Nyawa Seorang Gundik (sumber foto: Ernest Hardouin)
Nyawa Seorang Gundik (sumber foto: Ernest Hardouin)

Batavia sekitar tahun 1890…

“Amiin,” seorang pria dengan coat hitam melepas tautan kedua tangannya, ia baru selesai mendoakan sepasang mayat yang ada di hadapannya. Salah satu mayat jelas merupakan mayat pria pubertas. Mayat itu tampak mengenaskan dengan pakaian begitu lusuh—seperti inlander pada umumnya, selain itu luka tusukan menyebar di setiap sudut tubuhnya. Berbeda dengan mayat sebelumnya yang berpakaian lusuh, mayat perempuan yang tergeletak itu begitu mengenaskan. Kain jarik yang membalut kaki putih itu entah telah merosot sejak kapan, kebaya putihnya tampak bercampur dengan noda darah dan lumpur. Sebuah pisau tampak bersarang di perutnya, tepat di bawah buah dadanya yang ranum. Kedua insan ini jelas akan melakukan sebuah dosa!

Suara langkah kaki membuat pria dengan coat hitam itu menoleh, seorang pria lain datang dengan membawa sebotol sampanye—sejenis minuman keras. “Mengerikan,” ujar pria yang baru tiba. Pria itu langsung menutup hidung mancungnya dengan tangan yang bebas, aroma pesing dan anyir darah bercampur menjadi satu.

“Benarkah?” Pria dengan coat hitam itu begitu santai menelisik kedua mayat di hadapannya. Gang ini terlalu gelap, selain cahaya bulan tak ada sumber cahaya lain. Lampu semprong pun tak dapat menyinari daerah ini karena jaraknya yang jauh dari jalan utama. “Sepertinya mereka tak terlalu mengenaskan,” lanjut pria itu dengan santai, tangannya langsung masuk ke dalam saku coat yang ia kenakan dan berjalan meninggalkan dua mayat itu.

“Bukan dia yang aku maksud tapi kau,” pria yang baru tiba itu langsung mengikuti langkah orang yang melewatinya. “Kau membunuh mereka dengan dua bilah pisau berkarat dan mendoakannya seperti seorang yang taat,” lanjut pria itu sembari menggelengkan kepalanya. “Mijn God! Dosa apa yang mereka perbuat hingga kau tega menghabisinya, Gabriel?” pria itu langsung berdoa pada Tuhan seolah lupa di tangannya ada sebuah sampanye yang siap ia teguk.

Gabriel – pria dengan coat hitam langsung menghentikan langkahnya dan berbalik, “Wanita tadi itu hanya sepasang insan yang menyebalkan.” Ia memilih kembali berjalan meninggalkan gang yang gelap dan sempit itu, langkahnya begitu pasti menuju jalan utama yang lebih terang dibandingkan gang itu.

“Hanya itu?”

“Ya, Hedrick. Hanya itu. Sudahlah ayo kita kembali ke rumahku,” jawab Gabriel setelah keluar dari gang.

“Ah iya kau benar,” Henrick langsung menaiki bendi yang tak jauh dari gang itu, Gabriel mengikutinya dengan langkah lebar.

Bendi itu memasuki area pemukiman para orang Londo – panggilan untuk orang asli Belanda dan berhenti tepat di sebuah rumah dengan pelataran yang luas. Seorang perempuan paruh baya dengan kebaya hitam membukakan pintu untuk Tuannya, Gabriel dan Hendrick langsung masuk dengan santai. Lukisan Queen of the Netherlands terggantung di ruang tamu, Hendrick langsung memilih duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu jati asli sedangkan Gabriel langsung menuju kamar mandi untuk mandi.

“Nyai – panggilan lain untuk gundik, kemana? Aku tak lihat batang hidungnya,” Hendrick tampak penasaran dengan gadis yang diangkat gundik oleh Gabriel. Pasalnya Gabriel van Wijk tak pernah mengangkat seorang Nyai, padahal rambut blonde dengan mata biru sedalam samudra Hindia itu terhitung tampan, diluar itu umurnya yang belum menginjak tiga puluh tahun masih tergolong muda dibandingkan Tuan tanah lain.

“Nyai sedang pergi Tuan, mungkin akan kembali sebentar lagi,” ujar wanita paruh baya yang membukakan pintu tadi. Wanita itu langsung undur diri untuk pamit ke dapur, membawa minuman untuk tamu Tuannya sekaligus gelas kosong untuk mereka minum sampanye.

“Hey Tuan Gabriel, dimana wanitamu?” Hendrick tampak kacau, pria itu cukup lama menantikan ke datangan Gabriel. Hal itu terbukti dari isi botol sampanye yang tersisa setengah, serta gelas yang ada di tangan Hendrick.

Gabriel duduk di hadapan Hendrick, menuang minumannya dengan santai. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi, perlahan ia menyesap minuman itu dan membiarkan air fermentasi itu memenuhi tiap inci kerongkongannya. “Kau telah melihatnya,” jawab Gabriel santai.

“Bohong! Selain wanita tua tadi, aku tak melihat siapapun di rumah ini.”

“Wanita di gang tadi itu gundikku,” jawab Gabriel santai. Ia meletakkan gelasnya dan mulai menghidupkan cerutu yang ada di atas meja, asap keabuan menguar perlahan dari cerutu itu Gabriel menghisapnya santai.

“Mayat tadi?” Hendrick langsung sadar tanpa perlu pereda mabuk, duduknya menjadi lebih tegap. Ia menatap Gabriel dengan penuh tanya, tak percaya wanita naas dengan pakaian tersingkap itu adalah kekasih sahabatnya. Malangnya.

“Aku harap kau tak mengasihaninya, Hendrick,” Gabriel menghisap cerutu itu dalam-dalam, menikmati setiap rongga mulutnya terisi oleh asap abu dari cerutu itu. “Inlander itu hampir melakukan hal tak senonoh dengan pria lain, memikirkannya saja aku merasa jijik,” lanjutnya.

“Maksudmu? Pria yang ada di samping mayat tadi?” Gabriel mengangguk atas pertanyaan itu. “Ah menjijikan sekali,” lanjut Hendrick sembari menuangan sampanye ke dalam gelasnya. Keduanya kembali mengobrol hal lain, seolah kejadian tadi adalah hal biasa bagi mereka. 

Tanpa mereka sadari seseorang mendengar percakapan mereka, Saritem – wanita senja yang menjadi pembantu di rumah Gabriel terduduk lemas di samping pintu dapur. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang terbendung di pelupuk matanya, ia hanya mampu terduduk di atas ubin memikirkan nasib naas yang menimpa Nyai-nya. Masih begitu segar ingatannya tentang percakapan antara dirinya dan sang Nyai sebelum dirinya pergi.

Mbok, Mas-ku di desa sedang di Batavia juga, tadi kami bertemu di pasar,” gadis yang belum genap dua puluh tahun itu berlari kegirangan setelah pulang berbelanja, seolah melupakan jabatannya sebagai Nyai dirinya langsung berlari. Gadis itu Sulastri namanya, mendapat nama Maria van de Wijc beberapa bulan lalu karena diangkat sebagai gundik oleh Gabriel van de Wijk.

“Kabar bagus, Mbok, ikut senang. Belanjaannya mana?” wanita paruh baya itu mengingatkan majikannya yang kekanakan dengan lembut, seperti seorang ibu pada anak. 

“Ah iya lupa, masih di bendi,” Sulastri menepuk keningnya dan kembali berjalan ke arah pintu depan. Biasanya di siang hari begini Tuan Gabriel sedang bertemu dengan Resident untuk melaporkan terkair hasil pertanian yang ia kelola, jadilah Sulastri dapat bebas lari kesana kemari seperti anak kecil.

Setelah hari itu, selama seminggu Sulastri berceloteh pada Saritem tentang rencana pertemuannya dengan Sang Kakak di pasar malam, di malam itu pula bertepatan dengan Tuan Gabriel yang sedang mengadakan pertemuan. “Aku mau kasih Mas uang untuk di kampung, mending di sampan dimana ya, Mbok?” sembari memotong sayur di dapur Sulastri membicarakan rencananya.

“Seperti biasa sajalah,” jawab Saritem dengan santai. Wanita itu tak tahu, ucapan santainya itu malah membawa petaka. Saritem terduduk di atas ubin hitam, air matanya tumpah ruah karena tak mampu menahan kesedihan. Kesalahpahaman membuat Sulastri meregang nyawa di ujung gang, dalam keheningan wanita itu menangis.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here