Ada satu klien yang Saya tangani dalam periode yang lumayan panjang. Kontrak kerjanya nambah dan nambah terus. Kisah awalnya, Saya hanya diminta untuk melakukan bimbingan dan pendampingan bagi tim kreatif, utamanya dalam hal media sosial. Sebuah tugas yang relatif sederhana, karena membahas ide, eksperimen konten, memikirkan dan membuat hal-hal baru yang beda, adalah sesuatu yang Saya anggap menggairahkan.
Alhamdulillah, dari ulah di media sosial, mulai ketemu ide dan konsep yang cocok untuk brand. Memang tidak langsung tepat akurat, karena selama proses, banyak juga yang zonk dan gak mendapat hasil seperti harapan, mungkin dari 10 ide, cuman 2 yang nyamber, sisanya yang 8 cuman dapat hikmahnya.
Viewers konten semakin mudah didapat, kalau awalnya team ini berjuang untuk mendapat ribuan viewers, makin kesini makin terbiasa mendapat puluhan ribu viewers, beranjak naik ke ratusan ribu viewers, hingga makin nyaman dengan rutin meraih level jutaan viewers.
Tentu ini kemudian menjadi cara yang murah untuk membuat brand semakin dikenal dan semakin meluas, kalau ada 10 saja konten dengan viewers masing-masing 1 juta dalam sebulan, maka 10 juta jangkauan diraih setiap bulannya, maka nampaknya kerjaan tim ini, sudah bisa dianggap mumpuni.
Namun, sebagai bentuk cinta dan keseriusan mengulik, Saya tidak puas berhenti pada viewers yang tinggi, karena pasti juga dipetik efek domino, berupa followers yang jumlahnya meningkat. Ini tidak kalah pentingnya, karena pada dasarnya setiap brand, punya pesaing, para kompetitor di bidang usaha sejenis yang mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa tidak terpaksa, dibandingkan dengan brand Kita.
Followers akun meningkat pesat, dari yang awalnya saat itu kalau tidak salah cuma 600an akun, dalam sekitar 3 bulan merangsek naik ke 12ribuan followers, sebuah pencapaian yang layak disyukuri dan dirayakan.
Namun Saya kritisi sendiri pekerjaan yang Kami lakukan. Saya munculkan sebuah pertanyaan reflektif : apakah perluasan jangkauan ini, dapat dipantau dan diukur memberi dampak pada peningkatan penjualan?
Kalau BRANDING membawa pada kondisi : tidak tahu -> menjadi tahu.
Maka MARKETING mengambil peranan pada kondisi : tidak minat -> menjadi minat.
Dalam soal di media sosial, proses marketing yang dipantau, menggunakan indikator berapa komen dan direct message/ inbox yang terjadi setiap harinya pasca Kita membuat dan mengunggah konten? Alhamdulillah lagi, angkanya ternyata cukup menggembirakan. Tanpa iklan berbayar, rata-rata per hari inbox yang masuk, ada sekitar 25 sampai 30 pesan, dengan isi pesan yang spesifik sudah menunjukkan minat atau kebutuhan atas produk tertentu.
Istilahnya, setiap hari ada 25-30 prospek calon konsumen yang masuk, dengan produk yang dijual, harganya mulai dari 1 jutaan. Sebuah angka yang lumayan dan menggembirakan, jika sebulan membidik angka penjualan 1 milyar an.
Jadi, apakah proses marketing mengurus sampai aspek penjualan, transaksi, dan omzet?
Nah, Kita bahas itu di tulisan berikutnya.
[…] kedua menempuh proses MARKETING, tahapan dari tidak minat -> menjadi minat, belum ada omzet, baru ada leads atau prospek calon […]