Buce, begundal kampung yang sering bikin onar dan sejak remaja sudah menjadi beban keluarga itu tiba-tiba berubah. Dia yang biasanya berangasan meminta paksa uang keamanan di pasar Barong, kini jadi begitu baik.
Penampilannya jadi berbeda sejak beberapa waktu belakangan ini, ia jadi seperti selalu ingin terlihat tampan dan rapi sempurna. Dia selalu shalat di masjid kampungnya. Dia selalu hadir di majelis taklim yang seumur-umur tidak pernah dia hadiri.
Profesinya pun berubah. Sudah bukan lagi preman pasar berwajah bengis, tetapi menjadi penjual kue pukis keliling yang selalu tersenyum manis.
Usut punya usut, ternyata yang membuat dirinya berubah adalah pulangnya anak sulung kiai di kampungnya itu, kiai yang selalu mengisi majelis taklim yang dia hadiri belakangan ini, nama anak sang kiai itu adalah Syiffa.
Syiffa adalah perempuan yang sedari balita sudah mendapatkan ilmu agama dari ayahnya, dan ketika Syiffa lulus sekolah dasar langsung ditempatkan di sebuah pondok untuk memperdalam pendidikan agama juga.
Enam tahun sudah Syiffa mengenyam pendidikan yang dipilih oleh ayahnya itu, dan sekarang Syiffa sudah lulus dan pulang dengan membawa segala kecantikan dan pesona yang dimilikinya. Pesona Syiffa telah meluruhkan karat hitam yang telah mengerak dalam diri Buce.
Di mata Buce, Syiffa benar-benar elok sempurna.dia seperti embun pagi yang menyejukkan kerontang jiwanya. Begitulah yang dirasakan Buce. Dia jadi sangat mudah berpujangga belakangan ini.
Semua hal yang selama ini membuat Buce mendapat predikat sampah masyarakat, telah berganti menjadi hal-hal yang baik. Buce seperti iblis yang bertransformasi menjadi malaikat.
Tanpa diduga, ternyata dayung bersambut. Ayah Syiffa menerima pinangan si mantan begundal tengik ketika Buce memberanikan diri meminta restu kepada sang kiai, mungkin karena ayah Syiffa melihat jalan tobatnya yang sungguh-sungguh, termasuk juga mendapat penerimaan dari Syiffa, perempuan cantik tersebut.
Dan cerita kelanjutannya sudah dapat ditebak, hari-hari pernikahan sudah di depan mata.
“Aku sudah meninggalkan duniaku yang lama, dan akan hidup bersamamu dengan diriku yang baru,” Buce berucap ketika resepsi pernikahannya yang sederhana sudah selesai.
“Tidak, aku justru mau hidup bersamamu karena aku ingin kau tetap di duniamu untuk membawaku ke sana!”
Buce seperti merasa ada ledakan di dalam gendang telinganya. Kaget bukan kepalang.
“Aku pikir kau mau menikahiku karena aku telah menjadi baik!”
“Aku sudah terlalu lama hidup dalam kungkungan, dan belum pernah sama sekali merasakan kebebasan yang dirasakan olehmu,” Syiffa menjawab dengan suara lembut.
“Tapi, bagaimana dengan keluargamu?”
“Kita pergi dari sini diam-diam. Bawalah aku bertualang!” Syiffa menjawab. Ketika Buce akan membuka mulut untuk menimpali, Syiffa menyela lebih dulu.
“Aku seperti katak dalam tempurung, kau harus menghancurkan tempurung yang sudah mengungkungku sangat lama ini!” Syiffa meminta.
“Lantas, bagaimana dengan tobatku?” Buce bertanya bimbang.
Syiffa hanya menjawab dengan senyuman. Dan senyumnya itu manis sekali. Manis senyumnya membuat Buce bersumpah untuk patuh pada pemilik senyum itu.
Satu pekan mereka mempersiapkan segalanya secara diam-diam. Hingga pada waktunya tiba, ketika pagi yang masih menunggu dibangunkan ayam jantan, mereka pergi. Syiffa ingin merasakan dunia yang berbeda.
Selama ini, Syiffa harus hidup dalam lingkungan yang menuntut kepatuhan dan harus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan larangan dan perintah yang keras. Dan dia bosan dengan semua itu. Hidupnya terasa tanpa warna.
Dia tak pernah melihat apa yang selalu dilarang oleh ayah dan semua guru-gurunya. Dia tak pernah mendapat jawaban dari pertanyaannya tentang apa itu pergaulan, kenakalan, dan lain-lainnya. Dia hanya tidak boleh melakukannya. Dan dia tidak mengerti mengapa harus dilarang melakukan hal yang bahkan dia tak tahu apa itu.
Dan rasa penasarannya semakin menggunung ketika Syiffa kedatangan seorang teman baru di pondok pesantrennya, remaja yang dipaksa oleh keluarganya untuk masuk ke pondok tersebut karena terlalu bebas dalam bergaul. Teman barunya bercerita tentang betapa luasnya dunia ini.
Dan, ciri khas dari sesuatu yang dilarang adalah selalu memiliki caranya sendiri untuk merayu siapa saja untuk mencobanya. Tak terkecuali Syiffa yang bahkan sudah dibentengi oleh ilmu agama sejak dia masih kecil.
Buce membawa istrinya ke tempat yang sudah dia kenal. Bukan pasar Barong, pasar Barong terlalu dekat dengan keluarga istrinya. Tetapi menjauh ke wilayah perbatasan di mana dia juga pernah memiliki pengaruh kuat di wilayah sana.
Tak lupa dia mendatangi Codet, teman masa lalunya yang kini menjadi penguasa wilayah tersebut sebagai bentuk sopan santun orang yang pernah menjalani profesi sama.
“Apa yang sudah kau dapatkan silahkan kau ambil. Aku kemari bukan untuk mengganggu kekuasaanmu!” ucap Buce pada Codet.
Codet hanya mengangguk. Tapi hatinya lebih memilih waspada dengan keberadaan kembalinya Buce di wilayahnya.
Mulailah Buce mendampingi istrinya bertualang di lokasi diskotik kelas teri. Syiffa mencoba minum-minuman keras. Mulanya sedikit, lama kelamaan yang sedikit itu menjadi tidak cukup. Pakaiannya pun sudah tak lagi tertutup. Jadilah Syiffa sebagai perempuan baik yang meluapkan sisi liarnya yang selama ini terkubur oleh aturan.
Dia jadi sangat akrab dengan kehidupan malam. Syiffa sangat menikmatinya.
Tetapi tidak dengan Buce. Dia merasa ini bukan lagi dunianya. Dia merasa tengah berada di tempat yang tidak benar. Tetapi, apa yang bisa dilakukan oleh seorang lelaki yang sedang jatuh cinta?
Sekitar tiga bulan sudah mereka menjalani hidup seperti itu. Dan malam itu, ketika mereka kembali akan pergi menuju tempat untuk memuaskan dahaga Syiffa tentang hal-hal yang dahulu tidak dia dapatkan, baru beberapa meter mereka keluar dari pintu, “Argh!” Mulut Buce berteriak, ada rasa sakit yang ia belum sadari pada tubuh bagian mana letak sakitnya. Buce roboh. Tubuhnya ambruk dengan sebilah pisau menancap di punggung kirinya.
Melihat itu Syiffa panik. Kepanikannya mengundang perhatian warga.
Sebelum warga berdatangan, Buce masih sempat mendengar suara Codet berbisik, “Kau akan menjadi cucuk dalam daging untuk kekuasaanku di sini.” Setelah itu, Codet berkelebat pergi entah ke mana?
Satu hari sudah Buce terbaring di atas ranjang besi rumah sakit. Di sampingnya tampak Syiffa duduk membungkuk dengan menyandarkan keningnya di atas dua tumpuk lengannya pada besi pinggiran ranjang tempat suaminya dirawat.
Dia terlalu lelah, tetapi dia tetap bersikeras untuk mendampingi suaminya yang tengah sekarat.
Di tengah tidur lelahnya, sosok suaminya muncul dalam bentuk raga yang berselimut keteduhan. Bibir suaminya tersenyum dan hanya mengeluarkan suara “Sudah waktunya pulang!” Syiffa terperanjat dari tidur lelahnya.
Bersamaan dengan bangunnya Syiffa, Seorang perawat masuk ke dalam kamar tersebut untuk melakukan pengecekan rutin. Perawat tersebut memegang lingkar pergelangan lengan Buce, terlihat dia sedang mencari-cari lemah nadi. Tetapi tak ditemukan.
Kembali perawat tersebut memastikan dengan memeriksa detak jantung. Hasilnya membuatnya sampai pada satu kesimpulan.
“Bu, maaf. Suami ibu tidak selamat.” Perawat tersebut memberikan kabar buruk itu dengan intonasi nada seakan kematian bukanlah hal yang aneh baginya.
Syiffa menangis. Hatinya menyesali semuanya. Dan satu tekad bergema seiring dengan irama jantungnya yang berdetak cepat.
“Pulang!”