Novel Tere Liye itu mungkin seru, tapi hanya sekedar untuk pelajar SMP. Mentok-mentok SMA baca novel itulah. Tapi itu bukan novel yang bagus, ya novel biasa saja. Pernah suatu waktu, seliweran argumen seperti ini memenuhi dunia Sastra Indonesia. Lantas seperti apa Novel yang baik, ya minimal baca Pramoedya dengan Tetralogi Pulau Burunya. Itu minimal, novel paling mudah sekaligus memperkaya wawasan kita. Setelahnya orang tak mampu menjelaskan, mengapa Tere Liye dipandang begitu rendah meski tergolong ke dalam Novel yang cetak berkali-kali.
Loveable adalah alasannya. Tere Liye dengan serial Bumi-nya, misalnya sedikit mampu membuat pembaca menjelajah dunia fantasi. Dunia di luar kehidupan harian. Semacam dunia Narnia, yang berfungsi sebagai pelarian orang lelah di dunia nyata. Lantas apa yang dimaksud Tere Liye kurang begitu berkualitas, bila ceritanya sedemikian menarik. Kiritik Sastra Kritik Sastra adalah medium, alat sekaligus pembelajaran tentang penilaian karya. Tetapi istilah Kritik Sastra, agaknya asing dari dunia luar penulis Sastra. Kritik Sastra, hanya mungkin dikonsumsi oleh Mahasiswa studi sastra.
Di luar dunia sastra, atau pelajar Sastra, kritik diangagp sebagai aktivitas memojokkan seorang penulis dan karyannya. Memang dunia seperti itu, seperti dunia seorang pegiat otomotif tapi dalam konteks balap liar, akan cenderung sangat berbeda dengan orang yang mendalami otomotif guna kepentingan kecantikan motor. Bahkan akan berbeda, meski satu garis, dengan orang yang mengikuti aktivitas komunitas balap resmi. Apalagi bentuk-bentuk tulisan kritik yang terlalu akademis, ilmiah, mendalam dan penuh kontemplasi.
Novel-novel popular, seperti Tere Liye, belum mendapatkan ulasan mendalam yang begitu banyak dibandingkan ulasan novel-novel Pramoedya. Novel Fantasi yang belum mendapat porsi lebih dalam dunia kesusastraan Indonesia. Lantas apa yang perlu dilakukan dalam konteks kritik sastra. Tidak ada jawaban pasti, hanya saja, menyitir Seno Gumira Ajidarma, yang mengatakan letak Sastra berada dalam pikiran. Karenanya keseluruhan pikiran yang dimuat dalam seni tulis menulis, perlu dikeluarkan dalam bentuk tulisan secara keseluruhan. Begitupun dalam konteks Kesusastraan.
Di hari ini, tentu menerbitkan buku tidak sesulit dulu. Hari ini, orang lebih mudah berbagi kisah-kisah dalam Novel, melalui komunitas baik yang ada secara fisik (luring) maupun secara virtual. Tetapi medium buku, toh tetap ada. Buku seberapa jauh dan beratnya ia, tidak sesulit apa mengangkat barbel 7 kilo di kedua belah tangan. Kelebihan buku, fisik, percakapan langsung, mungkin masih dinikmati bagi sebagian orang. Barangkali kritik sastra ini yang dipilih oleh Anton Suparyanta. Memilih menulis kritik sastra dalam tulisan buku.
Memperkenalkan dunia Sastra melalu ulasan dan kritik sastra yang ia beri nama Jeenama dan Jemawa. Memilah karya-karya popular yang dianggap kurang estetis, melihatnya dengan mendalam, lalu kembali lagi dalam kehidupan. Antara Jenawa dan Jemawa, ia menulis tentang Mangunwijaya, Tere Liye, keresahan tentang pembaca sastra hari ini, sampai yang terakhir fenomena kebahasaan dalam karya-karya sastra.