“Awas!”
Aku segera berlari menghampiri seorang perempuan sebayaku yang terjatuh di depan kelas. Dia terpeleset genangan air yang dengan sengaja ditumpahkan di sana. Tanganku terulur membantunya berdiri. Namun, perempuan itu terus menunduk, seolah takut akan sesuatu.
“Hei, jangan sok jadi pahlawan! Dia memang pantas dapat itu. Itu hukuman buat dia karena kabur dariku,”
Aku memutar badan. Di bawah ambang pintu kelas, Ghea, mahasiswi paling populer di fakultasku berdiri dengan angkuh, menatap remeh kami. Dia tadi dengan sengaja menumpahkan air di koridor depan kelas sebelum mahasiswi yang ku tolong melewatinya.
“Dia terjatuh karena ulahmu. Dimana otakmu?” tanyaku tajam.
Wajah Ghea merah padam. “Kalau tidak tau masalahnya jangan ikut campur,”
“Jangan kamu pikir, aku diam saja melihat tingkahmu yang menyusahkan orang lain,” ucapku tidak takut. “Kamu dan dia sama-sama perempuan. Bagaimana bisa kamu menindas sesamamu?”
Ghea terdiam, namun dari raut wajahnya, dia tampak semakin marah. Meskipun dia memiliki popularitas tinggi, namanya dipuja karena memiliki paras yang cantik, tidak serta merta dapat menutupi kebusukannya yang suka menindas orang lain.
“Kamu boleh pergi. Segera ganti pakaian karena itu basah,” ucapku pada mahasiswi yang ku tolong. Dia bergegas pergi dari sana, tanpa mau mengangkat wajahnya.
“Sebagai seorang mahasiswa, seharusnya Anda tau bagaimana bertindak yang benar. Anda itu manusia berakal, jangan seperti binatang,” tandasku sebelum pergi. Ghea mengepalkan tangannya.
Sepanjang jalan, aku terus berpikir. Aku pernah berada pada posisi mahasiswi tadi. Ditindas, dibully, hampir setiap hari saat aku masih duduk di bangku SMP hingga SMA. Aku diperlakukan secara tidak adil, seolah semua orang merasa berhak atas diriku. Aku berasal dari keluarga miskin, karena itulah mereka selalu menertawakanku dan merendahkanku seenaknya.
Pada masa itu, aku hanya bisa menunduk takut-takut dan menuruti semua kemauan mereka. Tidak melawan saat mereka membentak, mendorongku saat aku mencoba memberanikan diri menolak permintaan mereka. Hampir setiap pulang sekolah, aku mengurung diriku di kamar, menangis dalam diam. Tidak berani aku mengadukan hal itu pada Ibu, atau akan membuatnya khawatir. Ibu hanya tau, aku bersekolah dengan baik dan mendapat teman-teman yang baik. Setiap melihat senyumnya, rasa bersalah menyelinap didadaku. Maaf Ibu, aku telah berbohong.
Hingga saat menjelang tahun ketiga SMA, ada seorang siswi baru yang menjadi teman sekelasku. Norma. Dia satu-satunya siswi yang menolongku saat aku dibully oleh mereka, kelompok siswi paling populer di sekolah. Saat itu aku hanya bisa menangis, menunduk takut menutupi bagian depan seragamku yang basah. Norma datang dan dengan berani membalas perlakuan mereka, membuat banyak siswa-siswi terkejut.
Sejak saat itu, dia menjadi satu-satunya temanku, bahkan sahabatku.
“Jangan hanya diam saat kamu ditindas seperti itu. Kamu punya harga diri dan hidupmu sangat berharga, Abi” ucapnya suatu hari. Aku menunduk. Lihatlah, diriku hanya seorang siswi penerima beasiswa di sekolah ternama ibu kota provinsi.
“Aku bahkan tidak merasa punya hak atas diriku, Norma. Aku tidak seperti kamu, juga mereka,” balasku pelan. Ku dengar Norma mendengus. “Kamu pikir harga diri diukur dari materi yang kita punya?” tanyanya tajam.
Mendengar itu aku terdiam. Selama ini, aku merasa minder. Aku merasa tidak pantas. Bukan berarti aku tidak bersyukur atas kesempatan bersekolah di sini. Siapa yang tidak mau bersekolah di sekolah unggulan? aku merasa sangat beruntung untuk itu.
“Dengar Abigail. Kalau kamu tidak berani menyelamatkan dirimu sendiri, siapa yang pada akhirnya bisa melakukannya? Aku atau siapapun itu tidak bisa selalu bersamamu,”
Ucapannya itu membuatku sadar, hari itu memang salah satu hari beruntungku. Terima kasih Norma, kamu memberiku kekuatan untuk membangun keberanian membela diriku sendiri, hingga aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Mengingat itu, seketika aku merasa rindu dengan Norma. Baiklah nanti sore aku akan berkunjung.
Aku hendak pulang ketika Ghea menghadang jalanku. Aku mengangkat alisku.
“Jangan harap kamu bisa lolos dariku, anak miskin. Kamu harusnya sadar diri berhadapan dengan siapa” sentaknya.
“Tidak perlu kamu ingatkan, aku memang dari keluarga miskin. Dan kamu siapa? Hanya mahasiswi populer yang suka bertindak semaunya. Ingat ya Ghea, ini zaman modern dan kamu masih saja bertingkah seolah tidak berpendidikan. Sekali kamu ketahuan, kampus ini tidak akan membiarkan perlakuan diskriminatif terus merajalela,” balasku tajam.
“Ananda Ghea, Anda diminta menemui Dekan Fakultas sekarang,” Ghea hendak membalasku namun terpotong oleh staf fakultas yang datang untuk memintanya bertemu pimpinan fakultas. Berita Ghea yang merundung seorang mahasiswi telah sampai pada Dekan.
Ghea tampak terkejut dan dengan patah-patah mengikuti staf tersebut. Aku menghela nafas pelan, bahkan tidak butuh waktu lama bangkai itu telah tercium.
Cuaca sore itu terasa sejuk dengan matahari yang sedikit tertutup awan. Aku berjalan pelan menghampiri Norma. “Hai Norma. Aku datang lagi, maaf lama tidak menjengukmu,” aku berjongkok, menaruh sebuket bunga, mengusap pelan nisan yang tertulis nama sahabatku.
“Bagaimana kabarmu? Pasti disana indah dan menyenangkan kan?” monologku.
“Kamu tau Norma, hari ini aku berhasil menolong orang lain yang ditindas. Sama seperti yang kamu lakukan untukku dulu,”
“Tidak terasa waktu berlalu cepat sekali. Setiap harinya aku selalu berterimakasih padamu. Karena kamulah aku menjadi diriku saat ini. Saat menatap cermin, aku melihat keberanian dan percaya diriku, Norma. Bahkan aku seolah bisa melihat bayanganmu yang tersenyum di sampingku.” Tidak terasa satu tetes air mataku jatuh. Buru-buru aku menghapusnya. Aku tidak boleh bersedih di depan sahabatku. Sore itu aku menceritakan apa saja padanya, meski tidak ada jawaban tapi itu tetap membuatku tenang.
Norma adalah sosok yang bekontribusi besar dalam hidupku. Dia tidak berhenti menguatkanku, mendorongku untuk berani melawan ketidakadilan. Perlahan perubahan besar itu aku rasakan. Aku tidak lagi merasa minder meski aku berasal dari keluarga miskin. Toh, sejatinya manusia memiliki hak yang sama. Aku menjadi termotivasi untuk terus berkembang dan berusaha mengubah nasib keluargaku agar tidak dipandang remeh.
Memang tidak mudah untuk keluar dari tekanan yang telah lama aku rasakan. Lingkaran setan itu hampir saja menjerumuskanku pada keputusasaan. Tapi ketika memiliki
Sosok sahabat yang dengan tulus berada di sampingku membuatku sadar bahwa tidak semua orang memandangku rendah. Aku dan hidupku berharga. Perlahan tapi pasti aku berhasil lepas dari cengkeraman itu dan sadar bahwa aku punya kendali penuh atas hidupku.
Ketika memasuki dunia perkuliahan aku mulai aktif mengikuti kegiatan di kampus, aktif bersosialisasi, berdiskusi, dan lainnya yang membuat diriku berkembang. Hingga kini aku hampir menyelesaikan masa studiku, banyak pembelajaran yang aku dapatkan.
Hingga dua tahun lalu, Norma divonis mengidap penyakit kanker stadium 3. Dia sangat terpukul, begitu juga diriku. Aku berusaha selalu berada di sampingnya, menyalurkan kekuatan untuknya. Namun, takdir Tuhan menjemputnya lebih cepat. Hari itu, aku seperti kehilangan separuh diriku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan terus bersamanya meski dunia kita tidak lagi sama.
Norma membantuku menafsirkan ulang makna hidupku. Jika dulu aku takut maju karena latar belakang ekonomiku yang kurang, tapi sekarang aku takut jika aku tidak berbuat apa-apa keadaan akan tetap sama. Trauma masa lalu itu membawaku pada titik bahwa tidak ada yang perlu disalahkan, ini persoalan tentang bagaimana aku melindungi diriku sendiri dan aku belajar baik dari pengalaman buruk itu.
[…] memberiku kesempatan hidup, jasad ku mungkin sudah berada dalam liang kubur. Mati meninggalkan trauma besar untuk keluarga. Aku ingat betul malam itu begitu hening dan sepi. Bagi orang depresi, suasana […]
[…] aku tertawakan. Tidak ada hal lucu, kecuali kehidupan aku yang kacau balau. Sesaat kemudian aku menangis, menangis sejadi jadinya sampai anak-anak pun ikut terbangun. Suami dan anak-anak aku kebingungan […]