Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seekor kucing bernama Lintang. Ia diberi nama begitu karena bulu-bulunya yang hitam legam dihiasi bintik-bintik putih kecil, mirip seperti bintang di langit malam. Lintang adalah kucing yang penuh rasa ingin tahu dan suka berpetualang. Setiap malam, ketika penghuni desa tertidur lelap, Lintang akan keluar dari rumahnya dan berjalan-jalan menyusuri hutan di dekat desa.
Lintang tidak hanya menyukai petualangan, ia juga punya cita-cita besar. Ia selalu bermimpi bisa menyentuh bintang-bintang di langit. Setiap kali ia melihat langit malam yang terang dengan ribuan bintang yang bersinar, ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya dari atas sana.
Suatu malam, saat bulan bersinar terang dan bintang-bintang tampak lebih jelas dari biasanya, Lintang memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Ia ingin mencari cara agar bisa pergi ke langit dan berpetualang di antara bintang-bintang.
Lintang mulai berlari menyusuri hutan, melewati pohon-pohon besar yang menghitam di bawah cahaya bulan. Ia terus berlari hingga mencapai sebuah bukit kecil yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan. Dari puncak bukit, langit malam tampak lebih dekat, dan bintang-bintang terlihat lebih besar dan lebih terang. Lintang menatap ke atas dengan kagum.
“Aku harus bisa ke sana,” gumamnya pada diri sendiri. Tapi bagaimana caranya? Lintang duduk di atas batu besar, memikirkan berbagai cara. Ia bisa melompat setinggi mungkin, tapi ia tahu bahwa bintang terlalu jauh.
Tiba-tiba, suara pelan namun dalam terdengar dari balik pepohonan. “Apa yang kau lakukan di sini, Lintang?”
Lintang menoleh dan melihat seekor burung hantu tua bertengger di dahan pohon. Namanya adalah Bimo, burung hantu bijak yang konon sudah hidup selama ratusan tahun. Lintang sering mendengar cerita tentang Bimo, tapi belum pernah bertemu langsung dengannya.
“Aku ingin menyentuh bintang-bintang di langit, Bimo,” jawab Lintang penuh semangat. “Tapi aku tidak tahu caranya.”
Bimo mengangguk pelan, matanya yang besar menatap Lintang dengan penuh pemikiran. “Ah, bintang-bintang, ya? Itu bukan hal yang mudah, Lintang. Tidak banyak yang bisa mencapai bintang. Tapi, ada satu cara yang mungkin bisa membantumu.”
Lintang melompat berdiri, matanya bersinar penuh harap. “Apa itu, Bimo? Tolong katakan!”
“Kau harus mencari Jalan Cahaya,” jawab Bimo pelan. “Jalan itu hanya muncul di malam yang paling tenang, dan hanya mereka yang benar-benar ingin pergi ke bintang yang bisa menemukannya.”
“Di mana aku bisa menemukan Jalan Cahaya itu?” tanya Lintang tidak sabar.
“Mulailah berjalan ke arah Timur, melewati hutan dan lembah. Jika kau sungguh-sungguh, Jalan Cahaya akan muncul di depanmu,” jawab Bimo sambil mengembangkan sayapnya dan terbang menjauh.
Lintang tidak mau menunggu lagi. Ia segera berlari ke arah Timur, seperti yang disarankan Bimo. Sepanjang jalan, ia melewati banyak rintangan—dahan-dahan yang terjatuh, sungai kecil yang harus dilompatinya, serta suara-suara misterius dari hutan yang terkadang membuatnya merasa ragu. Tapi Lintang tidak menyerah. Ia tahu, jika ia terus berusaha, ia akan menemukan Jalan Cahaya itu.
Setelah berjam-jam berjalan, Lintang tiba di sebuah lembah yang sangat sepi. Tidak ada angin yang berhembus, tidak ada suara binatang yang terdengar, hanya kesunyian. Di tengah lembah itu, tiba-tiba Lintang melihat sesuatu yang aneh. Cahaya berwarna keemasan mulai muncul dari tanah, membentuk jalur panjang yang berkilauan. Itulah Jalan Cahaya yang diceritakan Bimo!
Lintang melompat kegirangan dan segera melangkah ke atas jalur itu. Begitu ia menginjakkan kaki di Jalan Cahaya, tubuhnya terasa ringan. Ia mulai melayang, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ia benar-benar terangkat ke udara. Lintang terus melangkah, dan semakin tinggi ia berjalan, semakin dekat ia dengan bintang-bintang.
Bintang-bintang di langit tampak lebih besar dan lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Cahaya mereka memancar hangat, dan setiap bintang seolah-olah berbicara padanya dengan suara lembut yang tidak bisa dijelaskan. Lintang merasa bahagia, merasa impiannya telah tercapai.
Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Langit mulai bergemuruh, dan bintang-bintang yang semula tenang mulai bergerak cepat, seakan-akan mereka akan terhisap ke dalam pusaran besar. Lintang merasa takut. Ia mencoba melangkah mundur, tapi jalur cahaya di bawah kakinya mulai memudar.
Dalam kekacauan itu, sebuah bintang yang sangat besar dan bersinar terang mendekati Lintang. “Kau harus segera kembali, Lintang,” kata bintang itu dengan suara dalam namun penuh kasih. “Bintang bukanlah tempat yang bisa dihuni oleh makhluk bumi. Tempatmu ada di bawah sana, menjaga keseimbangan kehidupanmu.”
Lintang terdiam. Ia mengerti sekarang. Bintang-bintang memang indah, tapi bukan tempatnya. Ia harus kembali ke dunia yang selama ini ia tinggali, tempat ia menjalani hidupnya dengan makna yang sebenarnya.
Dengan berat hati, Lintang memutar balik dan mulai melangkah turun. Perlahan-lahan, ia kembali ke bumi, dan ketika kakinya menjejak tanah lembut di lembah, Jalan Cahaya lenyap begitu saja.
Esok harinya, saat matahari terbit, Lintang terbangun di tepi lembah. Ia merasa lega, tapi juga penuh dengan kebijaksanaan baru. Kini ia tahu, bukan tentang mencapai bintang, tapi tentang memahami tempatnya di dunia.
Ketika ia kembali ke desanya, Lintang tidak lagi merasa gelisah. Meski ia tidak bisa tinggal di antara bintang-bintang, ia bisa selalu melihat mereka dari kejauhan, mengingatkan dirinya bahwa mimpi dan keinginan terkadang harus selaras dengan kenyataan.