Tragedi selalu meniru dalam model yang sama, berasal dari Meditarenia Kuno. – Jean-Luc Godard
Perempuan Palestina Tepi Barat itu menulis kisah hariannya dalam sajak Killyoum, atau dalam bahasa Indonesia berarti “setiap hari”. Setiap hari yang dibayangkan oleh Nathalie Handal, penulis itu seperti ini, “Aku punya sebuah negeri, yang tak terlihat, tak punya bendera, atau cahaya bulan”. Bendera adalah tanda adanya sebuah teritori berdaulat, sebagaimana sejarah mencatat itu, tapi tidak bagi Nathalie. Palestina bukan hanya tidak memiliki bendera, tapi juga cahaya bulan, tulis penyair itu. Palestina hanya ada, ketika dunia bicara tentang kesedihan. Karena itu ia menulis,”Tapi dalam kesedihan peta-petanya ada jawaban yang kami perlukan”. Hanya kesedihan, sejauh ini yang membuat Palestina seolah terasa ada.
Bukankah demikian yang diinginkan oleh Dunia hari ini. Dunia dalam media, masyarakat yang dibentuk dari perangkat ketiga bukan wajah dengan wajah, sebuah masyarakat tontonan (spectacle) yang bagi Antonin Artaud dunia sebagai panggung kekejaman. Theatre Of Cruelty. Karena itulah, perang seolah terasa seperti hiburan media. 3 Jurnalis Al Jazeera, yang ingin melihat bagaimana kejadian sungguhan melalui wawancara langsung bahkan mati tertimpa puing yang runtuh karena bom. Tetapi media sosial, menyajikan betul, bagaimana kesedihan diperlakukan secara banal. Seorang anak kecil menangis di depan puing, di belakang kepalanya tank milik tentara Israel berdiri. Bisa saja kepala anak itu pecah, ketika bola meriam keluar dari selongsong tank. Media menyoroti itu, dengan alasan belas kasih, tapi siapa mengerti, seseorang tengah meraup keuntungan tinggi dibalik genosida itu?.
Perang dalam dunia modern, sebagaimana keyakinan orang-orang yang tengah berjuang di Timur Tengah bukan hanya senapan dan bedil. Perang pikiran mejadi bagian dari peperangan itu sendiri. Mereka menyebutnya dengan Ghazwatul Fikr. Alat utamanya, antara lain adalah Media. Perang akhirnya menjadi sorot hiburan menarik, yang menyajikan kekerasan tak henti, tanpa melihat informasi yang lebih luas tentang kepentingan apa dan siapa. Sebut saja, pada akhirnya perang tiada beda dengan film-film Rambo yang diputar di bioskop. Informasi jurnalistik pun, pada akhirnya hanya menjadi sorot genre entertainment tersendiri. Berita berisi pembunuhan dan kemenangan, dan tak ingin menyorot lebih jauh dari itu. Dalam rilis Remotivi, mereka melihat bagaimana konstruk perang Rusia-Ukraina misalnya, dalam sebaran informasi di Kawasan Indonesia, berita yang diangkat cenderung bertemakan. “Inilah senjata rusia yang mampu menghancurkan Ukraina sampai luluh lantak!”. Sebaran ini, dalam riset tersebut, memiliki poros kepentingan Negara Indonesia atas hubungannya dengan dukungan diplomatik terhadap Rusia. Ini sama yang terjadi dengan pandangan dunia media terhadap Palestina.
Dunia dalam berita, kata komedian lawas grup lawak Dono Kasino Indro (DKI). Dalam bingkai gerak audio-visual inilah ruang Palestina cenderung dipersempit melihat ekspresinya sebagai negara, rakyat, atau Individu sekaligus mengekspresikan artikulasi politik mereka. Ruang redaksi, tak ubahnya seperti tembok tapal batas di Barat Gaza yang dibangun oleh Israel. Lapis kepentingan yang sulit ditembus untuk melihat kebenaran ekspresi orang-orang Palestina. Karena itulah barangkali, orang Palestina lebih dekat dengan bau mesiu dibandingkan remang cahaya bulan saat malam.
Muak rasanya melhat bagaimana konstruk media bekerja. Kendati saya menyadari, ada beberapa hal yang merupakan keniscayaan dalam dunia ini, seperti perkembangan teknologi dan kuasa di balik seorang yang melahirkan produk itu. Tapi di 3000 km dari ke arah utara, Prancis, seorang sineas legendaris Jen-Luc Godard mencatat kisah Palestina dengan radikal. Godard sebagai seniman film penuh eksperimen, tak hanya melihat Palestina sebagai wilayah terjajah, melainkan Palestina kelak ketika teknologi Audio-Visual sudah berkembang sedemikian rupa, termasuk melalui Film, akan berpengaruh terhadap hal politik siapa berpihak kepada apa untuk Palestina.
Sutradara ini, karenanya membuat dua film menarik tentang Palestina. Our Music, film yang digarap secara kolektif bersama dengan dua jurnalis konflik Israel – Palestina. Kedua jurnalis ini, dalam tokoh film tersebut terbiasa melakukan Investigasi di titik-titik konflik yang menjadi letak perjuangan orang-orang Palestina atas tanahnya. Kendati, orang-orang ini tidak disorot khusus sebagai bentuk naratif ke dalam film, melainkan sekilas saja untuk menggambarkan kegamangan kamera memperlakukan pejuang Palestina. Hanya sebagai film, Our Music terbilang apik pada masa itu, karena yang ia soroti adalah seorang Jurnalis Investigasi yang ingin meliput dan ragu begitu selesai mengikuti kelas Godard – yang masuk ke dalam scene – setelah ia mengerti, sebagaimana Godard meyakini, sungguh sinema adalah seni, tapi seni macam ini bagi Godard adalah, “Kebenaran yang berlangsung hanya dalam 24 detik”. Karena Godard, sebagai Sineas begitu tegas memperlakukan ekspresi seni dalam sinema sebagai gambar potongan memoir manusia, bukan realitas yang utuh. Karena itu, Godard yakin, “layar lebar adalah penipuan paling indah di Dunia”.
Godard seorang pembaca sastra. Penggalan dialog, adegan, bahkan ekspresi tokoh dalam gerak sebagian besar dipengaruhi novel dan puisi. Keberpihakan sosial Godard terhadap keterbatasan manusia, yang sering ia gambarkan dalam sinema, menjadi kontroversi. Apalagi sikap tegasnya yang pro-palestina itu, sempat dituding dalam film lainnya, Socialisme, sebagai narasi anti-semit. Alasannya jelas, Godard penah menulis benci holocaust. Ia seorang Pasifis. Bahkan sebagai sineas, ia menyesali lahir terlambat setelah Holocaust terjadi. Tentu saja ia melawan narasi fasis, melalui film lainnya, misal yang paling terlihat adalah Socialisme. Sebuah film meditasi mendalam tentang mitos keyakinan orang modern tentang Negara Bangsa, Keadilan dan Sejarah. Sebuah film penuh keraguan, yang berisi penuh adegan jump-cut serta kolase adegan bersejarah yang singkat.
Godard telah mati, dan ia yang memutuskan mengapa harus mati. Di Swiss, dengan hukum legal bunuh diri, ia minta assisten bayarannya khusus untuk melakukan pekerjaan membunuh agar segera menghentikan hidup Godard. Kendati karya Godard terus menerus dipebincangkan, sebagai karakter kesenian Prancis pada umumnya di masa Pasca Modern.Tentang keterbatasan manusia menerjemahkan apa yang harus terjadi dalam ruang waktu, kemarin, hari ini atau esok. “Saya memohon atas nama teks” kata Godard menyitir tentang utopia masa mendatang tanpa perang, dalam laman wawancara Sight And Sound. Karena bagi Godard, film adalah teks, bisa diperlakukan dan, barangkali Godard yakin, teks bisa berubah sesuai kehendak kita terhadap masa depan. Teks bagi Godard adalah film itu sendiri.