Sebulan terakhir, Rusia melalui perintah Presidennya, Vladimir Putin, melancarkan serangan besar-besaran ke Ukraina. Serangan tersebut menimbulkan banyak kehancuran di Ukraina, mulai dari kerusakan infrastruktur, ekonomi merosot, hingga korban jiwa berjatuhan. Meski sudah banyak kerugian, perang Rusia-Ukraina tak kunjung mereda.
Beragam alasan mengapa Rusia menyerang Ukraina pun bermunculan di berbagai platform media. Mulai dari dalih pihak Rusia hendak menolong wilayah Donetsk (DPR) dan Lushansk (LRP) dari penderitaan selama delapan tahun di bawah pemerintahan Ukraina. Selama delapan tahun DPR dan LRP yang sebagian besar penduduknya berbahasa Rusia melakukan perlawanan melalui kelompok separatis Pro-Rusia.
Lain hal dengan Ukraina yang menyebut misi Rusia adalah menginvasi Ukraina karena ingin bergabung dengan NATO (Pakta Petahanan Antantik Utara) yang akan membahayakan pertahanan Rusia. Hampir sebulan sudah perang berlangsung.
Telepas dari pertentangan kedua dalih tersebut, para ahli memandang bahwa Rusia bertujuan mengganti kepemimpinan Ukraina menjadi pro-Moskow. Pandangan pengamat itu ada benarnya jika melihat arah kebijakan perang yang digencarkan Rusia menyasar Ibukota Kota Kyiv untuk menurunkan presiden Ukraina, Zelensky. Hingga saat ini serangan Rusia khususnya ke Kota Kyiv masih berlangsung disamping negosiasi perdamaian juga terus diupayakan.
Perang Rusia-Ukraina ini dikhawatirkan akan memantik terjadinya perang dunia ke-3. Sebab hukum perang dan upaya perdamaian sudah diabaikan dan lebih mengutamakan kepentingan Negara masing-masing. Maka tampaklah jalan buntu. Pepatah lama “Tidak ada perang yang baik dan perdamaian yang buruk” seolah tak berlaku lagi.
Siapa yang bisa dan mau menghentikan perang tanpa kepentingan bagi negaranya sendiri? Tampak sepi sebagaimana kesaksian Presiden Ukraina. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tidak bisa berbuat banyak.
Sebelumnya Rusia sempat memberi ancaman kepada siapa pun yang ikut campur dan menghalangi mereka akan mendapat akibat yang belum pernah dialami sebelumnya.
Sejalan dengan itu, mengingat kekuatan militer Rusia utamanya pada senjata nuklirnya sebanyak 4.497 nuklir aktif, dan merupakan kekuatan nuklir terbesar di dunia, membuat Negara lain “enggan” terlibat. Kondisi ini menampakkan penindasan satu Negara terhadap Negara lain sangat kentara. Negara yang kuat dengan mudah mengintimidasi Negara lemah baik dalam hal ekonomi maupun kekuatan militer.
Dunia hari ini benar-benar mengalami situasi ketidakpastian. Di samping situasi Corona Virus Disease (Covid-19) yang menjangkiti hampir seluruh Negara di dunia menimbulkan ancaman terjadinya krisis global. Di saat yang sama eskalasi politik global justru meningkat.
Ancaman luar biasa Covid-19 ini seharusnya menjadi momentum refleksi semua Negara. Bahwasanya ancaman sesungguhnya bukan antara Negara dan sesama manusia, melainkan ancaman Covid-19 dan perubahan iklim.
Karenanya semua Negara secara bersama harus mengatasinya dan meninggalkan ego sektoral. Namun tampaknya tak demikian, kepentingan politik masing-masing Negara semakin kuat; Negara yang ekonomi kuat mengeksploitasi Negara ekonomi lemah, Negara yang memiliki kekuatan militer besar menyerang Negara yang kekuatan militernya kecil. Semacam hukum rimba pada zaman sebelum ada negara.
Winter is Coming!
Membaca situasi Pandemi dan perang Rusia-Ukraina ini saya teringat dengan serial televisi berjudul Game of Thrones (GoT) besutan David Benioff dan D.B Weiss yang diadaptasi dari seri novel “A Song of Ice and Fire” karya George Martin.
Secara umum alur cerita film mengisahkan perebutan kekuasaan di suatu dunia yang terdiri dari tujuh wilayah besar. Adapun Westeros merupakan satu wilayah yang paling tinggi kekuasaannya dibanding enam wilayah lainnya yang disebut house dan dipimpin seorang lord. Karenanya semua pejabat tinggi dari masing-masing house berhasrat menduduki singgasana The Iron Throne (kursi raja Westeros).
Sepanjang film menampilkan berbagai siasat politik perebutan kekuasaan, seperti mencari sekutu, perang, persekongkolan, mengkhianati kawan, bahkan mengorbankan keluarga.
Hasrat berkuasa telah membuat perang menyelimuti singgasana The Iron Throne. Masing-masing wilayah menganggap wilayahnya lah yang paling layak menempati singgasana. Karenanya meski sudah beberapa kali berganti raja dari wilayah yang berbeda, hasrat daerah lain untuk merebut kembali tetap membara.
Alih-alih kerajaan paling bergengsi itu menjadi wilayah damai dan makmur, justru akibat perang dan ketidakstabilan politik tak bertepi menjadikannya wilayah konflik dan dipenuhi kemiskinan.
Suatu ketika perang antar wilayah terpaksa dihentikan karena ada ancaman besar menghancurkan kelangsungan hidup manusia. Ancaman itu datang dari wilayah bagian paling utara yang disebut Beyond the Wall, yaitu musim dingin berkepanjangan disertai munculnya pasukan mati (White Wakker) yang dipimpin Night King.
Jumlahnya sangat banyak. Mereka kuat, beringas dan menakutkan. Senjata yang biasa dipakai dalam perang tidak dapat membubuhnya. Namun demikian wilayah lain tidak langsung percaya kesaksian orang-orang Utara bahwa ancaman segera datang. Istilah yang kemudian populer menjelaskan situasi sulit itu adalah “Winter is Coming”.
Melihat ancaman itu, seluruh wilayah kerajaan meninggalkan ego perebutan kekuasaan lalu bersatu-bergandengan untuk melawan White Walker. Demi kemanusiaan. Semua wilayah bahu membahu; menyiapkan pasukan; mencari alat perang yang dapat memusnahkan White Walker, hingga saling berbagi persediaan pangan di saat musim dingin.
Singkat cerita, umat manusia menang. Namun, sayangnya perang antar wilayah kembali berlanjut yang membuat tiada kedamaian di negeri itu.
Begitu pun dalam situasi saat ini. Di mana antar Negara saling berebut pengaruh ekonomi, kekuasaan dan wilayah dengan berbagai cara; perang; monopoli pasar; penjajahan negara ekonomi lemah, dan lainnya. Padahal kini, semua Negara dihadapkan pada serangan pandemi (White Walker) yang tak kunjung tertangani.
Maka begitu miris melihat dalam situasi pandemi ini ada Negara yang berperang seperti yang terjadi di Ukraina, begitu pun Negara yang tidak berperang secara fisik tapi mengeksploitasi Negara lain habis-habisan.
Demi kemanusiaan, semua negara harus meninggalkan kepentingan politik-ekonomi sektoral lalu bersatu-bergandengan melawan pandemi yang mengancam seluruh umat manusia. Khususnya Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi Group Twenty (G20), perlu mengambil langkah konkret membangun kesadaran bersama bahwa umat manusia haruslah bersatu melawan musuh yang kini mengancam dunia (pandemi, krisis iklim, dan sebagainya).
Layaknya wilayah utara dalam film GoT berjuang meyakinkan wilayah lainnya perihal musuh sesungguhnya. Pekerjaan yang tak mudah, namun tak ada pilihan. Perang harus segera diakhiri untuk kedamaian. Winter is coming! Humanity must come first!”
[…] hanya untuk tujuan dan kesenangan semata. Tak ada belas kasih, yang ada hanyalah ketegaan. Perang adalah ketiadaan hati nurani. Sebab ego, manusia tidak lagi dimanusiakan, yang ada hanya kesengajaan menutup […]