproduksi yang dibebankan pada perempuan. Nyatanya, Yagi justru menyoroti ketimpangan gender di Jepang pada level domestik. Mirisnya, ketidakseimbangan peran ini dibawa hingga ke ranah profesional.
Lakon Emi Yagi dalam Diary of a Void bernama Shibata, seorang karyawati berusia 30-an yang jomblo, tetapi nekat berpura-pura sedang hamil demi mendapat “hak-hak istimewa” yang sebenarnya lebih tepat disebut kesetaraan. Mengingat masyarakat Jepang cenderung privat, tak ada yang berani bertanya apakah Shibata sudah menikah, apalagi mencari tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung Shibata.
Dengan kata ganti orang pertama, Yagi mengajak pembaca bukunya menyelami batin Shibata dan alasannya menggunakan modus operandi tersebut. Ternyata, semua berakar dari ketidakadilan yang dirasakan Shibata sebagai satu-satunya karyawan perempuan di divisinya. Entah apa yang merasuki mereka, para karyawan laki-laki lain di divisinya selalu meninggalkan pekerjaan-pekerjaan menial seperti merapikan ruangan setelah rapat termasuk membersihkan cangkir kopi dan merapikan kursi, hingga mengisi kertas di mesin fotokopi untuk dikerjakan Shibata.
Bukan distopia, ini ternyata sesuai dengan fakta bahwa mayoritas laki-laki di Jepang tidak berkontribusi dalam pekerjaan rumah tangga. Ini terbukti lewat data yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2015 yang menunjukkan bahwa laki-laki di Jepang rata-rata hanya menyisihkan 40 menit perhari untuk melakukan pekerjaan tanpa upah seperti membereskan pekerjaan rumah dan merawat anak atau anggota keluarga lain. Sementara, perempuan bisa menghabiskan 224 menit per hari atau hampir 4 jam.
Keengganan laki-laki Jepang melibatkan diri dalam pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab sebagai orangtua juga dilibas Emi Yagi ketika Shibata diceritakan bergabung dalam komunitas yoga untuk ibu hamil. Lewat obrolan Shibata dengan beberapa rekan sesama bumil, pembaca lagi-lagi ditampar soal sistem masyarakat patriarki yang menyebalkan itu.
Apa yang kita baca dalam buku-buku fiksi Jepang jelas berupa representasi yang jauh berbeda dari manga dan anime. Perspektif realis yang disajikan para penulis tadi menyadarkan kita tentang peran sastra dalam mencerahkan dan mengedukasi masyarakat lewat tulisan.
[…] dibaca. Air mata saya yang turun telah sukses membuat novel ini basah. Novel ini ditulis orang Jepang, Shusaku Endo, dan berhasil membuat saya mempertanyakan iman saya yang seorang Katolik dan […]