Titik Balik Kehidupan Setelah Depresi
Titik Balik Kehidupan Setelah Depresi

Dua tahun lalu, seandainya Tuhan tidak memberiku kesempatan hidup, jasad ku mungkin sudah berada dalam liang kubur. Mati meninggalkan trauma besar untuk keluarga. Aku ingat betul malam itu begitu hening dan sepi. Bagi orang depresi, suasana itu kesempatan besar untuk bunuh diri. Hidup serasa berjalan dalam lorong gelap tanpa cahaya dan sulit menemukan jalan keluar. Satu-satunya menghentikan perjalanan panjang dan gelap itu, tak banyak dari mereka yang mengakhiri hidupnya. Dua tahun pula sebelum lolos dari kematian, aku sudah berusaha keras sembuh dari depresi. Obat antidepresan dosis rendah hingga tinggi hanya memberikan efek samping bahagia sementara. Selain obat, terapi dari dokter jiwaku adalah berinteraksi. Mungkin sebagian besar orang menganggap terapinya gampang, tapi tidak dengan pengidap depresi. Perasaan resah, gelisah dan kesepian mengganggu aktivitas sehari-hari. Sulit sekali untuk bertemu dengan orang lain, sekalipun sebelumnya adalah orang yang paling membuat kita bahagia. Kita jadi menarik diri dari lingkungan, tiba-tiba hilang dari peradaban. Semua kepuasan sirna. Hal-hal yang biasa membuat kita bahagia tak lagi berharga. Bahkan aktivitas sederhana begitu menyakitkan. 

Bertahun-tahun aku berusaha menjadi manusia normal. Setiap hari harus pakai topeng bahagia. Orang depresi ingin sekali dunia berhenti, kebisingan dari suara kepalanya sendiri begitu berdengung hebat. Bahkan bangun pagi melihat matahari terbit adalah kehidupan yang mereka benci. Setiap pagi ngedumel kenapa harus diberi hidup lagi. Mereka terpaksa melakukan aktivitas secara normal seperti orang tanpa gangguan jiwa. Mulai dari berobat di psikiater, psikolog, paranormal bahkan terapi hipnosis. Waktu, tenaga dan uang sudah habis tak tersisa. Hasilnya, tak kunjung pulih. Tanpa pikir panjang, aku menenggak sepuluh butir pil anti depresan sekaligus. 

Efek sampingnya luar biasa, tak mati juga tak hidup. Aku tidak ingat betul apa yang aku lakukan setelah melakukan percobaan bunuh diri yang kesekian kalinya tapi lolos juga. Tapi, yang aku ingat dari cerita keluargaku adalah aku tidak bisa bicara, makan sambil merem, dan jalan sempoyongan. Perasaan orang tua sedih dan sampai sekarang ternyata masih menjadi trauma terberat mereka. Setelah kejadian itu, kukira akan menjadi awal hidup baruku penuh kebahagiaan, kejutan dan hal hal menarik lainnya. Justru sebaliknya, aku semakin merasa bahwa hidup adalah takdir yang paling aku benci. 

Peran Orang Tua Terhadap Kesehatan Mental Anak

Aku bukan lagi anak-anak, pelukan dan kehadiran orang tua kukira sudah tidak relevan untuk kehidupan dewasa muda sepertiku. Tapi aku salah, kesepian adalah racun yang aku tenggak selama bertahun-tahun. Jiwaku tumbang tanpa kusadari. Orang tuaku utuh, keduanya terlihat baik-baik saja. Sejak kecil aku dididik untuk melakukan sesuatu sendirian. Alih-alih mereka ingin anaknya mandiri. Terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing membuat aku selalu sendiri. Hingga dewasa aku tidak menyadari bahwa kehampaan hatiku berawal dari ketiadaan mereka. 

Menurut Regis Machdy dalam buku best-sellernya yang berjudul Loving the Wounded Soul: alasan dan tujuan depresi hadir di hidup manusia. Di buku itu aku ingat satu kalimat; depresi dan penyakit mental lainnya bisa disebabkan oleh perasaan ibu yang sering cemas, sedih dan gelisah ketika mengandung kita. Teori ini salah satu penyebab depresi hadir dalam hidup penderita. Seumur hidup ibu, aku tidak tahu apa yang sudah dialami ketika hidup. Sehingga, teori tersebut tidak membuatku menyalahkan orang tuaku sepenuhnya. 

Orang bilang anak perempuan lebih dekat dengan bapaknya. Itu tidak terjadi kepadaku. Ketika semua anak mengandalkan bapaknya. Bapakku justru memaksaku melakukan sesuatu sendirian, wejangan dari tahun ke tahun selalu sama. Hidup harus mandiri, dan tidak boleh mengeluh. Terlintas kalimat yang membangun dan positif. Justru dari itu semua masalah dalam hidupku kubawa sendirian. 

Menurut dr. Jiemi Ardian seorang psikiater, ketika manusia bercerita sebagian besar hanya ingin didengarkan. Beliau mengatakan bahwa emosi negatif pada tubuh adalah respon alami yang perlu kita semua rasakan tanpa diabaikan. Kalimat-kalimat “Kamu harusnya bersyukur ada banyak yang lebih susah“ atau “Hidup dijalani saja tidak boleh mengeluh.” Kalimat positif itu kadang tidak mengurangi beban justru mengabaikan perasaan negatif dalam hidup. 

Dalam Ketidakpastian Hidup, Mari Bangkit Sendiri!! 

Sadar dari percobaan bunuh diri, aku kira akan menjadi pribadi yang baru. Hari-hariku tetap dalam pikiran yang buruk dan gelap. Berbagai cara pendekatan pada Tuhan tidak membuatku sadar bahwa hidup sangat berarti. Semua doa yang dikirim ke langit rasanya selalu tak sampai kepadaNya. Aku sempat marah karena masih selalu merasa sedih berkepanjangan. Obat antidepresan yang kutelan tiap hari rasanya sangat melelahkan. Dalam buku Alasan Untuk Tetap Hidup ada satu kalimat bahwa pada akhirnya dibutuhkan keberanian yang lebih besar dibandingkan untuk bunuh diri. 

Lolos berkali-kali dari kematian pasti Tuhan punya alasan yang besar. Keyakinan itu kupegang teguh hingga saat ini. Meskipun pada akhirnya proses sembuh sendiri butuh proses yang panjang. Kurangnya kehadiran orang tua tak membuatku marah dan menyalahkan banyak orang. Aku bangkit sendiri dengan cara menerima. Semua penerimaan atas emosi negatif, kejahatan eksternal maupun konflik batin. Seiring berjalannya waktu, aku baru menemukan diriku dalam lorong gelap itu. Aku memeluknya erat dan berjanji tidak terlalu keras pada diri sendiri. Tidak apa -apa jika semua sendirian, mari terus lawan dan hadapi.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

  1. […] Dalam kekacauan itu, sebuah bintang yang sangat besar dan bersinar terang mendekati Lintang. “Kau harus segera kembali, Lintang,” kata bintang itu dengan suara dalam namun penuh kasih. “Bintang bukanlah tempat yang bisa dihuni oleh makhluk bumi. Tempatmu ada di bawah sana, menjaga keseimbangan kehidupanmu.” […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here