Bagian terberat dalam kehidupan saya dan juga keluarga adalah ketika kakak pertama saya memiliki tekad untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami yang berada di bawah garis pas-pasan.

Di antara saudara-saudara yang lain, dia memang yang paling sering menerima segala bentuk letih nyeri dan pahit getir dalam kehidupan keluarga kami. Kemudian, tanpa konfirmasi apa-apa, kakak saya pergi entah ke mana. Kepergiannya memang bukan tanpa sebab. 

Sebagai anak pertama yang membawahi enam adiknya, terlebih dia laki- laki, benar-benar membuat psikologisnya sangat terbebani. Dia ingin mengubah status keluarga dari tak berpunya menjadi serba ada.

Hanya saja, dia pergi tanpa memohon restu orang tua dan anggota keluarga lainnya. Seolah ingin memberikan pembuktian dengan kejutan kesuksesan, secara diam-diam, di akhir episode perantauannya.

Kami semua kehilangan. Ayah dan ibu sudah mencoba mencari di mana keberadaannya, tetapi hasilnya selalu mengecewakan. Berminggu, berbulan, dan pada hitungan bertahun-tahun kakak masih belum ada kabar beritanya.

Hingga akhirnya kami memasrahkan saja kepada takdir Tuhan. Kemudian, setelah dua tahun lebih dia menghilang, dia pulang dengan diantar nenek kami dari pihak ayah yang tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Tetapi dia datang dan pulang dengan kondisi yang tidak kami inginkan. Kakak pulang dengan membawa depresi berat sehingga jiwanya terguncang.

Ternyata selama kurang lebih dua tahun dia menghilang, dia pergi ke kota Pekan Baru, Riau. Dengan sedikit uang dan disertai segunung tekad, dia berangkat. Bersama seorang teman dari Pandeglang, kota kecil di Banten di mana kami tinggal dan menjadi tempat perantauan terakhir ayah dan ibu—kami dari Padang, Sumatera Barat—sebagai tempat mengadu nasib.

Tiba di Pekan Baru, dia dan temannya mendapatkan tawaran dari orang yang baru mereka kenal di sana. Orang tersebut mengatakan ada pekerjaan di sebuah perusahaan kayu. Mereka ikut dengan gembira. Kegembiraan mereka membutakan insting rasa curiga yang mereka punya.

Ternyata bukan perusahaan kayu, melainkan sebuah aktivitas penebangan liar, lokasinya jauh di kedalaman hutan rimba. Dan di sana sudah menunggu segudang kesulitan.

Tempat penebangan liar tersebut penuh dengan orang-orang yang bermasalah. Kebanyakan mereka bermasalah dengan hukum dan berlari ke dalam hutan tersebut untuk menghindari jerat penjara atas pelanggaran hukum yang sudah mereka lakukan. Dan di sana berlaku aturan, jika sudah masuk, maka tak lagi bisa keluar.

Sebagai orang baru dan juga minoritas, mereka di sana selalu menjadi korban penindasan alias bullying. Sering kali kakak dan temannya dipaksa berdiri di bawah pohon tinggi dan besar yang akan ditebang. Kemudian mereka harus berlari searah dengan jatuhnya pohon tersebut. Jika terlambat melewati tinggi pohon yang dirobohkan tersebut, maka mereka akan tertimpa pohon. Begitulah para pelaku perusak hutan tersebut mencari hiburan.

Memasuki pertengahan tahun pertama, teman seperjuangan kakak saya yang ikut mengadu nasib menderita penyakit biri-biri, sebuah penyakit berkepanjangan yang sangat tidak ideal di mana saja kita berada, terlebih lagi jika kita mengalaminya di tengah hutan. Tentu, dia ingin pulang.

Kemudian, karena kakak saya sangat kasihan kepadanya, dia menjaminkan dirinya dan meyakinkan kepada semua yang ada bahwa tempat itu tidak akan pernah bocor ke dunia luar dan meminta supaya temannya bisa pulang. Karena para pelaku penebangan liar itu tidak mau menampung orang sakit dalam waktu panjang, maka perjanjian itu pun disetujui.

Sejak saat itu, kakak saya berjuang sendirian di hutan belantara yang telah putus dengan kejadian luar tersebut. Tekanan demi tekanan datang dalam bentuk penindasan tak kenal ampun. Itu membuatnya depresi dan mulai mengalami gangguan kejiwaan. Dia mulai meracau dan gerakan tubuhnya sangat tidak terkendali di luar kesadaran. Itu terjadi memang tidak sepanjang waktu, tetapi terjadi pada jam-jam tertentu. 

Meski mereka menjalankan bisnis ilegal, tetapi mereka memiliki fasilitas kesehatan, dengan fasilitas seadanya dan juga dengan tenaga kesehatan yang entah bagaimana bisa mau bekerja untuk tempat tak resmi seperti itu.

Kemudian, pada saat kakak saya sedang kondisi tidak kambuh, dia dibawa ke fasilitas kesehatan untuk menjalani pemeriksaan dengan diantar (tepatnya dijaga) oleh dua orang seniornya. Ketika di dalam ruang pemeriksaan, kakak yang sedang dalam kondisi tidak kambuh alias sadar, melihat ada celah untuk bisa kabur dari tempat terkutuk itu.

Ketika dokter yang memeriksanya sedikit lengah, kakak melompat ke sebuah jendela kecil yang menjadi akses atau penghubung langsung dengan hutan belakang. Dia berhasil, kemudian berlari terus tanpa henti. Di belakangnya terdengar teriakan dua orang yang tadi mengawalnya agar kakak berhenti. Tetapi kakak saya tetap berlari tanpa arah maupun tujuan. Ia terus berlari, berusaha keluar dari sana entah ke mana pun itu.

Selama kurang lebih sekitar tiga bulan kakak terlunta di tengah belantara. Selama itu, ingatannya selalu hilang timbul. Selama itu dia hanya memakan dedaunan. Ketika kesadarannya muncul dia pergi ke arah yang dirasa olehnya menuju perkotaan. 

Karena pertolongan Sang Maha Kuasa, dengan segala proses yang sulit untuk dijelaskan dengan aksara apa pun, kakak tiba di rumah nenek di Kota Padang, Sumatera Barat. Kondisinya compang-camping, fisiknya tidak bisa dikenali karena terlalu banyak perubahan selama pelariannya dari belantara itu.

Singkat cerita, dia diantar ke Pandeglang. Kakak pulang. Tapi hanya fisiknya saja, tidak dengan jiwanya. Jiwanya masih membawa trauma ketika di hutan tempat di mana jiwanya terluka. Dia sering mengamuk karena tak sadar. Di sinilah cobaan terberat untuk keluarga yang kondisinya dari sisi ekonomi jauh dari kata berada.

Kakak harus diobati. Biayanya tidak murah. Serangan demi serangan datang dalam bentuk penderitaan. Kami sekeluarga kehilangan segala-galanya. Bahkan kami sempat menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Kami miskin, tetapi masih diberi cobaan yang rasanya seperti di luar kekuatan pundak kami untuk memikulnya.

Tetapi, akhirnya kami sadar, ini adalah bentuk ujian yang memang harus dihadapi. Pilihannya memang hanya itu. Kami pun menguatkan hati, ujian ini datang untuk membuat kami sadar agar lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan sampai pada batas yang tidak bisa diukur dengan bilangan angka apa pun.

Kami semua memperbaiki kualitas ibadah kami. Ayah mengingatkan, hanya ini yang bisa kita lakukan sebagai langkah awal. Tuhan pasti akan membantu hambanya. Ayah meyakinkan kami yang semuanya sedang terguncang.

Dan memang, pertolongan kemudian datang silih berganti dari tetangga-tetangga, kerabat , dan pihak lain yang bersimpati. Entah itu dalam bentuk materi maupun dorongan yang sifatnya menguatkan.

Dan, satu orang kenalan ayah menyarankan untuk membawa kakak saya ke Rumah Sakit Jiwa. Semua yang bersimpati siap membantu sesuai dengan kemampuan masing-masing. 

Ayah dan keluarga akhirnya setuju walaupun berat. Karena memiliki salah satu anggota keluarga yang harus menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa merupakan hal yang berat untuk diterima. 

Satu tahun kakak menjalani perawatan untuk memulihkan kembali kesehatan jiwanya. Seluruh orang-orang yang kami kenal benar-benar memberikan bantuan secara maksimal. Dan hasilnya sungguh luar biasa.

Kesehatan kakak pulih, dan bisa menjalani hidup sebagai kepala keluarga selang beberapa tahun setelah kejadian itu.

Kami mengambil hikmah, ketika cobaan atau ujian datang di luar kesanggupan kita, maka hal yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kualitas hubungan kita dengan Tuhan Sang Maha Pencipta, maka pertolongan akan datang dan semua persoalan kita akan teratasi.

Segala hal yang menimpa harus diterjemahkan sebagai bentuk ujian atau pengingat, dan juga sebagai jalan untuk meningkatkan apa yang disebut dengan derajat seseorang.

Karena setelah kejadian itu, segala hal yang kami impikan mulai terpenuhi. Kakak yang sempat mengalami musibah gangguan mental tersebut bisa melanjutkan hidup dengan menjadi pedagang yang lumayan berhasil. Kakak saya yang kedua menjadi Pegawai Negeri Sipil yang didapatnya secara murni.

Pun, begitu dengan kakak-kakak saya yang lain, satu persatu mulai memiliki penghasilan dan keadaan keluarga kami semakin membaik dari sisi ekonomi dan juga lainnya.

Semua karena kita berikhtiar sambil meningkatkan kembali kedekatan kita kepada Tuhan.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here