Ada monster yang hidup dalam diri aku. Dia akan muncul saat aku lemah, saat aku tidak mampu mengontrol diri aku sendiri. Aku capek dan selalu sendiri dalam menghadapi segala masalah dan monster itu pun muncul mengalihkan rasa sakit aku. Seperti itulah awal mula gambaran gangguan mental yang aku alami. Aku adalah ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil, anak pertama aku perempuan usianya tujuh tahun dan yang kedua laki-laki usianya tiga tahun. Saat ini aku memasuki usia ke-32 tahun. Aku adalah ibu rumah tangga yang mengisi waktu luang aku dengan menerima jahitan di rumah.
Semuanya baik-baik saja pada awalnya, kadang kala kita malah mengira diri kita saja yang terlalu berlebihan dalam menanggapi masalah yang terjadi dalam kehidupan kita. Karena pada dasarnya memang di luaran sana ada banyak orang yang mungkin menghadapi masalah yang jauh lebih berat dari pada kita. Dimulai dengan masalah ekonomi, konflik bersama pasangan, beban pekerjaan atau lingkungan sosial tempat kita tinggal. Tapi, setiap orang punya kekuatan mental yang berbeda dalam menghadapi masalah. Ada yang super kuat apapun masalah dia masih bisa tetap terlihat baik-baik saja, ada juga yang langsung ngedrop dan langsung berpengaruh buruk terhadap kesehatan dia.
Pertama ketika satu masalah datang bertubi-tubi dan kita selalu bilang baik-baik saja percayalah suatu saat akan menjadi bom atom yang ledakannya mengejutkan semua orang di sekitar kamu. Dan poin keduanya adalah kamu tidak pernah meminta bantuan orang lain, menganggap bahwa kamu bisa menyelesaikannya semuanya sendiri. Atau memang keadaanya yang tidak mendukung kamu mendapatkan support dari siapapun.
Suatu ketika saat aku mendapatkan pelanggan yang cukup banyak, sedangkan waktu pengambilannya mepet. Kedua buah hati aku berantem berebut slam. Sudah aku coba melerai namun tidak berhasil sehingga aku tinggalkan mereka ke dapur ketika saya kembali betapa terkejutnya aku mendapati baju yang baru saja selesai di jahit sudah penuh dengan slime. Emosi aku naik dan langsung memukul keduanya. Melihat anak-anak aku lari ketakutan aku pun tersadar aku keterlaluan. Ada yang salah, kenapa aku jadi pemarah bahkan untuk hal sepele, ketika anak aku menumpahkan makanan sekalipun aku bisa memarahinya seharian. Sampai kadang aku takut berdekatan dengan anak aku takut menyakiti mereka, terkadang ada bisikan kenapa aku tidak mati saja rasanya sudah lelah. Segitu beratkah? Iya.
Pagi itu aku merasa kepala pusing, mungkin karena sudah beberapa hari saya tidak bisa tidur nyenyak, nafsu makan berkurang, pikiran kacau dan tubuh rasanya lelah sekali membuat semangat hilang. Aku memutuskan pergi ke dapur tapi bingung mau ngapain, seperti linglung terus mondar-mandir ke kamar sambil melihat anak-anak yang masih tertidur. Akhirnya termenung di depan kamar kemudian tiba-tiba saya tertawa makin lama makin kencang sampai membuat suami saya terbangun dan menghampiri aku dan bertanya ada apa? Tapi terus terang aku juga tidak tahu apa yang aku tertawakan. Tidak ada hal lucu, kecuali kehidupan aku yang kacau balau. Sesaat kemudian aku menangis, menangis sejadi jadinya sampai anak-anak pun ikut terbangun. Suami dan anak-anak aku kebingungan melihat aku yang makin tidak karuan, beberapa piring melayang, disusul gelas, dan perabot lainnya kondisi dapur berubah berantakan. Dengan panik suami meminta anak aku yang perempuan menelepon pamannya yang jaraknya beberapa rumah, sementara dia sendiri mendekap aku yang terus meronta. Anak laki-laki aku yang kecil terus memanggil mamah, ingin sekali aku menjawab namun tidak bisa. Mulut aku terkunci hanya emosi yang makin menjadi. Kalap itulah yang terjadi ketika semua masalah dipendam sendiri .
Pada saat itu aku kehilangan kendali atas diriku. Seakan ada lubang hitam besar yang menyedot aku masuk kedalam, menyuruh aku untuk ikut dengannya meninggalkan pantulan cahaya yang makin redup. Tapi suara anak-anak aku yang terus memanggil mamah menyadarkan aku bahwa ini tidak benar, aku harus kembali ke mereka, sebelum semakin jauh. Mereka masih membutuhkan aku. Setelah cukup lama, aku mulai menyadari sekeliling lalu mendekati anak-anak dan memeluk mereka dengan erat. Kami menangis bersama. Suami aku mendekat dan mulai ikut menangis.
Dia bertanya, “Apa masalahnya sampai kamu seperti ini?” Aku menangis dan mulai menceritakan satu per satu permasalahan yang membuat aku gila.
“Apa kamu ingat saat kamu ditipu jual motor dan uangnya tidak kembali apa yang kamu lakukan? Saat kamu kembali ditipu jual beli domba apa yang kamu lakukan?” Suamiku diam, tapi aku menjawab pertanyaan aku sendiri dengan menirukan jawabannya waktu itu.
“Ya, ikhlasin saja mungkin bukan rezeki kita, semudah itu kamu bilang tanpa ada usaha buat mendapatkan uang kita kembali. Saat aku sakit sindrom neufrotik apa yang kamu bilang? Kok kamu bisa sakit gitu ya? Ya udah kamu minum obatnya. Nggak ada rasa khawatir kamu. Seolah-olah aku cuma sakit biasa, apa kamu tahu ibunya teman anak kamu baru saja meninggal akibat gagal ginjal.” Uraiku dengan berlinang air mata. Suamiku mulai menyadari kesalahannya namun aku belum selesai bicara.
“Saat aku minta kamu untuk minta uang sisa kerja kamu ke bos kamu dan bos kamu nggak kasih lagi alasan rugi? Apa yang kamu bilang? Udah lah aku pusing mau mancing aku butuh nenangin pikiran. Seenaknya kamu ngomong gitu. Padahal saat itu aku butuh uang buat kontrol ke dokter. Memangnya aku nggak butuh ketenangan?”
“ Maaf…”
“ Saat aku mati-matian menghemat sampai-sampai aku nggak peduli kebutuhan diri aku sendiri, makeup, baju baru, ibu kamu malah bilang aku hambur-hamburkan uang dan boros? Kamu cuma bilang nggak usah dengerin. Apa saat aku sakit ibu kamu ada? Aku rela sehabis nikah ikut kamu ke kampung yang terpencil karena aku percaya kamu, padahal di tempat tinggal aku di kota lapangan pekerjaan juga banyak pilihannya. Aku ngertiin posisi kamu yang anak satu-satunya, nggak bisa ninggalin peninggalan ayah kamu, di sini aku nggak punya siapa-siapa selain kamu, jadi aku minta tolong ngertiin aku, aku capek. Dengerin nasehat aku, agar nggak kena tipu lagi. Jangan selalu benar sendiri. Aku juga setidaknya bantu keluarga itu mendapatkan pemasukan dengan membuka tempat jahit, tapi kamu hanya menganggap aku cuma santai-santai di rumah? Iya kan?” Cercaku panjang lebar.
“ Bukan begitu,” sanggahnya.
“ Terus kenapa saat aku sakit kamu nggak ngasih aku waktu istirahat? Hah? Semuanya aku kerjain sendiri? Apa kamu tahu rasanya?”
“ Maafin aku, aku janji aku akan berubah, kamu jangan sakit, iya aku salah, kamu harus sembuh, kita butuh kamu.”
“Apa kamu mau aku seperti mamanya Farhan? Meninggal karena gagal ginjal. Jika seperti ini terus aku bisa gila. Bahkan mati, atau bisa saja aku membunuh kedua anak kamu agar ikut mati bersamaku. Mamah capek Yah,” timpalku lagi. Suamiku merengkuh kami bertiga, tangisnya pun pecah. Laki-laki yang selalu cuek itu tak dapat berkata-kata. Hanya dia yang bisa aku andalkan dan kepeduliaan dia cukup memberi aku kekuatan.
“Aku yang salah, selama ini aku kira kamu baik-baik saja, aku terlalu fokus pada kegagalan aku sendiri. Aku merasa kecewa dan putus asa tapi tidak memikirkan perasaan kamu juga. Sehabis ini ayo kita ke dokter. Maafin ayah Mah,” tuturnya lembut. Aku seperti mendapatkan kembali rumah yang selama ini aku rindukan.
Sejak saat itu suamiku sering membantuku dalam mengurus anak-anak, dia juga menanyai pendapatku saat memulai usaha baru. Aku juga rajin kontrol ke dokter, serta memulai hidup yang lebih sehat dan menghindari hal-hal menimbulkan stres. Seorang wanita jika mentalnya sudah rusak maka dia tidak akan bisa menjalankan perannya sebagai seorang ibu maupun seorang istri. Komunikasi yang baik antar pasangan dapat mencegah terjadinya depresi karena satu sama lain bisa saling menguatkan.
Tasikmalaya, 28 September 2024
Depresi rentan sekali di alami seorang wanita khususnya ibu rumah tangga dimana budaya kita mengharuskan seorang wanita harus bisa menjadi seorang ibu, istri, guru dan pencari nafkah. Tapi sayangnya posisi seorang wanita selalu serba salah dan tidak pernah adanya apresiasi terhadap perannya yang ganda.