Fakta sejarah menyebutkan bahwa Islam dapat diterima di Indonesia bukan dengan cara konfrontatif, tetapi dengan cara akulturatif, dengan wajah yang lebih ramah.

Namun, akhir-akhir ini, marak kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi yang dicitrakan oleh sebagian umat Islam. Tentunya hal itu sangat merugikan bagi eksistensi keislamansecara khusus dan kemanusiaan pada umumnya.

Citra Islam yang sopan nan ramah yang dibangun sejakmunculnya Islam di Nusantara kini berubah menjadi pemarah. Pastinya, mereka tidak memahami betul nilai-nilai perdamaiandalam sumber primer Islam, yakni al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad.

Biasanya, muslim pemarah ini selalu menolak perihalkebudayaan yang bersifat lokalitas. Dengan dalih bahwa Islam turun di Arab, jadi mau tidak mau harus mengadopsi budayaArab untuk diterapkan di Indonesia. Pendek kata, mereka inginmengadopsi semua aspek yang berbau Arab. Bayangkan saja, saudara kita yang ada di desa membajak sawah denganmenggunakan jubah, melarang perempuan menjadi sopir, dan lain sebagainya.

Perlu ditekankan, bahwa agama Islam diturunkan sebagaipetunjuk untuk manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Akan tidak afdol, jika adopsi budaya seperti di atas terusdilakukan.

Menjadi penting untuk mengetahui dimensi kesejarahan Islam dalam konteks penyebarannya. Dalam konteks manapun, Islam dalam penyebarannya mendapat banyak tantangan yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Bukantanpa sebab, melainkan perbedaan kultur yang ada di tiapdaerahnya.

Di jawa, tantangan tersebut muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Untuk mengatasi hal tersebut. Denganketajaman intelektual-kultural yang dimiliki para wali, Islam dapat dicitrakan bukan dengan kontrontatif, atau marah-marah, melainkan Islam dihadirkan dengan ramah, yakni denganadaptif, akulturatif dengan budaya Jawa.

Kejawen, sebagai kebudayaan Jawa asli, yang banyak dianutoleh masyarakat Jawa nyatanya dipadukan dengan Islam. Sebagai perpaduan antara Islam dan Budaya Jawa dengan polasinkretik-mutualistik atau akulturatif menciptakan suatukebudayaan baru, yakni Islam Kejawen secara khusu, Islam Jawa secara umum.

Pola tersebut pernah dilakukan Sunan Kalijaga dalamdakwahnya, dengan menggunakan media budaya Hindu dalamwujud wayang dipadukan dengan nilai-nilai Islam. Pada prakteknya, Sunan Kalijaga menggunakan wayah yang diberimuatan-muatan Islami untuk dipertontonkan serta didakwahkanpada masyarakat Jawa.

Singkatnya, akulturasi Islam dan budaya Jawa dilakukan dengancara memadukan esensi kedua variabel tersebut. Terlebih, memberi muatan Islami pada budaya Jawa atau memberi muatan Jawa pada tradisi Islam.

Dalam proses akulturasi terdapat point penting yang perludiketahui, yakni Islam menggantikan nilai budaya lokal yang bertentangan dengan Islam, namun tetap mempertahankanwadah atau bentuk kebudayaan Jawa.

Namun perlu diketahui pula, bahwa kedua hal tersebut suatubangunan yang sejajar, namun bangunan yang dinamis, yang memungkinkan pengkoreksian antar variabel.

Pergumulan Islam dengan kebudaan lokal sesungguhnya tidakhanya terjadi di Jawa saja, namun terjadi hampir di segalapenjuru dunia yang berdialog dengan Islam.

Varian Islam tidak hanya satu wajah, melainkan sangatbervariasi sesuai dengan adat dan kebudayaan setempat. Sehingga muncul berbagai varian Islam seperti, Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Melayu, Islam Banjar, dan lain sebagainya.

Dapat diketahui bahwa akulturasi Islam dengan budaya lokalmenjadi barang mutlak dengan perwujudan atau manifestasiyang berbeda-beda tergantung pada kondisi dan tradisimasyarakat setempat. Dengan demikian, sifat keuniversalanIslam tidak diperuntukkan untuk ras, golongan, suku, negara, dan bangsa tertentu, namun untuk segenap umat manusia di dunia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here