Tentu orang bisa bertengkar, bahkan mungkin tarung jalanan ketika berdebat soal selera film. Apa yang baik, bagus, indah dan menyentuh, sehingga sebuah film membuat penonton terseok menangis dengan bantal yang basah. Begitupun orang-orang yang menanggapi film Wong-Kar Wai. Dalam film In The Mood For Love, banyak ulasan mengatakan Wong, sebagai sineas era 90an menjadi raja-raja pembuat film romantis. Tentu saja, bukan karena kisah cinta luar biasa seorang Wong, melainkan memang hampir setiap filmnya bercerita tentang roman. Kehilangan, keraguan, rasa terasing dan romantisme orang biasa. Demikian juga dalam film My Blueberry Night.
Dalam In The Mood For Love, ada dua pasangan asing, seorang perempuan dan lelaki yang saling jatuh cinta, tetapi keduanya sudah menikah. Keduanya terasing dari ekses peristiwa hubungan suami istri karena dipisah oleh situasi dunia kerja yang merenggut waktu rumah tangga mereka. Sederhana, sebagaimana film perselingkuhan lain, pasangan yang gelisah ini ditinggal lama oleh kekasihnya, bertemu orang baru, dan gejolak hasrat mulai muncul. Hanya saja, yang diperlihatkan oleh Wong bukan hasrat untuk berselingkuh, tetapi sorot ruang yang terasa hampa, menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungannya dibentuk sedemikian kuat menggambarkan realitas sosial masyarakat kecil Hong Kong. Epilog dari kisah ini, dua orang itu memutuskan berpisah atas nama tanggungjawab pernikahan.
Kedua pasangan itu mengalami kehilangan laiknya remaja yang baru putus cinta. Lagi, objek kehilangan itu digambarkan dengan gerak tubuh, ekspresi datar seorang pekerja , dan ruang yang sempit di apartemen sewaan. Patah hati ini terjadi, dua atau tiga kali dalam kisah-kisah berikutnya. Epilognya sama, berujung pada cinta platonik. Akan lebih kentara, melihat bagaimana Wong menarasikan cinta ala film-filmnya jika dilihat dari kisah dalam Chungking Express. Tokoh pertama yang jatuh cinta dalam film Chungking Express adalah seorang polisi. Kondisi jatuh cinta ini, dalam posisi dicampakkan oleh pacarnya yang bernama May. Ekspresi dalam film, Wong menyorotnya melalui kaleng nanas yang setiap hari dibeli oleh si Polisi, sebagai simbol jumlah kaleng nanas yang dibeli, adalah jumlah hitungan ia menunggu kepastian dari May. Sorot ekspresi lainnya diperlihatkan oleh si penjual nanas kalengan yang keheranan sekaligus ironis melihat perilaku polisi itu.
Teknik narasi ini yang coba diambil lagi oleh Wong dalam film My Blueberry Night. Meskipun perlu disorot, dalam film My Blueberry Night narasi cenderung diekspresikan melalui dialog. Beberapa pengulas mengatakan, dalam film yang ini Wong mencoba melakukan eksprimen kebahasaannya dalam Bahasa Inggris. Barangkali pesan tersirat sudah dimuat oleh Wong dalam Chungking Express dengan ost California Dreaminnya. Sorot kehilangan dari mata tokoh yang ada dalam Chungking Express, seperti melihat ke ruang lain, barangkali itu adalah Amerika, yang kelak dijadikan latar film My Blueberry Night.
My Blueberry Night mengambil lanskap penceritaan yang lebih kompleks. Dialognya memang dipenggal, tapi tidak untuk sinemanya. Pemenggalan sinematik dengan frame rate tinggi dalam film-film Wong sebelumnya, tidak banyak digunakan dalam film ini. Kecuali adaptasi yang masih dipertahankan adalah mengambil objek materi sebagai simbol cinta – yaitu kue, sebagai ekspresi cinta dan patah hati. Kisah ini dimulai dengan seorang tokoh perempuan New York yang pergi ke Las Vegas karena patah hati lantas bekeliling kota. Di Las Vegas, ia bertemu dengan penjaga bar. Konflik dimulai sejak perempuan itu memesan menu minuman, bertengkar dengan pasangannya, lalu tiba-tiba memesan seporsi keik.
Hubungan antara dua orang yang semula asing inilah sorot utamanya. Setelah perempuan itu merasa pulih karena merasa terwadahi ekspresi kesedihannya oleh penjaga bar, dan mampu melanjutkan hidup pindah ke kota lain, ia meninggalkan si lelaki penjaga bar lalu menjadi penjaga bar lain di kota lain. Masalah berulang ketika perempuan itu melihat di bar tempatnya kerja, ternyata masalah serupa tentang patah hati juga dialami oleh pelanggan langganannya. Seorang pelacur yang bertengkar dengan suaminya, lantaran suaminya sudah enggan bercinta dengan si perempuan. Kisah yang lebih rumit, barangkali itu yang ditangkap si penjaga bar itu. Pada akhirnya, ia kembali jatuh tanpa detail yang jelas. Akan tetapi, epilog dari kisah ini akhirnya kembali pada sepotong kue yang diberi oleh lelaki penjaga bar. Keduanya tidur bersama di atas tumpukan kue yang hancur.
Apa yang sebenarnya diinginkan Wong, beberapa pengamat mengatakan, orang harus menonton karyanya secara penuh dan melihat pandangan Wong secara interteks tentang cinta yang ia gambarkan. Khususnya tentang Kue, Patah Hati, dan roman pinggiran kehidupan kota.