Masa emas industri film, dianggap berkisar pada tahun 70-80an. Hal ini ditandai dengan semakin berwarnanya film-film di Hollywood. The Godfather-nya Coppola lahir pada tahun ini, misalnya. Selain itu, pada masa ini, film-film di luar Hollywood, banyak yang menegaskan diri sebagai film Independen, penuh eksperimen untuk turut memeriahkan sinema dunia. Dunia yang dimaksud, bukan dunia secara keseluruhan. Lagipula sinema hanya menangkap dunia sesuai porsinya. Dunia yang dimaksud adalah dunia dalam benak sineas Eropa.
Saya sering membayangkan, bagaimana seandainya dunia tanpa Eropa. Dunia tanpa kisah Eropa yang seolah terasa agung dan dibawa seperti cantelan tas harian pulang-pergi orang yang bekerja. Eropa yang dianggap seperti lembar naskah, seolah dunia harus berada di seputar itu saja. Begitupula dalam film. Jikalau ya, memangnya ada daerah dengan kisah bagus apa selain Eropa?. Orang akan menerka, seketika misalnya, tentu saja Timur Tengah, Afrika, Asia, Oseania, dan orang bisa juga berkata, toh, Eropa Timur pun sudah beda. Eropa seperti apa?.
Eropa dalam bingkai sinema. Barangkali perkara ini pelik dijabarkan, seperti apa maksud dari Eropa dalam bingkai sinema. Sejauh penangkapan penulis, Eropa dalam bingkai sinema adalah Bahasa yang terekam dalam bingkai frame kamera. Bahasa yang terekam dalam dialog, kalimat, sintaks bahkan barangkali gramatikal Bahasa dominan, seperi mungkin saja Bahasa Inggris, baik British mapun American. Di dalam kamera, dengan kias bahasa yang terekam, sensibilitas pengguna bahasa akan melihat dengan baik Bahasa Inggris yang di Indonesia-kan, dan bahasa Indonesia yang berakar dari dinamika fenomena kebahasaan . Atau lain hal, misalnya Bahasa Jawa yang di-Indonesia-kan pun sudah terasa bedanya.
Kanon industri film di Hollywood membentuk ini. Meskipun tidak kentara, rasanya keterpengaruhan ini sangat kental dalam fenomena-fenomena kebahasaan dalam dunia perfilman Indonesia, dan juga Asia. Membayangkan dunia di luar sinema Eropa, dengan fenomena kebahasaan yang dibentuk oleh Hollywood memang hari ini sudah terbuka lebih baik. Setidaknya sejak adanya Manifesto I yang dibentuk oleh Sineas Indonesia, seperti Garin dan Riri Riza menjelang 2000-an sudah membaik dan lebih kaya. Film yang rilis belakangan tahun misalnya, sudah dengan baik diterjemahkan oleh Nana Before, Now & Then dengan gerak terbatas, dan bahasa yang tak cakap.
Hanya saja, jauh sebelum itu, ada sineas terkenal dari Hong Kong. Wong Kar-Wai, tokoh dalam dunia perfilman, baik Asia atau secara umum yang mampu menembus batas geografi, kelas, dan mungkin kebahasaan dari kanon-kanon yang dibentuk oleh Industri Hollywood. Dalam banyak catatan, Wong Kar-Wai bahkan dianggap sebagai tokoh Hollywood Asia. Hanya saja, Wong Kar-Wai dalam karir perdananya, bukan Wong Kar-Wai di masa akhirnya, setelah menerbitkan film My Blueberry Night dan Happy Together. Selain bahasa yang digunakan dan pemilihan aktor dalam dua film tersebut berbahasa Inggris, teknik sinematik dan alur penceritaannya sedikit berubah. Wong Kar-Wai yang menembus batas, bagi saya, adalah ia dalam karir perdananya saat merilis Chungking Express dan Fallen Angels.
Dimana letak peran Wong Kar-Wai pada masa-masa awalnya membuat dua film itu. Pertama, pada tahun 80an Hong Kong diapit dua kuasa besar, yaitu ambisi Inggris menguasai kedaulatan ekonomi Hong Kong, dan lain China melalui Deng Xioping yang turut ingin membangun kedaulatan di Hong Kong. Masa-masa ini, Hong Kong sebagai wilayah berdaulat sulit menerjemahkan identitas otentiknya dari kebudayaan lain yang status Sang Liyan nya lebih besar. Sulit menerjemahkan Identitas, dengan kondisi dua ambisi kuasa besar rasanya sulit menunjukkan Hong Kong harus seperti apa. Bagi mereka yang abai terhadap kuasa politik, hidup harian hanya sekedar bekerja, berumah tangga, dan melanjutkan kerja seadanya selalu dan akan melulu dianggap objek.
Kelas Pekerja berperan penting di masa-masa itu. Tapi Hongkong belum memiliki tradisi Panjang perlawanan atas nama Nasionalisme yang berakar dari kelas pekerja. Pada akhirnya, kelas pekerja Hong Kong terasa tak memiliki jejak kehidupan dalam narasi besar kehidupan kuasa politik. Wong Kar-Wai muncul untuk menarasikan ini. Fallen Angels lahir ketika dua kubu politik ingin menentukan pijakan nasib identitas Hong Kong selanjutnya. Pertama adalah mereka yang ingin mengikuti kebijakan Pro Demokrasi kepada British, sementara yang lain Pro terhadap RRC. Hanya yang tampak dalam Fallen Angels adalah kisah sederhana hidup harian seorang pekerja di Hong Kong. Pria bisu yang tinggal dalam apartemen kumuh bersama anaknya, kisah seorang pembunuh bayaran yang terjebak karena hanya dengan membunuh ia bisa hidup, dan kasih yang tak sampai dua pasangan yang terjebak dua dunia berbeda dalam gerak urban yang memaksa orang hanya bekerja sekedar bekerja, sementara memilih cinta seperti mengorbankan kepastian makan esok hari.
Demikian pula dalam Chungking Express. Bila Fallen Angels menyorot segala hal absurd yang ada dalam harian dunia para pekerja, Chungking Express menyoroti ketidakmungkinan dua kasih yang ingin melanjutkan hidup bersama di tengah tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidup. Sementara itu, hasrat bercinta yang dimiliki dua pasangan itu tetap terpendam menjadi khayal yang mungkin dan tidak mungkin terjadi. Di tengah gejolak perebutan kuasa, Wong Kar-Wai hadir sebagai wisata lelah para pekerja, melihat kehidupan harian mereka yang terasa indah namun penuh ketidakpastian. Seperti dalam film khas Wong Kar-Wai cinta platonik, kasih yang tak sampai selalu ada, dengan faktor yang beragam. Hanya saja, setelah dua film itu, saya tak mengerti, barangkali Wong Kar-Wai ingin melakukan eksperimen, tetap ingin merasakan nuansa cara orang Hollywood membuat film. Seperti dalam lagu kesayangannya , California Dreamin.