Penulis adalah orang paling miskin dalam dunia ini, setidaknya modal mereka hanya sebuah tulisan. Tapi kebudayaan menulis adalah kekayaan. Sapiens setidaknya baru mengenal menulis setelah mulai mengumpulkan aksara-aksara dan membuatnya dalam ragam sistem lingua-franca masing-masing bangsanya. Kendati bangsa masih sesuatu yang amat abstrak. Setiap zaman mencatat gejalanya, melalui bahasa dan kebudayaannya. Jika ada salah seorang yang patut diberi ruang dalam sejarah, penulis adalah salah satunya.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, sejarah, setidaknya pengamatan ini yang saya tekuni. Di luar itu, tentu istilah Sejarah Sastra mengandung polemik. Muhammad Al-Fayyadl, dalam artikel “Sesuatu Setelah Sastra Indonesia” pernah mengatakan, bahkan kesusastraan Indonesia sepanjang sejarah dibuat bias. Alasannya kesastraan dipadankan dengan aktivitas militer, akhirnya lahirlah Angkatan-angkatan dalam kesusastraan. Akan tetapi saya meyakini, sepertinya Kesusastraan dalam lingkup yang paling umum bersifat sama. Karya yang bagus akan keluar jadi dialog publik, sementara karya yang buruk tetap akan tenggelam, dengan pengecualian pengaruh pasar.
Mengapa penulis perlu masuk dalam ruang sejarah, mengapa misal filmmaker tidak perlu masuk. Segala seni visual yang mengutamakan Indra Penglihatan sebagai perasa memahami cerita, sejak dalam tradisi pagung (Teater) sampai ke Sinema (film) bukan diperuntukkan sebagai rekam jejak. Peristiwa ruang-waktu, dari yang politis sampai estetik, dalam tradisi seni visual dibuat momentum. Setelah peristiwa itu selesai, dunia dalam kepala manusia itu berlalu. Tentu bahkan dalam pentas teatrikal atau sinema pun berasal dari tulisan. Bahkan jika tulisan itu dibaca ulang, saya meyakini tidak akan persis seperti apa yang ditampilkan sebelumnya. Ada pengecualian dalam perfilman. Film bisa diulang, bahkan dalam proses pengambilan, sangat banyak sutradara yang mengambil Take In Frame berulang-ulang melalui pemotongan rekaman.
Semua orang bisa menulis, tetapi tidak semua orang yang menulis itu penulis. Suatu hari teman saya dengan tegas bicara pada saya. Karena itu, sambil menuding wajah saya dengan telunjuk, Kamu tidak boleh menghasilkan tulisan yang buruk. Di dunia ini orang sangat mudah untuk menulis, tapi menghasilkan tulisan yang baik orang kesulitan. Ia seorang pesimis dan penggerutu karya-karya buruk yang lahir di dunia. Katanya padahal peradaban Sapiens belum lama mengenal tulisan, tapi mengapa semua orang menghamburkan kata secara cuma-cuma dan Mubadzir. Sambil memberikan perbandingan, ia mengatakan, kelak kamu akan mengerti, berbeda seorang yang memasak Ayam Opor dengan rempah racikan sendiri dan yang hanya menggunakan racik.
Belakangan saya mulai merasakan itu, setidaknya dalam diri saya. Ini juga salah satu alasan menganggap bahwa seorang penulis itu penting. Pertama saya meyakini teman saya, betul rasanya, seorang penulis yang benar-benar menulis akan berbeda. Ia akan mengecap banyak ragam tulisan, informasi, wawasan, cara bertutur, kebudayaan, kebahasaan, bahkan lebih jauh ia akan membunuh identitas dirinya sendiri. Kedua barangkali, seorang penulis yang baik, tidak akan pernah menuturkan pembacanya seperti seorang majikan melatih anjingnya. Mereka memaksakan dunia yang ingin dibentuk dalam ceritanya seolah harus diterima oleh pembaca. Dengan kata lain, ia ingin dipahami tapi dengan cara kurang elegan.
Terakhir penulis sebagai aktor. Dalam Sosio-Masyarakat, tidak mungkin seorang penulis tidak menggadaikan tubuhnya dalam sejarahnya hidup. Penulis yang baik, barangkali akan menggadaikan tubuhnya dalam ruang dan waktu tempat masyarakatnya hidup. Ia akan melihat kemungkinan, memasukkan informasi baik itu menimbulkan perasaan sakit atau bahagia dalam dirinya. Ia akan menyasar segala kemungkinan yang paling mungkin dari sekian kerumitan informasi yang ada dalam masyarakatnya.
Dalam film-film kolosal, barangkali anda akan sering menemukan tokoh yang hidupnya hanya ia gunakan untuk mengumpulkan Informasi. Terkadang tokoh seperti ini berperan penting meski hanya dalam tuturan singkat, bukan strategi perang yang hebat atau kehebatan cara bertarungnya. Sebelum satellite ada, sebelum teknologi informasi belum sebatas klik, orang-orang seperti ini adalah aset sejarah. Saya menyebutnya sebagai pelancong. Ia bertugas untuk menimang, mengumpulkan, memilah, dan memutuskan informasi apa yang bernilai untuk dijual. Karena itu dalam epos besar Yunani, takdir seorang dewa atau Demigod – anak peranakan dari Dewa dan Manusia – takdirnya sebagian besar diikat oleh Hermes. Hermes adalah pembawa kabar buruk dan baik tentang apa yang akan terjadi esok. Dan tentu saja ia penulis.