Abigail: Melawan Bayangan Kelam
Abigail: Melawan Bayangan Kelam

“Awas!”  

Aku segera berlari menghampiri seorang perempuan sebayaku yang terjatuh di depan  kelas. Dia terpeleset genangan air yang dengan sengaja ditumpahkan di sana. Tanganku terulur  membantunya berdiri. Namun, perempuan itu terus menunduk, seolah takut akan sesuatu.  

“Hei, jangan sok jadi pahlawan! Dia memang pantas dapat itu. Itu hukuman buat dia  karena kabur dariku,”  

Aku memutar badan. Di bawah ambang pintu kelas, Ghea, mahasiswi paling populer di  fakultasku berdiri dengan angkuh, menatap remeh kami. Dia tadi dengan sengaja  menumpahkan air di koridor depan kelas sebelum mahasiswi yang ku tolong melewatinya. 

“Dia terjatuh karena ulahmu. Dimana otakmu?” tanyaku tajam.  

Wajah Ghea merah padam. “Kalau tidak tau masalahnya jangan ikut campur,” 

“Jangan kamu pikir, aku diam saja melihat tingkahmu yang menyusahkan orang lain,”  ucapku tidak takut. “Kamu dan dia sama-sama perempuan. Bagaimana bisa kamu menindas  sesamamu?”  

Ghea terdiam, namun dari raut wajahnya, dia tampak semakin marah. Meskipun dia  memiliki popularitas tinggi, namanya dipuja karena memiliki paras yang cantik, tidak serta  merta dapat menutupi kebusukannya yang suka menindas orang lain.  

“Kamu boleh pergi. Segera ganti pakaian karena itu basah,” ucapku pada mahasiswi  yang ku tolong. Dia bergegas pergi dari sana, tanpa mau mengangkat wajahnya.  

“Sebagai seorang mahasiswa, seharusnya Anda tau bagaimana bertindak yang benar.  Anda itu manusia berakal, jangan seperti binatang,” tandasku sebelum pergi. Ghea  mengepalkan tangannya.  

Sepanjang jalan, aku terus berpikir. Aku pernah berada pada posisi mahasiswi tadi.  Ditindas, dibully, hampir setiap hari saat aku masih duduk di bangku SMP hingga SMA. Aku  diperlakukan secara tidak adil, seolah semua orang merasa berhak atas diriku. Aku berasal dari  keluarga miskin, karena itulah mereka selalu menertawakanku dan merendahkanku seenaknya. 

Pada masa itu, aku hanya bisa menunduk takut-takut dan menuruti semua kemauan  mereka. Tidak melawan saat mereka membentak, mendorongku saat aku mencoba  memberanikan diri menolak permintaan mereka. Hampir setiap pulang sekolah, aku  mengurung diriku di kamar, menangis dalam diam. Tidak berani aku mengadukan hal itu pada  Ibu, atau akan membuatnya khawatir. Ibu hanya tau, aku bersekolah dengan baik dan mendapat  teman-teman yang baik. Setiap melihat senyumnya, rasa bersalah menyelinap didadaku. Maaf  Ibu, aku telah berbohong. 

Hingga saat menjelang tahun ketiga SMA, ada seorang siswi baru yang menjadi teman  sekelasku. Norma. Dia satu-satunya siswi yang menolongku saat aku dibully oleh mereka,  kelompok siswi paling populer di sekolah. Saat itu aku hanya bisa menangis, menunduk takut  menutupi bagian depan seragamku yang basah. Norma datang dan dengan berani membalas  perlakuan mereka, membuat banyak siswa-siswi terkejut.  

Sejak saat itu, dia menjadi satu-satunya temanku, bahkan sahabatku.  

“Jangan hanya diam saat kamu ditindas seperti itu. Kamu punya harga diri dan hidupmu  sangat berharga, Abi” ucapnya suatu hari. Aku menunduk. Lihatlah, diriku hanya seorang siswi  penerima beasiswa di sekolah ternama ibu kota provinsi.  

“Aku bahkan tidak merasa punya hak atas diriku, Norma. Aku tidak seperti kamu, juga  mereka,” balasku pelan. Ku dengar Norma mendengus. “Kamu pikir harga diri diukur dari  materi yang kita punya?” tanyanya tajam.  

Mendengar itu aku terdiam. Selama ini, aku merasa minder. Aku merasa tidak pantas.  Bukan berarti aku tidak bersyukur atas kesempatan bersekolah di sini. Siapa yang tidak mau  bersekolah di sekolah unggulan? aku merasa sangat beruntung untuk itu.  

“Dengar Abigail. Kalau kamu tidak berani menyelamatkan dirimu sendiri, siapa yang  pada akhirnya bisa melakukannya? Aku atau siapapun itu tidak bisa selalu bersamamu,” 

Ucapannya itu membuatku sadar, hari itu memang salah satu hari beruntungku. Terima  kasih Norma, kamu memberiku kekuatan untuk membangun keberanian membela diriku  sendiri, hingga aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Mengingat itu, seketika aku merasa  rindu dengan Norma. Baiklah nanti sore aku akan berkunjung.  

Aku hendak pulang ketika Ghea menghadang jalanku. Aku mengangkat alisku.

“Jangan harap kamu bisa lolos dariku, anak miskin. Kamu harusnya sadar diri  berhadapan dengan siapa” sentaknya. 

“Tidak perlu kamu ingatkan, aku memang dari keluarga miskin. Dan kamu siapa?  Hanya mahasiswi populer yang suka bertindak semaunya. Ingat ya Ghea, ini zaman modern  dan kamu masih saja bertingkah seolah tidak berpendidikan. Sekali kamu ketahuan, kampus  ini tidak akan membiarkan perlakuan diskriminatif terus merajalela,” balasku tajam.  

“Ananda Ghea, Anda diminta menemui Dekan Fakultas sekarang,” Ghea hendak  membalasku namun terpotong oleh staf fakultas yang datang untuk memintanya bertemu  pimpinan fakultas. Berita Ghea yang merundung seorang mahasiswi telah sampai pada Dekan.  

Ghea tampak terkejut dan dengan patah-patah mengikuti staf tersebut. Aku menghela  nafas pelan, bahkan tidak butuh waktu lama bangkai itu telah tercium.  

Cuaca sore itu terasa sejuk dengan matahari yang sedikit tertutup awan. Aku berjalan  pelan menghampiri Norma. “Hai Norma. Aku datang lagi, maaf lama tidak menjengukmu,”  aku berjongkok, menaruh sebuket bunga, mengusap pelan nisan yang tertulis nama sahabatku.  

“Bagaimana kabarmu? Pasti disana indah dan menyenangkan kan?” monologku. 

“Kamu tau Norma, hari ini aku berhasil menolong orang lain yang ditindas. Sama  seperti yang kamu lakukan untukku dulu,”  

“Tidak terasa waktu berlalu cepat sekali. Setiap harinya aku selalu berterimakasih  padamu. Karena kamulah aku menjadi diriku saat ini. Saat menatap cermin, aku melihat  keberanian dan percaya diriku, Norma. Bahkan aku seolah bisa melihat bayanganmu yang  tersenyum di sampingku.” Tidak terasa satu tetes air mataku jatuh. Buru-buru aku  menghapusnya. Aku tidak boleh bersedih di depan sahabatku. Sore itu aku menceritakan apa  saja padanya, meski tidak ada jawaban tapi itu tetap membuatku tenang.  

Norma adalah sosok yang bekontribusi besar dalam hidupku. Dia tidak berhenti  menguatkanku, mendorongku untuk berani melawan ketidakadilan. Perlahan perubahan besar  itu aku rasakan. Aku tidak lagi merasa minder meski aku berasal dari keluarga miskin. Toh,  sejatinya manusia memiliki hak yang sama. Aku menjadi termotivasi untuk terus berkembang  dan berusaha mengubah nasib keluargaku agar tidak dipandang remeh. 

Memang tidak mudah untuk keluar dari tekanan yang telah lama aku rasakan.  Lingkaran setan itu hampir saja menjerumuskanku pada keputusasaan. Tapi ketika memiliki 

Sosok sahabat yang dengan tulus berada di sampingku membuatku sadar bahwa tidak semua  orang memandangku rendah. Aku dan hidupku berharga. Perlahan tapi pasti aku berhasil lepas dari cengkeraman itu dan sadar bahwa aku punya kendali penuh atas hidupku.  

Ketika memasuki dunia perkuliahan aku mulai aktif mengikuti kegiatan di kampus,  aktif bersosialisasi, berdiskusi, dan lainnya yang membuat diriku berkembang. Hingga kini aku  hampir menyelesaikan masa studiku, banyak pembelajaran yang aku dapatkan.  

Hingga dua tahun lalu, Norma divonis mengidap penyakit kanker stadium 3. Dia sangat  terpukul, begitu juga diriku. Aku berusaha selalu berada di sampingnya, menyalurkan kekuatan  untuknya. Namun, takdir Tuhan menjemputnya lebih cepat. Hari itu, aku seperti kehilangan  separuh diriku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan terus bersamanya meski dunia  kita tidak lagi sama.  

Norma membantuku menafsirkan ulang makna hidupku. Jika dulu aku takut maju  karena latar belakang ekonomiku yang kurang, tapi sekarang aku takut jika aku tidak berbuat  apa-apa keadaan akan tetap sama. Trauma masa lalu itu membawaku pada titik bahwa tidak  ada yang perlu disalahkan, ini persoalan tentang bagaimana aku melindungi diriku sendiri dan  aku belajar baik dari pengalaman buruk itu. 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here