Nuri Bilge Ceylan menyukai ambiguitas, itu pengakuannya waktu di Meseum Seni Islam, Doha, Qatar, 4 tahun selepas kemenangan Winter Sleep di Cannes. Ambiguitas dalam sinema secara keseluruhan berarti mengaburkan kejelasan makna di dalam sinema itu sendiri, lewat gaya yang tak jelas juga tutur yang liyan. Makna yang eksis dari awal durasi sampai berakhirnya durasi, seakan tak tergambarkan secara rinci dalam satu pengalaman menonton. Sederhananya, film yang demikian adalah film yang tidak jelas mau bercerita apa.
Tetapi sebetulnya, film-film Nuri sangatlah jelas, film-filmnya terasa melarikan diri dari ambiguitas yang dimaksudkan. Sebab Nuri tak bisa seperti Leos Carax yang gila, David Lynch yang membingungkan, apalagi Zulawski yang nyeleneh—orang-orang yang saya rasa ingin merestorasi avant-garde. Nuri justru sangat terstruktur dari segi tuturnya, sangat realistis-sosialis untuk tema-tema filmnya; relasi sosial, ketimpangan kelas, alienasi, dan eksistensialisme. Ia lebih-lebih mirip dengan sineas senegaranya, Yilmaz Guney—walaupun berkarir pada milenium yang berbeda.
Mungkin ambiguitas yang dimaksudkan olehnya berangkat dari kegemarannya membaca Anton Chekhov. Nuri sangat terobsesi dengan penulis besar Rusia itu. Dan barangkali dramatisasi Chekhov itu, yang ia takrifkan sebagai ambiguitas—lantas mengalihwahankannya ke dalam bentuk yang lebih nyata dalam mata. Tapi lagi-lagi, bagi saya, Nuri bukan sineas yang ambiguitas (walau masih sukar untuk disebut demikian, namun siapa yang senang dikatakan demikian?). Ia, Nuri Bilge Ceylan, lebih cocok untuk disebut sebagai sineas yang membosankan namun terampil dalam mengolah ruang; kesunyian, suara burung-burung, suara angin yang terlepas dari tangan langit, dan panorama desa nun jauh adalah ruangnya, tempatnya bercerita, ia lihai memainkan itu.
Nuri Bilge Ceylan lahir pada tanggal 26 Januari 1959 di sebuah wilayah padat penduduk yang bernama Bakirkoy, yang letak keberadaannya di sudut Kota Istanbul. Nuri merupakan sarjana elektro, ia memperoleh gelarnya setelah menamatkan kuliahnya di Universitas Boğaziçi. Di kampus itu ia memiliki relasi dengan yang namanya ‘sinema’. Sebelumnya, Nuri memang tertarik dengan fotografi pada usia remaja—sinema dan fotografi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, saling beririsan. Nuri menjadi fotografer sekaligus sutradara film. Tak salah kalau ada keterpukauan visual dalam diri kita ketika menonton karya-karyanya.
Jika Tarantino mematenkan ‘kaki’ dalam framingnya menjadi sebuah trademarks, dan Michael Bay dengan putaran kamera 360 derajatnya. Maka Nuri, lewat mobilisasi zoom-nya telah menciptakan semesta estetika yang mumpuni dari jagat sinema tak hanya Turkey, tapi dunia. Trademarks dari Nuri kemudian diteladani oleh beberapa sutradara senegaranya, salah satunya sineas muda Berkun Oya.
Sebelum memutuskan berkecimpung di dunia perfilman. Nuri, menjelajahi 3 negara, melihat potensi diri dan merenungkan dilema yang sedang bentrok dalam pikirannya. Ia merantau ke India, Nepal, dan Inggris. Di Inggris Nuri mengisi perutnya dengan bekerja sebagai pelayan, sekaligus fotografer. Pada pengembaraan inilah ia melihat dan yakin akan potensinya dalam sinema. Dimulai dari gaya potretnya yang dominan memagut panorama desa dari kejauhan—yang pada tahun mendatang kelak mempengaruhi gaya keseluruhan filmnya.
Nuri mengawali debut fiturnya dengan Kasaba pada tahun 1997. Tak seperti Charlotte Wells yang sejahtera dengan debut fiturnya, Aftersun—Nuri tak cukup berhasil melalui Kasaba, setidaknya menurut saya. Kesuraman dalam film tersebut terlalu enggan untuk dinampakkan melalui mimik emosi yang kentara, meski di lain hal, pengungkapan kehidupan di sebuah wilayah terpencil lewat teknik transisi monokromatik telah tunai disusunnya. Kasaba tak menuai apa-apa selain berhenti sebagai bahan evaluasi untuk Nuri. Begitu pun film keduanya, Clouds of May.
Masuk dekade 2000-an menjadi titik tolak Nuri menggapai perhatian dunia. Uzak menembus Cannes, dan Nuri memetik apresiasi pertama di sana. Uzak membawa pulang Grand Prix, penghargaan tertinggi kedua setelah Palme d’Or—sekaligus membawa kedua pemeran yang berlakon di dalamnya, Emin Toprak dan Muzaffer Ezdemir, sebagai pemenang dalam nominasi Aktor Terbaik. Emin Toprak merupakan aktor amatiran yang menemani Nuri sejak debut fitur awalnya.
Tapi kita tak bisa lagi melihat jejaknya dalam film-film Nuri. Emin Toprak meninggal dunia akibat kecelakaan tak jauh selepas perilisan Uzak. Nuri terpukul—barangkali sebab itu ia berpindah-pindah aktor, tak pernah memanenkan kolaborator. Bahkan Nuri rela terjun sendiri menjadi pemeran, meski tak punya pengalaman. Walhasil, filmnya yang berjudul Iklimer yang digarap pada tahun 2006 berakhir biasa-biasa saja—tak istimewa, juga tak jelek.
2 tahun kemudian Nuri kembali menjajaki Cannes dan merebut trofi nominasi Sutradara Terbaik di sana. Seketika itu, Three Monkeys, filmnya, memposisikan nama Nuri Bilge Ceylan sebagai sineas yang perlu diwaspadai. Sebab Nuri jauh dari kata ‘dipengaruhi’. Saya melihat sutradara berbakat tersebut tak memiliki pijakan kaki dalam tutur-tutur sinemanya. Ia sangat organik, otentik, dan orisinil. Dalam kata lain, tak ada ‘intertekstualitas’ dalam filmnya. Three Monkeys mewakili Turkey untuk berlaga di Academy Awards pada nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik, namun hanya terhenti dalam daftar pendek. Demikian yang terjadi pada Once Upon a Time in Anatolia, film Nuri yang dirilis tahun 2011.
Bagi saya berhasil masuk Oscar dan menang sebagai film terbaik bukanlah pencapaian artistik yang memukau. Dan saya tahu Nuri berpikiran sama. Oscar sebagai ajang penghargaan industri berorientasi pada film-film hiburan, bukan film sebagai seni. Dengan itu, apa yang harus disesali? Lagi pula pada konstelasi sineas-sineas yang unggul—sebagian besar dari mereka (bahkan barangkali semuanya) tak pernah menghirup panggung Dolby Theatre. Artinya, Academy Awards bukan parameter terpercaya untuk menentukan film-film yang berkelas—walau pada situasi yang tertentu ia patut diperhitungkan.
Lalu apa yang terpercaya? Entahlah, masalah bagus atau tidaknya film adalah masalah hebat atau tidaknya kritik terhadapnya. Ada penegasan yang mengekor atau yang menjawab pertanyaan di sana. Sebab terkadang festival film sekaliber Cannes, Berlinale, Venice, Sundance, sampai dengan situs Rotten Tomatoes tak dapat juga diyakini benar-benar akurat dalam menggambarkan dan menentukan sebuah film terbaik.
Namun ketika kemenangan Winter Sleep pada Palme d’Or tahun 2014 itu, merupakan salah satu titik akurat dan keputusan yang bijaksana dari para juri Cannes. Nuri Bilge Ceylan sebagai sineas yang harus diwaspadai telah benar-benar menunjukkan taringnya dalam Winter Sleep. Ia mendapuk filmnya sebagai yang paling baik di antara yang terbaik pada musim itu. Dengan modal pengetahuan sinematik yang mumpuni, dan ambisi terhadap cerpen-cerpen Chekhov, Nuri menyuling kesemuanya itu menjadi mahakarya yang di samping melelahkan, juga sangat hebat.
Winter Sleep bergumul dengan pergulatan-pergulatan sosial antara yang miskin dan yang kaya, eksistensi diri, dan keterkungkungan masa lampau lewat dialog-dialognya yang berbobot dan permainan lanskapnya yang anggun sepanjang 3 jam durasinya: waktu yang cukup bagi kita untuk merenung, meski sedikit terjerang dan ingin berteriak akibat rasa bosan. Tetapi sepersis penuturan Jane Campion, yang pada saat itu mengetuai para juri, kekuatan Winter Sleep ada pada sifat persuasifnya; pembacaan-pembacaan terhadap situasi canggung yang dibabarkan akan membawa kita masuk ke dalam filmnya; dan melihat Kapadokia dari sisi yang berbeda—sisi yang sangat suram, bukan terpaku pada salju yang turun di kaki bukitnya yang cantik.
Nuri Bilge Ceylan mengisi daftar Palme d’Or negara Turkey untuk kedua kali setelah Yol, karya Yilmaz Guney pada tahun 1982. Film-filmnya adalah kejujuran, sebuah realita yang jarang terlihat dalam rahim sinema Turkey lainnya.