Sudah sekitar tiga jam aku berjalan memutari kota ini namun tak kutemukan seorangpun yang dapat kuajak bicara. Aku hanya menemukan suara riuh seperti ombak. Toko-toko masih buka, menu makanan terhidang di dalamnya, tapi aku hanya menemukan sosok-sosok mirip manusia tapi aku yakin mereka bukan manusia. Tak ubahnya mereka seperti gelas yang berbentuk manusia.
“Bagaimana? Apakah itu sebuah tempat yang menyenangkan?” Suara seorang laki-laki tua tiba-tiba membuatku merasa senang sekaligus penasaran dari mana asalnya.
“Hei, siapapun itu bisa mendengarkanku? Aku tidak tahu tempat apa ini?” tanyaku sambil menghadap ke atas.
Tidak ada jawaban. Aku mulai melanjutkan perjalanan.
Beberapa waktu kemudian aku menemukan sebuah kios koran. Aku mencoba membaca dengan harapan mendapatkan petunjuk sedang di mana aku ini. Sialnya aku tidak bisa membaca aksara itu. Sekalipun aku tidak pernah tahu jenis tulisan seperti itu. Apakah aku terlempar di planet lain? Atau di semesta lain? Atau aku sedang bermimpi? Atau ini neraka ya?
Aku mulai mengingat-ingat lagi apa yang terjadi sebelum aku terbangun dari tidur di depan toko makanan ringan. Tak ada ingatan. Semuanya terhapus begitu saja.
Aku lihat bajuku namun aku tak paham apa yang sedang kupakai. Aku tidak bisa mengenali warna yang ada di bajuku. Sepertinya ini adalah warna lain yang belum pernah aku lihat di manapun. Tidak ada jalan lain, aku harus terus berjalan sampai menemukan seseorang yang mengenalku.
Aku terus berjalan yang aku anggap itu arah utara, tapi aku sebenarnya tidak yakin itu arah utara. Ada hal lain yang kudapat di sini. Kini semua benda tidak berwarna. Tapi ini juga bukan warna putih, bukan juga hitam, tidak gelap, juga tidak terang. Aku tidak peduli, aku tetap berjalan.
Seketika kurasakan hembusan serupa angin menerpaku dari sisi kiri. Debu-debu yang ikut terbang membawa sensasi ingin bersin di hidungku. Gatal sekali. Aku sudah tak tahan. Aku lepaskan saja bersin itu.
Bersinku terjadi begitu kerasnya. Membuat badanku terpental dan aku mendapatkan sensasi buta sementara. Namun itu terjadi hanya beberapa detik. Perlahan penglihatanku berangsur kembali. Namun apa yang kulihat di sekitar semakin berbeda. Banyak binatang transparan melayang-layang bergerak seperti pinball melesat kesana kemari. Aku mencoba menyentuhnya tapi sepertinya agak lebih tinggi dari jangkauan tanganku.
Aku mulai merasakan degup jantungku, namun ini juga berbeda dari biasanya. Berbeda dari ketika aku sedang berlari pagi, berenang atau habis ditelfon ibu boss untuk segera menyetorkan deadline tulisan yang baru ditugaskan baru sehari sebelumnya. Degup jantungku kali ini lebih seperti hamburan benda-benda kecil bermacam warna yang setelah bergerak kencang, pada ketinggian tertentu perlahan melambat.
“Dia sepertinya tidak mengenali kita lagi pakne” suara seorang perempuan paruh baya kembali memancing perhatianku
Aku menoleh ke arah itu berharap menemukan sumber suara itu. Alih-alih sosok manusia, yang kulihat hanyalah buraian kabel-kabel rumit di tiang yang tingginya seperti menembus awan. Beberapa diantaranya putus dan memperlihatkan sisi dalamnya. Beberapa lagi membelit diantara lainnya. Aku melihat juluran kabel itu juga menyebar ke mana-mana dan ke segala arah menuju tiang-tiang berikutnya.
“Hei, kamu kan yang bicara tadi?” Aku benar-benar memaksakan diri berbicara kepada tiang penuh kabel walau itu janggal.
Hening.
Tidak ada jawaban seperti yang kuharapkan.
Aku mulai berpikir tentang hilangnya semua orang seperti di novel horor anak-anak Goosebumps karangan R.L. Stine yang pernah kubaca sewaktu kecil.
“Stine….! Apakah kamu tidak berbohong? Inikah dunia yang kau ceritakan?” teriakku dengan menengadah ke atas seolah aku tokoh yang sedang bertanya pada penulisnya.
Aku hanya mendengarkan pantulan suaraku seperti berteriak di dalam gua atau pegunungan batu. Namun sesekali aku mendengarkan klakson mobil dan beberapa bel mirip lagu-lagu di mainan anak-anak.
Aku mencoba istirahat di kursi taman tanpa kaki. Ya kursi itu melayang. Ketika aku duduk ada sensasi kenyal dan bergelombang seperti ada agar-agar di bawahnya. Aku menghentak-hentakkannya berharap agar bangku itu jatuh ke tanah, tapi tetap tidak bisa. Aku penasaran dan turun lagi dari bangku. Aku lambaikan tanganku berulang kali di bawah bangku tapi sungguh tak terasa apa-apa selain hembusan angin tipis. Sekali lagi aku hentakkan kursi dengan kedua tanganku dan kursi itu tak bergeming, tetap pada posisi awalnya.
Masih dalam kondisi membungkuk, tiba-tiba aku merasa ada sentuhan jari kecil di belakangku. Dengan gerak reflek aku menengok ke belakang. Namun apa yang kulihat sangat mengejutkan membuat aku terjengkang ke belakang.
“Siapa kamu?” Tanyaku sambil mengatur nafas yang perlahan mempercepat.
Mereka tidak menjawab dan hanya melihatku. Mereka adalah beberapa pasang mata melayang dan berkedip-kedip antara satu dengan lainnya. Mata itu hanya sebatas elips. Bagian lainnya seperti tertutup badan dengan efek transparan.
“Aku Minsa” balas dari salah satu dari pasang mata. Suara itu kuperkirakan adalah suara anak seumuran tujuh tahun.
“Hah, kau bisa mendengarku?” tanyaku heran sekaligus senang. Terlepas apapun bentuk mereka, setidaknya aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Harapanku ini adalah jalan keluar dari dunia aneh tidak berujung ini.
“Bisa, Kita kan punya telinga” balas Minsa disambut gelak tawa belasan pasang mata yang berkerumun di sekitarnya.
Aku sebenarnya ingin menanyakan mengapa mereka tidak mempunyai badan tapi aku urungkan.
“Bisa diterangkan, di manakah aku ini? Mengapa di sini tidak ada orang sepertiku?”
Tanyaku itu tak langsung dijawab dengan mereka. Mereka malah saling berpandangan dan akhirnya tertawa terbahak-bahak lagi.
“Ayo ikut saja dengan kita! kau pasti suka”
Aku tak punya pilihan lain. Aku hanya sedikit menganggukkan kepala dan dan mulai beranjak berdiri.
Seketika belasan pasang mata itu menghilang. Tapi mereka meninggalkan jejak kaki sepatu-sepatu kecil menuju ke arah gang yang membelah rumah susun ke arah tanah lapang.
Jejak-jejak kaki itu menuju sebuah sumur di tengah tanah lapang. Mereka berhenti di situ.
Aku melihat sumur itu sudah berlumut. Namun ketika aku menengok sumur itu seperti ada cahaya kecil di ujung dan berbau seperti roti yang baru keluar dari oven. Namun pemandanganku itu hanya sekejap. Dinding-dinding sumur itu berubah dari himpunan-himpunan angka berwarna hijau yang berubah-ubah seiring pergeseran matriksnya. Aroma roti perlahan menjadi aroma mainan plastik elektronik baru.
“Tempat apa ini?” Tanyaku
“Kamu pernah nonton Doraemon kan?” Tanya Minsa balik
“Ya. Itu kartun favoritku ketika aku seumuranmu”
“Bagus. Jadi ini seperti pintu ajaib Doraemon. Hanya saja ini bentuknya sumur”
Firasatku jadi buruk. Aku menebak mereka ingin aku lompat memasuki sumur itu
“Yak itu benar!”
“Aaapaaa?”
“Seperti yang pikiranmu bilang tadi. Kami mengajakmu melompat ke dalam sumur” jawab mereka seolah bisa membaca pikiranku.
“Tidak! Kalian yang duluan!” Suruhku
“Oke… yuk teman-teman kita masuk duluan!”
“Ayoooo!” Jawab mereka semua dengan gembira diiringi gelak tawa
“Tapi kita akan menuju ke mana?”
“Ikutlah! Kau akan tahu nanti!” jawab Minsa
Satu per satu jejak sepatu itu menggambarkan berlari ke arah sumur dan diakhiri dengan teriakan panjang di dalam sumur. Dinding sumur itu juga seperti mempunyai sensor ketika ada benda jatuh yang melewatinya dengan perubahan warna sehingga bisa terlihat sampai sejauh mana anak-anak itu jatuh. Tidak ada suara byur khas letupan air atau apapun. Sepertinya sumur itu tidak berdasar.
Tak ada suara lagi. Sepertinya semua anak termasuk minsa sudah melompat. Aku mau melompat. Kunaikkan satu kakiku ke bibir sumur sambil melihat ke dalam sumur. Aku menarik nafas menghimpun keberanianku. Keringatku mulai bercucuran. Aku tidak pernah mempunyai pengalaman melompat dari ketinggian melebihi dua meter.
Sejenak aku alihkan perhatian melihat sekeliling lapangan. Aku melihat bangunan-bangunan yang awalnya mengelilingi lapangan bergerak menghimpit lapangan dan beberapa meter lagi akan menghempasku dan sumur menjadi kepingan-kepingan kecil. Suara deru itu semakin mendekat. Ketika bangunan-bangunan tinggi itu sudah berjarak lima meter, kupejamkan mataku dan akupun melompat ke dalam sumur. Masih kudengar dentuman keras di atas sesaat setelah aku melompat.
“Aaaaaaa…..” aku secara refleks berteriak karena sumur itu seperti tak berujung dan kecepatan jatuhku semakin kencang.
Jika dasar sumur itu adalah bebatuan, aku akan hancur berkeping-keping, jikapun air maka akan terjadi hempasan keras dan itu pasti menyakitkan.
Setelah mungkin hampir satu menit aku seperti melayang di ruang angkasa. Batu-batu meteor beterbangan dan beberapa planet tampak lebih besar. Beberapa komet juga melintas. Aku juga melihat pesawat ruang angkasa mulai memadati area ini. Aku tidak tahu apakah di dalamnya ada orang-orang yang bisa kuajak berbicara?
Aku mencoba bergerak ke segala arah dengan gerakan seperti berenang tapi tak ada sensasi dingin atau pun tak bisa bernafas seperti di dalam air. Akupun juga bisa berjalan terbalik. Ketika aku meludah, ludahku juga meluncur ke depan lurus melaju tanpa henti.
Aku mulai mendekati sebuah pesawat ruang angkasa berbentuk silinder dengan kedua lempeng sayap kubus di kiri dan kanannya seperti yang ada di dalam buku pelajaran IPA di SMP dulu. Seketika aku teringat kosmolog Isaac Asimov, profesor biokimia dan penulis dari Amerika yang sering membuat buku-buku cerita bergenre ruang angkasa.
Seketika aku merasakan sebuah lengan yang memiting leherku dan menarikku ke atas. Saking kerasnya cekikan itu, aku sejenak kehilangan kesadaran.
***
Setelah beberapa tarikan dari orang-orang di bibir sumur menggunakan tali tampar berdiameter sebesar ibu jari orang dewasa, Kifra berhasil menarik tubuh Sandi ke bibir sumur. Kifrapun segera menelentangkan tubuh Sandi di lantai pinggir sumur dan segera dirubung oleh orang-orang sekampung yang sejak tadi ingin melihat upaya penyelamatan itu.
“Gimana-gimana? Apakah Sandi masih sadar?” Tanya Bu Gito
“Naak, kok pake acara lompat-lompat sumur segala to?” Bu Ratri, ibunya Sandi menghampiri dan memeluk anaknya yang masih basah kuyup.
Sandi masih sadar dan memuntahkan beberapa air sambil terbatuk-batuk dan nafasnya tersengal-sengal.
“Bentar buk bentar. Huk… huk… hoek… aku tidak apa-apa kok” jawab sandi sambil mencoba bangkit dan merangkak mendekati sumur lagi.
Setelah berhasil mendekati dinding sumur ia bersandar. Setelah berusaha bangkit, ia mencoba kembali masuk sumur. Sontak semua orang yang ada di situ termasuk Kifra, Jamal, Ade, Bu Gito, dan Bu Ratri sontak menarik lagi tubuh Sandi ke belakang. Kekuatan tarikan lima orang itu membuat Sandi terjengkang keras ke belakang. Lima orang yang menariknya pun juga terjatuh sambil tetap memegangi baju Sandi yang masih basah kuyup.
“Bentar bu bentar, lepaskan aku..!” rengek Sandi sambil berusaha masuk lagi ke sumur
“Hei Nak, ini orang-orang udah susah-susah nolongin kamu keluar dari sumur kok mau masuk sumur lagi?” tanya Bu Ratri heran.
“Ada yang ketinggalan bu di dalam sumur”
“Apa…?!” tanya orang-orang serempak di situ
“Sandalku. Bentar kuambilkan dulu”
“Wes ora nak ayo kita pulang!”
Tak lama setelah dimandikan di rumah dan berganti baju, Sandi dijemput mobil ambulan dan diantar ke RSJ Sehat Sentosa. Sepanjang perjalanan, Sandi menggambar sumur di sebuah kertas. Sesampainya di halaman rumah sakit, Sandi melipat dan menyisipkan gambar tersebut di saku kemejanya. Sambil turun dari ambulans dengan dipapah ibunya dan seorang petugas kesehatan jiwa, ia tersenyum karena yakin akan menemukan sumur baru lagi di rumah sakit tempat ia akan dirawat inap dalam beberapa waktu ke depan.