“Kewajiban menjaga setiap milik laki-laki”
“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”
“Tidak ada Mas Nganten. Dia sendiri hak milik untuk lelaki”
Sempalan dialog “Gadis Pantai” (1987) dari Pramoedya Ananta Toer tersebut meninggalkan perih tersendiri bagi saya. Sebab, sebagai seorang perempuan, Gadis Pantai merupakan cerminan dari korban budaya patriarki yang hingga kini belum tuntas permasalahannya. Jika berkaca pada buku dari Simone de Beauvoir yang berjudul “The Second Sex”, sang tokoh, Gadis Pantai mengalami beragam ketidakadilan gender dan menempatkannya pada posisi subordinasi.
“Gadis Pantai” menjadi satu karya fenomenal Pramoedya dari sekian banyak lainnya yang berhasil mencuri perhatian hingga mancanegara Meskipun novel ini sempat terancam tidak jadi diterbitkan, sebab pada saat itu apa-apa yang berkaitan dengan perlawanan tidak boleh disebarluaskan, namun Gadis Pantai sukses meledak di pasaran. Seperti karya-karya Pramoedya yang lain, “Tetralogi Buru” yang berisikan Bumi Manusia-Anak Semua Bangsa-Jejak Langkah-Rumah Kaca (1980-1988) misalnya, yang sarat dengan isu sosial-politik di dalamnya. Pramoedya dengan lihai mengupas isu sosial politik negara ini, mengkritik sistem, dan menggaungkan perlawanan terhadap ketidakadilan dalam karyanya.
“Gadis Pantai” merupakan novel yang tidak pernah selesai. Berisikan kritik sosial atas buruknya nilai Jawa yang melanggengkan budaya patriarki, serta kekejamanan sistem feodal, buku ini menjadi perwakilan para perempuan pada masa itu untuk melawan ketidakadilan gender. Tokoh utamanya adalah Gadis Pantai, nama samaran yang digunakan oleh Pramoedya dalam melawan arus patriarki. Banyak yang bertanya-tanya siapa sosok perempuan dibalik nama Gadis Pantai. Ada yang menyebutkan ia merupakan nenek dari ibu Pramoedya yang mencintai anak dan cucunya, atau bahkan sosok RA Kartini digadang-gadang sebagai tokoh dibalik Gadis Pantai.
Feodalisme dan Kesenjangan Kelas
Menceritakan seorang perempuan miskin berusia 14 tahun yang memiliki paras ayu nan manis dan digadang sebagai “kembang” di kampung nelayan. Deburan ombak dan belaian pasir laut yang menjadi kesehariannya, membuat nama “Gadis Pantai” senantiasa melekat dalam dirinya. Kecantikan serta keluguannya membawa ia “dijual” kepada priyayi melalui prosesi pernikahan, berharap nantinya mampu mengangkat kehidupan ekonomi keluarga Gadis Pantai. Namun dalam pernikahannya, Bendoro, sebutan dari priyayi tersebut, tidak benar-benar memperistri Gadis Pantai. Ia hanya menjadikan Gadis Pantai sebagai “teman ranjang”nya. Pernikahan ini hanya sebagai latihan Bendoro, sebelum ia menikahi istri utama. Sebab priyayi tidak boleh menikahi “wong cilik” seperti Gadis Pantai.
Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah ber anak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tarnu dengan istri dari karat ke bangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asaI orang kebanyakan – itu penghinaan bila menerimanya.
Novel yang memiliki latar belakang kolonial, selalu lekat dengan feodalisme dan pertimpangan kelas sosial. Pun pada novel “Gadis Pantai” ini. Tokoh priyayi selalu diagungkan oleh tokoh-tokoh lain serta dinarasikan sebagai orang kaya yang harus dihormati masyarakat kelas bawah. Hal ini menjadi gambaran ketidakadilan sistem masyarakat pada masa itu. Sama seperti Tetralogi Buru, Pramoedya berhasil menyingkap keburukan sistem yang dibangun oleh para feodal yang mendorong kesenjangan sosial antara bangsawan dan orang biasa. Orang-orang yang tidak memiliki titel “priyayi” sulit untuk mendapatkan hak mereka. Hal ini terjadi pada Gadis Pantai. Bendoro tidak menjadikan Gadis Pantai sebagai istri utama disebabkan oleh latar belakang kelas sosial yang dimiliki. Pada masa itu, priyayi dilarang menikahi orang biasa dan harus mendapatkan pasangan yang “setara”. Namun mereka bebas untuk mencari perempuan yang dijadikan sebagai “pemuas”. Bahkan Gadis Pantai merasa bahwa dirinya menjadi budak dari kekejaman sistem feodal ini.
“Suamiku! Ah, suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yang dipertuanku, rajaku. Aku bukan istrinya. Aku cuma budak sahaya yang hina-hina.”
Melalui “Gadis Pantai”, Pramoedya ingin menunjukkan kemarahannya terhadap kekejian dari metode kerja bangsa Eropa ini. Kutipan narasi di atas menjadi simbol perlawanan Pramoedya atas ketidakadilan sistem tersebut.
“Nasib kita lah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.”
Kebiasaan masyarakat pada masa itu yang terlalu mengagungkan orang-orang golongan bangsawan dan priyayi, ditunjukkan pula kepada Gadis Pantai. Setelah pernikahan tersebut, ketika Gadis Pantai pulang ke kampung halamannya untuk mengobati rasa rindu kepada emak, bapaknya, dan apa-apa yang melekat pada masa kecilnya, ia dipandang sebagai priyayi dan dihormati sedemikian rupa. Orang-orang di kampung nelayan menyambut kedatangannya bak ratu dari kerajaan, bersujud dan mencium kakinya. Bahkan bapaknya sendiri enggan untuk masuk ke rumah ketika Gadis Pantai sedang berada di dalam. Melalui narasi tersebut, saya melihat bahwa Pramoedya ingin menghilangkan nilai budaya jawa yang seolah menuhankan para priyayi.
Tapi semua tidaklah wajar lagi terhadapnya, tidak seperti dulu. Antara sebentar ia dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! Kata itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otak nya Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro Putri! Dan pasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap oIeh nya seakan menyindirnya: semu , semu, semua semu!
Ketidakadilan Gender dalam Belenggu Budaya Jawa
Kehidupan baru Gadis Pantai dimulai. Dilayani sebagai “Mas Nganten”: wajah dipoles sedemikian rupa, selalu disajikan hidangan enak, bahkan tiap harinya disiapkan air penuh wewangian untuk berendam. Rutinitas lamanya di kampung nelayan tergantikan. Belajar menjadi laiknya seorang priyayi; mengaji, merajut, hingga “melayani” Bendoronya, menjadi keseharian anyar Gadis Pantai. Awal kehidupan sebagai istri seorang Priyayi, Gadis Pantai berkali-kali merengek ingin kembali pada hari-harinya sebagai gadis pantai. Rindu pada kampung halamannya, pada emak dan bapaknya, pada segala yang dilakukan di laut.
Gadis Pantai yang tumbuh dan lekat akan nilai budaya Jawa pada masa itu terpaksa menjalani pernikahan yang tidak pernah diinginkannya. Citra perempuan jawa yang tidak jauh dari menerima dan menaati, membuatnya kehilangan masa remaja yang dipenuhi oleh kesenangan di laut. Kehidupan barunya di kota mengantarkannya pada peminggiran, jauh dari segala yang sudah tertancap lama dalam jiwanya; kampung nelayan. Marjinalisasi yang dialami oleh Gadis Pantai membuatnya asing terhadap dirinya sendiri, sebab hari-harinya hanya dipenuhi taat dan patuh pada Bendoro. Pramoedya dengan sengaja menggambarkan kondisi perempuan yang menjadi korban peminggiran akibat nilai budaya jawa tersebut.
Pada mulanya, Gadis Pantai tidak biasa dengan kehadiran sosok Bendoro yang mendadak masuk ke dalam hidupnya. Namun, rasa kagum yang perlahan menjelma menjadi cinta tumbuh di dalam diri si Gadis Pantai. Ia selalu menunggu kehadiran Bendoro setiap malam dan menginginkan sosok Bendoro senantiasa di sampingnya, walaupun yang dinanti semakin tidak pernah menampakkan kehadirannya. Meskipun Gadis Pantai paham betul bahwa Bendoro tidak benar-benar memperistrikan dia, ia pun tetap patuh untuk senantiasa melayani Bendoro.
“Kau baik-baik saja selama ini?”
“Sahaya menanggung, Bendoro, rindu tiada tertahankan.”
Gadis Pantai mengulangi hafalan dari pelajarannya.
“Apa kau harapkan dari kedatanganku? Emas? Berlian? Batik paling indah?”
“Tidak Bendoro, cuma keselamatan Bendoro.”
Dalam hal ini, saya menduga bahwa Pramoedya makin ingin memperlihatkan betapa rendahnya posisi perempuan di masyarakat pada masa itu. Gadis Pantai sebagai perempuan lugu hanya ingin mendapatkan perhatian dari suaminya dan harus menahan rasa rindu akibat Bendoro yang semakin jarang pulang. Alih-alih mendapatkan perhatian yang diinginkan, justru Bendoro menganggap Gadis Pantai menantikan kehadirannya sebab ingin dibawakan perhiasan. Sementara Bendoro hanya menganggap Gadis Pantai sebagai pemenuh hasrat seksualnya saja. Narasi yang ditunjukkan oleh Pramoedya ini menggambarkan objektifikasi terhadap perempuan. Obsesi pada tubuh perempuan yang “ditukar” dengan harta merupakan bagian dari ketidakadilan gender yang dialami oleh Gadis Pantai.
Gadis Pantai merupakan sosok yang cerdas, namun naif. Pertemuannya dengan Bujang, pelayan sang Gadis Pantai, menyadarkan ia pada banyak hal. Bahwa kehidupan sebelumnya, yang hanya berputar pada laut dan pasir, adalah sebagian kecil dari banyak hal di dunia ini. Gadis Pantai mendapat pelbagai pesan kehidupan dari kisah-kisah yang diceritakan oleh Bujang tiap malam. Dongeng dan obrolan malamnya bersama Bujang membawa Gadis Pantai kepada pemikiran yang berbeda dari “orang kebanyakan” lainnya. Hal ini yang mendorong Gadis Pantai melakukan perlawanan di kemudian hari.
Setelah pernikahannya berjalan hampir tiga tahun lamanya, Gadis Pantai mengandung. Selama kehamilannya, Bendoro tidak pernah sekalipun menemani Gadis Pantai. Pun ketika masa kelahiran anak mereka, Bendoro selalu pergi ke luar kota dan hanya sesekali menjenguknya.
Bendoro sendiri muncul dalam hidupnya hanya di waktu ia berada dalam setengah tidur, setengah jaga.
Keadaan ini semakin menyadarkan Gadis Pantai bahwa ia hanyalah seorang budak, tidak berhak mengharapkan kasih dari sang Bendoro. Hal semacam ini yang kemudian memunculkan rasa benci terhadap Bendoro.
“Dalam masa mengandung itu Gadis Pantai selalu diamuk rasa rindu. Ingin ia duduk atau tinggal lama-lama dengan suaminya, tapi ia hanya seorang budak sahaya. Kadang-kadang ia menangis seorang diri tanpa sesuatu sebab. Ah, seperti anak di bawah jantungnya ini bukan anaknya, tapi calon musuhnya”.
Bagi saya, kebencian yang muncul dari dalam diri Gadis Pantai merupakan bagian dari perlawanan akan nilai “nrimo” yang senantiasa dipertahankan. Ia tidak ingin berlarut dalam ketidakberdayaan, sebab terus menerus dipaksa menuruti apa yang dimau oleh priyayi tersebut. Pramoedya kian menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap nilai budaya yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya tersebut, melalui beberapa dialog berikut:
“Letakkan di ranjang!”
“Tidak mungkin, tuan.”
“Kau tak dengar perintahku?”
“Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa pulang ke kampung.”
“Bukan pencuri aku!” teriak Gadis Pantai dengan lantang.
“Semua kutinggalkan di kamar. Aku cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri,” Kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak.
“Maling!” bentak Bendoro. “Ayoh. Lepaskan bayi itu dari gendongannya. Kau mau kupanggil polisi? Marsose?”
“Aku cuma bawa bayiku sendiri. Bayiku! Bayi yang kulahirkan sendiri. Dia anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Lepaskan!”
Wanita di jendela itu menghapus matanya, membalikkan diri dan menutup jendela.
“Buat apa dia mesti rampas anakku? Selusin anak dia bisa buat dalam seminggu. Dia cuma siksa aku! Dia, Bendoromu itu. Dia cuma mau siksa bayiku, Bendoromu itu. Sini, mana bayiku. Berikan padaku.”
Dan menurut saya dialog-dialog di atas merupakan gong dari cerita ini. Ibarat sebuah pertunjukan kembang api, ketika membaca itu seperti menunggu ledakan yang paling besar dan dahsyat, duar! Segala yang ingin disampaikan dalam novel ini tersaji dengan epik melalui dialog tersebut. Pramoedya berhasil menyuarakan sebuah perlawanan terhadap sistem ketidakadilan perempuan yang terbelenggu oleh embel-embel nilai budaya jawa. Gadis Pantai hanya merupakan satu dari banyak perempuan yang terjebak dalam belenggu budaya patriarki. Melalui buku ini, saya kira Pramoedya punya harapan besar agar kedepannya tidak ada lagi “Gadis Pantai” – “Gadis Pantai” lainnya. Semoga!
[…] – panggilan lain untuk gundik, kemana? Aku tak lihat batang hidungnya,” Hendrick tampak penasaran dengan gadis yang diangkat […]