Boy soldiers kill and know no pity. When they march upon a city. It will be too late too late. When hatreds knocking on the gate…

God gave us hands to do His Bidding. He gave us hearts that we might care. If we don’t show then God is absent. If God is absent. Who is there.

(Children of War, Noreen Carden, 2014)

*

“Tentara muda membunuh dan tak mengenal belas kasih. Saat mereka berpawai di kota, semua akan terlambat. Amat terlambat. Ketika kebencian mengetuk pintu gerbang…

Tuhan memberi kita tangan untuk mengundi Pertaruhan-Nya. Ia memberi kita hati untuk kita jaga. Jika kita tak datang, Tuhan tak akan hadir. Jika Tuhan tak hadir, lantas siapa di sana?”

Setidaknya begitu terjemahan puisi berjudul Anak-Anak Peperangan karya Noreen Carden yang ia tulis pada 2014 ini. Puisi ini saya temukan di situs internet tanpa sengaja tepat pada hari Sabtu, 4 Juni lalu. Hari peringatan untuk Anak Korban Peperangan.

Perang dan anak-anak adalah dua gatra yang telah saya coba kaji sejak tahun 2017 lalu. Kemudian saya menjadi lebih sadar tentang kontekstualisasi anak selepas membaca esai karya Alwy Rachman yang berjudul Anak-Anak di Ragam Panggung. Anak kerap baru mendapat perhatian saat mereka tampil sebagai korban kekerasan manusia. Kecuali dalam warisan karsa Khalil Gibran, anak-anak jarang sekali mendapatkan glorifikasi, kata Alwy Rachman.

Kita mungkin telah tak bisa lagi menghitung berapa banyak perang terjadi sejak manusia lahir ke dunia ini. Perang dunia, perang sipil, holocaust, dan beberapa perang lain yang memiliki kepentingan tak jauh berbeda. Saya akan mengambil salah satu catatan datum dari konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang terjadi pada tahun 2021 lalu. Dalam kurun waktu 2008–2021, anak-anak Palestina berakhir menjadi makna dalam tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Sebanyak 21,8% dari 5,739 korban terdiri dari anak-anak. Anak laki-laki dan anak perempuan terhapus dari kehidupan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Terenggut dari kenyamanan rumah dan tanah kelahiran.

Semenjak Israel mendeklarasikan kemarahannya pada Hamas lewat peperangan, anak-anak menjadi pihak tak bersalah yang dikonsumsi oleh konfrontasi mereka. Tak terhitung jumlahnya sejak kemarahan kedua belah pihak disulut di ruang publik. Anak-anak kemudian bersahabat dengan asap-asap yang membombardir sekolah dan rumah mereka. Malam-malam mereka diakrabi oleh mimpi buruk. Dalam hitungan hari, anak-anak bahkan menjadi tubuh-tubuh boneka yang membawa bom bunuh diri.

Pada PD II ketika Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, seorang anak berumur 10 tahun menggendong adiknya yang tak bernyawa di punggung. Menatap bara kemarahan manusia yang jatuh tanpa bisa ia antisipasi di tanah kelahirannya. Tangannya menggenggam udara dengan gemetar. Matanya menyalakan episodik trauma yang mungkin akan ia jalani di masa-masa akan datang.

anak-anak dan perang
Standing boy of Nagasaki 1945,
Joe O’Donnell (photojournalist)

Episodik-episodik traumatis itu bukan sesuatu yang fiktif. Di Hiroshima, monumen perdamaian (Genbaku no Ko no Zo, “Atomic Bomb Children Statue”) berdiri untuk mengenang tragedi besar pada 77 tahun silam. Eleanor Coerr menerbitkan Sadako and the Thousand Paper Cranes pada tahun 1977 dan Karl Bruckner melahirkan Sadako Will Leben (Sadako Wants to Live) untuk memproyeksikan perang dari sudut pandang anak berumur 13 tahun. Sadako tidak pernah memiliki kepentingan dengan politik kedua belah pihak yang terlibat perang kala itu. Akan tetapi, ia dipaksa hadir serta merta dalam tegangnya tragedi kuasa.

Perang adalah ancaman kemanusiaan. Saat non-fiksi tak cukup kuat menopang fakta akibat perang pada anak-anak, fiksi hadir untuk mendekati manusia melalui jalur emosi. Ribuan karya fiksi lahir dengan sudut pandang anak korban perang, laki-laki cilik yang dipaksa negara untuk menjadi tentara perang, atau dengan sudut pandang para penyintas yang terlampau muda untuk mencerna makna perang.

Semua orang dapat memulai perang dengan mudah, akan tetapi perang tak akan berakhir serta merta, begitulah apa yang disampaikan oleh Niccolo Machiavelli. Dalam beberapa fakta, perang bermula sejak tak semua manusia memiliki akses pada kebahagiaan sederhana di masa kanak-kanaknya. Di fase dewasa mereka marah atas keterbatasan tersebut. Ada yang tak sempurna dalam proses pendakuan.

Alwy Rachman pernah menggarisbawahi terma anak-anak dalam diri orang dewasa. Anak-anak masih dipandang sebagai subjek kelas dua yang kerap ditemukan dalam pembahasan tentang kemarahan dan kelaparan. Situasi belum berubah signifikan meski sikap anti-perang bergema di atmosfer kita. Belum ada yang mendahulukan anak dan kebutuhan subjektivitasnya. Sudah selayaknya kita sejenak menjadi kanak-kanak yang bijaksana dalam tubuh dewasa ini. Agar setidaknya kita berhenti dengan rendah hati di hadapan ketakberdayaan mereka.

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

2 COMMENTS

  1. […] Perang memang begitu kejam adanya, ya. Ia mampu mengubah kelinci menjadi serigala yang ganas. Berbagai penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan dilakukan semena-mena hanya untuk tujuan dan kesenangan semata. Tak ada belas kasih, yang ada hanyalah ketegaan. Perang adalah ketiadaan hati nurani. Sebab ego, manusia tidak lagi dimanusiakan, yang ada hanya kesengajaan menutup mata. […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here