Tahukah Anda bahwa novel pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah karya seorang sastrawan asal Tapanuli, Sumatera Utara? Merari Siregar, seorang penulis yang lahir pada 13 Juli 1896 di Sipirok, Tapanuli, Sumatera Utara, adalah tokoh di balik penciptaan novel tersebut. Sebagai salah satu sastrawan angkatan Balai Pustaka, Merari Siregar dikenal karena kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia, terutama dalam mengkritik adat istiadat yang dianggapnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Merari Siregar lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang sarat dengan adat-istiadat yang ketat, termasuk praktik kawin paksa. Sejak kecil, ia telah menyaksikan bagaimana pola hidup masyarakat di daerahnya sering kali tidak sejalan dengan tuntutan zaman. Kondisi ini menimbulkan keresahan dalam diri Merari, yang kemudian menjadi inspirasi utama dalam karya-karyanya. Merari bersekolah di Kweekschool, sebuah sekolah guru pada masa penjajahan Belanda, dan melanjutkan pendidikan di sekolah guru Oost en West di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923, ia memperoleh ijazah dari Handelscorrespondent Bond A di Jakarta.
Pendidikan yang ia terima, terutama dari Barat, mempengaruhi pandangan dan pemikiran Merari Siregar terhadap adat istiadat di kampung halamannya. Pendidikan Barat tidak hanya memberinya wawasan baru, tetapi juga mendorongnya untuk berpikir kritis tentang tradisi yang menurutnya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Sebagai seorang sastrawan, Merari Siregar menghasilkan beberapa karya yang sangat berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah novel “Azab dan Sengsara,” yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920. Novel ini bercerita tentang kesengsaraan seorang gadis akibat kawin paksa, sebuah tema yang sangat dekat dengan kehidupan pribadi Merari Siregar. Melalui karya ini, ia ingin mengkritik adat kawin paksa yang dianggapnya sebagai salah satu bentuk ketidakadilan terhadap perempuan di masyarakat.
Merari Siregar menyatakan bahwa novel “Azab dan Sengsara” ditulis untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik di tengah masyarakatnya, terutama di antara kaum laki-laki. Ia juga menegaskan bahwa meskipun kisah dalam novel ini tampak mustahil bagi beberapa pembaca, kejadian-kejadian tersebut benar-benar terjadi, meski disusun sedemikian rupa agar cerita tersebut lebih jelas dan mudah dipahami.
Selain “Azab dan Sengsara,” Merari Siregar juga menulis beberapa karya lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, antara lain:
1. Si Jamin dan Si Johan (1918) – Sebuah novel saduran dari “Jan Smees” karya Justus van Maurik. Merari Siregar berhasil menyadur cerita ini dengan sangat baik sehingga pembaca merasa seolah-olah membaca cerita asli Indonesia.
2. Tjerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi (1924) – Karya ini juga merupakan refleksi dari pandangannya terhadap kehidupan masyarakat perkotaan.
3. Binasa karena Gadis Priangan (1931) – Novel ini mengangkat tema tentang konflik sosial dan adat.
4. Tjinta dan Hawa Nafsu (tanpa tahun)Sebuah karya yang mengangkat tema cinta dan nafsu, yang juga sangat kental dengan nuansa kritik sosial.
Merari Siregar, bersama dengan sastrawan lain seperti Marah Rusli, dianggap sebagai pelopor dalam tradisi penulisan novel di Indonesia. Meski demikian, menurut pandangan kritikus sastra seperti Umar Junus, Merari Siregar dan Marah Rusli sebenarnya tidak memiliki niat khusus untuk melakukan pembaruan dalam sastra Indonesia. Mereka lebih cenderung mengekspresikan pikiran mereka yang telah dipengaruhi oleh pendidikan dan sastra Barat. Pengaruh ini terlihat jelas dalam sikap dan pandangan mereka terhadap adat istiadat seperti kawin paksa.
Merari Siregar dan rekan-rekan sezamannya mungkin tidak menyadari adanya struktur novel sebagaimana yang kita kenal sekarang, namun mereka berhasil menggabungkan unsur-unsur cerita tradisional dengan pendekatan baru yang lebih segar dan relevan dengan zamannya. Hal inilah yang membuat karya-karya Merari Siregar tetap memiliki nilai historis dan literer yang tinggi hingga saat ini.
Merari Siregar meninggal dunia pada tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura, meninggalkan tiga orang anak dan warisan sastra yang tak ternilai. Meskipun telah berpulang, karya-karyanya terus hidup dan menjadi bagian penting dari sejarah sastra Indonesia. Novel-novelnya tidak hanya menawarkan cerita, tetapi juga kritik sosial yang tajam terhadap adat dan kebiasaan yang ia anggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Karya-karya Merari Siregar menjadi bukti bahwa sastra dapat menjadi alat perlawanan yang efektif terhadap sistem atau kebijakan yang dianggap tidak adil. Melalui novel-novelnya, Merari Siregar telah berhasil menyuarakan keresahannya terhadap adat kawin paksa dan ketidakadilan sosial, yang hingga kini masih relevan dan terus menjadi bahan kajian dalam studi sastra Indonesia.
Warisan Merari Siregar dalam dunia sastra Indonesia terus dikenang hingga kini. Karyanya tidak hanya menjadi tonggak dalam perkembangan novel berbahasa Indonesia, tetapi juga menjadi refleksi dari kegelisahan sosial yang dirasakan oleh masyarakat pada zamannya. Melalui karya-karyanya, Merari Siregar berhasil menyampaikan kritik terhadap adat dan kebiasaan yang menurutnya perlu diubah demi kemajuan bangsa. Sebagai sastrawan yang berangkat dari keresahan terhadap sistem sosial, Merari Siregar tetap menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra Indonesia.