Takjil

Saya menulis rangkaian kata awal ini sambil menikmati wedang jahe hangat buatan istri. Setiap seduhannya betul-betul terasa nikmat dan sarat makna yang mendalam. Memang terlihat agak lebay, tapi memang begitulah adanya. Wedang jahe itu adalah “takjil” pertama buatan istri di Bulan Ramadhan kali ini.

Bukan kurma, kolak, es kelapa muda, ataupun makanan manis yang terhidang di meja makan, melainkan hanya dua gelas wedang jahe, satu mangkuk sup, dan nasi putih. Rupa-rupa hidangan itu pun sudah sangat terasa istimewa untuk mengawali buka puasa. Bahkan tersajinya hidangan itu, sudah sangat layak dikatakan sebuah kesuksesan untuk istri saya. Ya.. pada saat menyiapkan hidangan itu sebenarnya dia belum sepenuhnya sembuh dari sakitnya.

Kebetulan seluruh anggota keluarga kecil kami tiba-tiba sakit di awal pelaksanaan puasa. Suhu tubuh yang begitu panas dan menggigil, menyebabkan kami harus berbuka puasa lebih awal dari semestinya. Segala persiapan fisik, jiwa, maupun materi untuk “bertarung” di bulan suci, akhirnya harus ditata ulang karena “skenario” yang berbeda.

Bayangan tentang jadwal kegiatan Ramadhan yang sudah tersusun rapi di alam pikiran akhirnya sirna begitu saja. Jangankan untuk khataman Qur’an, Shalat Tarawih, atau sekadar jalan-jalan ke pasar takjil untuk ngabuburit, berdiri dan jalan ke kamar mandi saja tubuh ini terasa sulit. Mau minta bantuan pun juga bingung diarahkan ke siapa. Apalagi semua juga sedang berada di kondisi sakit. Yang ada kita hanya saling “menoleh” tanpa sepatah kata pun.

Awal Ramadhan ini memang mengantarkan saya untuk terus belajar. Pikiran nakal “menikmati” dosa sebelum masuk di bulan penuh ampunan, akhirnya mendapat jawaban secara langsung. Hari-hari yang saya “desain” untuk menghapus dosa-dosa yang terkumpul sebelum Ramadhan akhirnya kandas. Bukan kesempatan membersihkan diri yang saya dapat, melainkan perenungan mendalam tentang sebuah kerugian. Saya merasa rugi ketika tidak mampu memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang baik selain di Bulan Ramadhan.

Disini harus saya akui jika selama ini lalai. Setiap waktu adalah penting. Jika tidak mampu memanfaatkannya, maka rugilah kita. Ego manusiawi memang seringkali muncul. – -Ahh nggak papa dosa sedikit, nanti diperbaiki di Bulan Ramadhan. Mungkin menganggap remeh temeh sesuatu yang “kecil” itu seringkali tidak kita sadari. Terkadang sampai lupa jika kita ini hanyalah makhluk lemah, yang hanya mampu membuat angan tanpa tahu cerita “kepastian” di masa depan.

Jika sudah dikasih “paham” bahwa apa yang dicita-citakan sirna, baru kita ingat bahwa kita ini bukanlah siapa-siapa. Seperti sakit yang saya alami selama awal Ramadhan ini membuat saya jadi tertunduk untuk beberapa kali. Selama ini, saya merasa menjadi hamba yang terlalu percaya diri menjalani puasa Ramadhan dengan sangat berhasil. Keyakinan itulah yang membuat saya melangkah terlalu jauh. Sampai lupa bahwa tujuan ibadah ini sebenarnya untuk apa dan “siapa”. Mungkin jika saya baik-baik saja ketika awal menjalani Puasa Ramadhan kali ini, saya bakal jadi makhluk yang sangat sombong tentang pencapaian penghapusan dosa. Untuk itulah saya memang sangat perlu “diingatkan”.

Berhasil menahan diri untuk tidak makan dan minum selama pemulihan dari sakit, merupakan suatu prestasi tersendiri bagi saya di Bulan Ramadhan kali ini. Buka puasa pertama itu menjadi penuh senyuman dan kebanggaan. Sambil menyeduh wedang jahe, kedua mata ini tak terasa menjadi berkaca-kaca. Dalam hati saya juga tak henti mengucap syukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati ibadah puasa.

 

 

 

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here