Pada malam minggu (21/10/2023) yang dingin di bawah langit berbintang, acara Festival Sastra Kota Malang menghadirkan penulis dan pegiat kampung untuk duduk bersama dan berbincang terkait mahakarya garapan 23 orang penulis. Panitia festival malam itu memboyong tokoh-tokoh penting yang ikut menitipkan tulisannya dalam buku Bhakta Pradesa sebagai narasumber perbincangan santai itu.
Sebelumnya, pada pagelaran Festival Kampung Cempluk yang dilaksanakan bulan lalu, buku yang berisi rekaman Kampung Cempluk berproses budaya ini telah dirilis. Dan kini, di bawah langit malam yang sama, buku Bhakta Pradesa dibedah dan dikupas lebih mendalam untuk mengenal Kampung Cempluk dan gerakan kebudayaan di kampung-kampung secara lebih dekat.
Pembahasan Buku Bhakta Pradesa ini tak terlepas dari perjuangan pegiat kampung seperti Redy Eko Prastyo, Daniel Sugama Stephanus, dan Alzam Darma Putra yang hadir di kursi narasumber. Selain melibatkan pegiat kampung, tak lupa juga melibatkan intelektual pengamat Kampung Cempluk yang malam itu juga hadir, Janwan Tarigan.
Perjuangan pegiat kampung tersebut tak akan ada hingga kini tanpa adanya masyarakat kampung yang solid, partisipatif, dan gotong royong. Seperti kutipan yang digaungkan oleh pria yang kerap disapa Bung Jansen, “Peradaban dimulai dari kampung”. Ia menegaskan bahwa kunci utama dalam membangun kebudayaan kampung adalah masyarakat yang hetero dan solid. Maka tak ayal jika Kampung Cempluk dapat terus menjadi ikon kebudayaan yang masih eksis hingga kini.
Partsipasi masyarakat tersebut diakui oleh Daniel yang telah menjadi warga RT 05 RW 01 Desa Sumberjo sejak awal terciptanya komunitas Kampung Cempluk.
“Yang merasa nikmat di sana karena semuanya partisipatif. Kegiatan Kampung Cempluk itu murni swadaya dan murni swadana. Hanya ada izin saja dari pihak desa dan kabupaten. Itu yang asik,” jelas Dosen Akuntansi Universitas Ma Chung tersebut.
Partisipasi yang dimaksud tak hanya pada kegiatan festival, tetapi juga dalam pengembangan kampung. Daniel, Redy, Alzam dan yang lain banyak berdiskusi terkait solusi untuk mengembangkan kampung dari tahun sebelum-sebelumnya. Diskusi pengembangan kampung tersebut tak lupa juga merangkul pemuda-pemudi kampung. Alzam Darma Putra merupakan salah satu sosok muda yang terlibat aktif dalam komunitas kampung, terutama untuk menjawab tantangan perkembangan zaman.
Seiring perkembangan zaman, Para Pegiat Kampung Cempluk ini merasakan Festival Kampung Cempluk mengalami pergeseran dari yang sebelumnya merupakan pertunjukan dan pagelaran panggung yang dinikmati warga menjadi seolah hanya festival kuliner.
“Saya melewati tiga zaman. Zaman waktu masih betul-betul Festival Kampung Cempluk itu dinikmati seluruhnya. Karena kita itu membuka panggung tidak hanya satu. Tiga sampai yang terakhir itu empat. Jadi setiap RW itu punya panggung masing-masing. Kegiatannya tematik. Hari ini Cempluk Menari, besok Cempluk Berpuisi, dsb.,” tambah Daniel.
Menanggapi tantangan tersebut, Alzam Darma Putra yang kini menjabat sebagai ketua komunitas yang baru membeberkan rencananya untuk tahun-tahun berikutnya. Menurutnya, untuk mempertahankan identitas kampung, penting diadakan pertemuan 3 bulan sekali sebagai usaha merawat pakem-pakem Kampung Cempluk.
Sebab, di tengah terpaan arus budaya kekinian yang masuk, keunikan dan kebudayaan lokal yang masih dapat survive lah yang dapat mengangkat kebudayaan tersebut lebih dikenal secara global. Redy pun menegaskan bahwa Kampung Cempluk juga ingin memanifestasikan kebudayaan yang lokal, tapi dikenal global.
“Semakin lokal, semakin global. Semakin global, semakin lokal!”, jelas intelektual kampung tersebut.
Selain berisi karya tulisan-tulisan yang menjelaskan perjalanan Kampung Cempluk berproses dan menghadapi berbagai tantangan, buku Bhakta Pradesa juga berisi kritik yang dibungkus dengan tulisan yang mengajak kita berpikir kritis terhadap potensi dan problem yang ada di kampung. Buku yang berisi banyak perspektif penulis ini, masih dapat diakses melalui sistem pre-order di Intrans Official Store untuk pengalaman membaca yang lebih mendalam.