Bujang tidak mengerti kenapa satu batang rokok begitu nikmat kala disulut disaat pikiran mulai kusut. Rasanya kepulan asap yang berbaur di udara membawa pergi semua kerumitan di dalam kepala. Bujang juga tidak mengerti kenapa hatinya bisa begitu terluka melihat bapak yang pontang-panting mencari ibu. Hatinya merasa teriris melihat bapak pergi pagi, lalu hilang selama tiga hari karena yang dicari tidak kunjung ditemui. Sudah berkali-kali Bujang katakan pada bapak bahwa wanita yang dia cari sudah tidur dengan tenang belasan tahun silam.
Namun mau sekeras apa pun Bujang berkata ibu telah mati, bapak tidak pernah mau mengerti. Pria tua yang Bujang yakini akan segera mati itu terus menangis di sudut ruangan sembari menarik kuat rambut putihnya kala tidak berhasil menemukan ibu. Tak ayal Bujang menjadi bahan amukan dan dituduh telah menyembunyikan ibu dari bapak. Dia bisa jadi sasaran empuk kemarahan bapak atas kehilangan yang begitu dia sesali.
Kesetiaan bapak patut diacungi jempol. Bapak tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Namun sayang sekali, kesetiaan bapak tidak berarti apa-apa di mata Bujang. Pria tua yang sedang mondar-mandir di halaman itu setia disaat ibu telah tiada. Dia terlambat menjadikan ibu cinta sehidup sematinya. Sebab disaat ibu masih duduk di ujung teras, bapak pulang membawa amarah besar yang berakhir dengan menyakiti ibu secara terang-terangan di hadapan Bujang. Lalu di hari selanjutnya ketahuan menikah lagi dengan cinta pertamanya tanpa restu dari ibu. Disaat itu, ibu baik-baik saja. Justru Bujang yang merasa terluka dan berkali-kali bertekad ingin menikam leher bapak menggunakan pisau tumpul di meja dapur.
Namun tekad itu tidak pernah terwujud. Ibu tidak ingin Bujang menjadi pembunuh. Terlebih lagi membunuh bapaknya sendiri. Bagaimanapun, manusia bukan makhluk yang benar-benar sempurna. Pasti ada kekhilafan yang menyertai langkahnya. Namun bagi Bujang, kekhilafan bapak tidak bisa dimaafkan. Meski begitu, mau sekuat apa pun Bujang membenci bapak, dia tetap khawatir melihat bapak melukai dirinya sendiri. Dia ingin membunuh bapak, tapi dia tidak pernah mau melihat bapak memotong urat nadinya dengan tangannya sendiri.
Jujur saja, Bujang lelah mengurus bapak. Di beberapa masa, Bujang senang bapak hilang selama tiga hari, tapi di masa yang lain Bujang risau bapak tidak kembali. Dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang dia pikirkan. Bujang tidak ingin melihat pria tua itu tapi tidak juga ingin dia enyah dari bumi.
“Ke mana ibu mu, Bujang? Kenapa aku tidak melihatnya saat bangun?” Pria itu melangkah menghampiri Bujang yang berdiri di depan pintu masuk.
“Tidak ada,” sahut Bujang.
Kening bapak berkerut penuh tanya. “Ke mana dia? Kenapa dia selalu meninggalkan aku tanpa kabar?”
Bujang terkekeh miris. Bapak tidak pernah sadar bahwa yang selalu meninggalkan ibu tanpa kabar adalah dirinya. ”Karena ibu benci bapak.”
Kepalanya menggeleng cepat, membantah kalimat Bujang. “Tidak! Ibu mu tidak pernah membenci aku.”
“Dia benci bapak!” tekan Bujang, muak. Semua sikap bapak yang selalu menganggap ibu masih ada membuat Bujang terluka. Dia tidak pernah bisa sembuh dari lukanya karena bapak. Semua usahanya untuk melupakan ibu tidak berarti karena setiap hari bapak menganggap ibu masih ada.
“Tidak! Ibu mu sangat mencintai aku, Bujang,” ucapnya dengan air mata berlinang.
Bujang menggeleng tegas. “Perlu bapak ingat, ibu tidak pernah mencintai bapak. Dan perlu bapak tahu, ibu pergi karena bapak. Ibu telah mati dan semuanya karena bapak! Bapak yang membuat ibu pergi, meninggalkan aku!”
Tubuh bapak melemas. Dia jatuh bersimpuh di hadapan Bujang seraya memegangi dadanya. Bujang tahu, rasanya pasti sakit. Sesaknya meminta Bujang pergi menyusul ibu. Seharusnya sejak awal bapak perlu merasakan sakit yang Bujang rasakan. Mereka seharusnya sakit bersama-sama, bukan hanya Bujang seorang.
“Dia telah mati… wanitaku telah mati…” Bapak terisak di depan Bujang. Menarik rambutnya, memukul kepalanya dan meraung penuh luka.
Obsidian Bujang yang telah lama redup turut berembun. Bapak seperti itu karena tak kuat menampung lukanya. Bapak juga menyesal dan memilih menganggap ibu masih ada. Mungkin dia jauh lebih terluka karena telah menyia-nyiakan ibu semasa hidupnya. Namun dia mesti tahu bahwa apa yang dia lakukan saat ini tidak akan mampu membuatnya terlihat baik di mata Bujang. Bapak akan tetap menjadi bapak Bujang. Namun maaf, Bujang tidak akan pernah bisa memaafkan semua perlakuan bapak terhadap ibu.
“Wanitaku… Bujang…” Mata basahnya menatap Bujang. Sembari terus memukul kepalanya, dia berkata lagi. “Bawa aku pada wanitaku..”
“BAWA AKU PADA WANITAKU, BUJANG!”
Dia… mulai lagi.
***
Pria itu meninggalkan rumah usai menangisi wanitanya yang telah mati. Mungkin pergi ke makam ibu untuk bercerita panjang lebar atau duduk sendirian di ladang yang kerap ibu garap. Sampai sekarang, bapak belum kembali. Bujang tidak punya niatan untuk mencari sebab di waktu sebelumnya bapak akan kembali dengan sendirinya meski sudah tiga hari. Bujang yakin pria itu akan pulang dan berlagak seperti kepala keluarga yang pulang dari tempat bekerja. Tunggu saja, nanti siang pintu depan juga diketuk. Kemudian dia bertanya, Ke mana ibu mu, Bujang? Kenapa dia pergi tanpa memberiku kabar?
Bujang beranjak turun dari ranjang. Membawa pisau tumpul milik ibu yang tadi malam dia ambil dari dapur. Bukan hanya bapak yang ingin menyusul ibu. Bujang juga. Berkali-kali ingin menusuk lehernya menggunakan pisau, tapi tak kunjung jadi. Tidak ada yang benar-benar berniat ingin mati. Mereka yang kini ingin menggantung diri atau memotong urat nadi hanya sedang putus asa ditinggal pergi. Memang benar, Bujang hanya putus asa. Kalau saja dia betulan ingin mati, tentu pisau yang dia gunakan bukan pisau tumpul.
Terkadang, manusia hanya butuh penyembuhan untuk rasa sakitnya. Bujang butuh seseorang yang bisa menenangkannya. Bujang butuh rangkulan, butuh pelukan. Namun sayang, satu-satunya yang bisa melakukan hal itu turut sakit. Justru Bujang yang harus merangkulnya.
Pintu depan diketuk bertepatan ketika Bujang hendak melangkah ke dapur. Meski belum siang, Bujang sedikit bersyukur bapak telah pulang. Dia bergegas menuju pintu setelah menyembunyikan pisaunya di balik sofa.
Di depan pintu yang terbuka, Bujang terpaku. Bapak betulan pulang, tapi dia tidak pulang sendirian. Tidak juga menggunakan kakinya sendiri. Ada empat orang warga yang membawa bapak menggunakan tandu. Bujang terdiam. Semilir angin menerbangkan rambutnya yang kian memanjang, membelai pandangan mata yang tak bertujuan
“Bapak mu ditemukan tidak bernyawa di makam ibu mu, Jang.”
Bujang tidak mendengarnya.
“Tubuhnya masih hangat. Mungkin meninggalnya belum lama.”
Bujang masih tak mendengarnya.
“Kami menemukan pisau ini di tangannya.”
Bujang menunduk, menatap pisau berdarah tersebut. Itu pisau milik ibu. Rupanya bapak salah mengambil pisau karena pisau tumpul telah Bujang sembunyikan.
Bujang terkekeh pelan. Dia menunduk, membawa jatuh kristal dari sudut matanya. “Dia menemui wanitanya dengan caranya sendiri.”