Perburuan Uang Gaib dan Surga dari Ibu
Perburuan Uang Gaib dan Surga dari Ibu

Di ujung malam yang berkarat, dua sosok berjalan di atas aspal jalan raya yang masih sepi.

“Kita akan ke mana, Bu?” Anak perempuan berjaket biru tua itu bertanya pada ibunya.

“Kita akan ke suatu tempat,” Sang ibu, yang juga mengenakan jaket berwarna sama, menjawab tanpa melirik pada anaknya itu.

“Tapi sekarang sudah malam. Rara takut.”

Ranti, ibu si anak tersebut tidak menjawab. Karena dia sendiri sama takutnya. Tetapi dengan rasa takut yang berbeda.

Hanya saja, sudah waktunya mereka pergi. Sudah lima belas hari mereka menumpang di kontrakan petak teman ibu anak tersebut, dan sore tadi Ranti sudah didatangi oleh pemilik kontrakan.

“Di sini ibu sama anak ibu menumpang?!” sosok berbadan gemuk dengan kerudung panjang dan lebar itu bertanya tanpa basa-basi pada Ranti.

“Sampai kapan ibu sama anak ibu akan di sini?” pemilik kontrakan tersebut sudah melancarkan pertanyaan lanjutan bahkan ketika Ranti belum membuka mulut untuk menjawab pertanyaan yang pertama.

“Kami…” Ranti mencoba menjawab. Tetapi ibu tersebut sudah mengokang kembali mulutnya. Ranti merasa diberondong peluru dalam bentuk verbal.

“Ibu sudah cukup lama dengan anak ibu di sini. Ini akan menambah biaya saya sebagai pemilik untuk urusan sedot wc, karena jika ibu dan anak ibu buang air besar di sini, artinya penumpukan kotoran di septik tank akan cepat penuh. Biaya sedot wc tidak murah, Bu!” Ranti hanya bisa diam.

Yang saat itu Ranti sesalkan adalah, si pemilik menanyakan hal ini ketika Maya, sahabat yang dia tumpangi ini sedang di tempat kerja, maka dia sangat kesulitan untuk menjelaskan semuanya.

“Di mana Ayah, Bu?” Pertanyaan itu menyadarkan kembali Ranti pada gigilnya angin malam itu. “Apakah Ayah baik-baik saja?” anaknya yang masih usia tujuh tahun itu masih bertanya.

“Tentu saja Ayah baik-baik saja, sayang.” Ah, sebenarnya tidak. Suaminya sedang sangat tidak baik-baik saja. Sebelumnya memang baik-baik saja. Tetapi sejak satu tahun belakangan ini, sejak dia bertemu dengan teman semasa SMPnya. Suaminya jadi tolol secara utuh. 

Selasa sore itu, Suaminya pulang dengan wajah cerah dari pasar tempat dia berjualan sembako menjelang sore. Dia bercerita bahwa dirinya bertemu dengan teman sekelasnya di sekolah SMP dahulu. Temannya jauh berubah. Hampir tidak bisa dikenali. 

Jika saja suaminya tak melihat cacat tangan kiri si teman tersebut, dia mungkin tak akan pernah ingat siapa laki-laki berambut panjang sebahu, pakaian serba hitam dengan kalung tasbih sebesar bola ping-pong menjuntai melingkari lehernya. Ditambah dagu, bawah hidung, hingga wilayah pipi ditumbuhi bulu-bulu lebat. Dan bibirnya selalu mengepulkan asap rokok tanpa henti.

Suaminya bercerita, dalam pertemuan tersebut mereka mengobrol cukup lama. Hingga akhirnya ketika temannya akan pulang, teman tersebut memberikan sebuah gulungan  yang terbuat dari kain hitam. Ternyata ketika dibentangkan, isinya terdapat tulisan yang suaminya sendiri tidak tahu maknanya. 

“Ini untuk pengasihan. Jualanmu akan lebih laris lagi dengan menempelkan ini di atas dinding toko sembakomu yang menghadap ke arah barat,” temannya berbicara dengan sangat meyakinkan.

Suaminya yang sedikit bodoh namun memiliki kelebihan dengan sifatnya yang suka kerja keras itu benar-benar seperti terhipnotis. Ranti sudah mengingatkan bahwa jualan sembako milik suaminya itu sudah sangat sukses, tak perlu lagi ditempeli hal-hal tak masuk akal itu. Kekayaan mereka sudah cukup di rumah besar yang mereka miliki sekarang ini dari hasil usaha tersebut.

“Ini gratis, tak ada ruginya kita coba!” suaminya menjawab dan Ranti hanya bisa membiarkan suaminya bergembira dengan kebodohannya. Dan setiap harinya suami Ranti selalu pulang dengan antusias karena setiap hari, temannya itu selalu datang dan banyak mendiskusikan hal-hal aneh, yang bagi Ranti merupakan hal-hal bodoh.

Kemudian, setelah satu bulan pertemuan sahabat lama itu, suami Ranti pamit dari rumah, ia akan pergi sekitar satu pekan. Urusan usaha sembako sementara akan diurus oleh salah satu karyawan yang baru kemarin diangkat menjadi kepala toko.

Ranti tak kuasa menolak kepergian suaminya, karena orang bodoh yang sedang memiliki obsesi adalah orang yang sangat berbahaya. Jadi dia membiarkan saja. Dan dia pun yakin jika pamitnya sang suaminya itu tidak jauh dari hal-hal klenik yang sedang dia gandrungi belakangan ini.

Ternyata benar. Ranti bertanya kepada si karyawan yang baru diangkat jadi kepala toko ketika dengan sengaja datang ke sana. Suaminya sedang berburu uang gaib, letaknya di sebuah pesisir pantai yang Ranti tak memiliki keinginan sama sekali untuk menyusulnya ke sana. 

Satu pekan berikutnya suaminya pulang dengan wajah yang sangat kurang tidur. Dan Ranti tahu wajah itu bukan saja kurang tidur, tapi wajah yang mengalami kegagalan. Ranti berpikir semoga suaminya kapok, tetapi ternyata tidak.

Suaminya menjelaskan bahwa perburuan uang gaib kemarin gagal karena jumlah persyaratan yang dibawa masih kurang. Itu artinya, suaminya harus menambah dana sebesar tiga ratus juta rupiah lagi untuk membeli persyaratan pelengkapnya.

Ranti mengatakan kepada suaminya agar menghentikan hal itu. Tetapi tidak. Kegagalan yang kedua kalinya masih menyisakan ruang kebodohan pada akal suaminya. Yang tidak tersisa adalah tabungan mereka yang ludes dalam hitungan singkat. 

Suaminya semakin kalap. Dia mengajukan pinjaman dalam jumlah besar untuk perburuan uang yang tak masuk akal itu. Masalahnya, lembaga yang dia pakai untuk meminjam bukanlah lembaga yang resmi. Bunganya sangat tinggi dan yang dia jaminkan adalah rumah besar dan juga toko sembako.

Tetapi saat itu suaminya sangat yakin bahwa untuk kali ini dia akan mendapatkan jumlah berlipat-lipat, sebagaimana juga Ranti yang sangat yakin bahwa suaminya itu hanya korban penipuan teman dukun sialan itu.

Dan ternyata Ranti benar. Ritual penarikan uang itu kembali gagal, utang pun menumpuk. Suaminya tak sanggup melunasi utangnya. Rumah atau pun toko sembakonya jatuh kepada pihak lintah darat itu untuk menutupi utang tersebut. Tetapi ternyata di luar sepengetahuan Ranti, utangnya tidak hanya pada satu lembaga keuangan. Masih ada dua lembaga lagi. Teror demi teror dari para penagih terus menghantuinya. Dia sangat mengkhawatirkan dirinya dan juga Rara.

Kekayaan mereka habis. Hasil dari perburuan uang gaib tersebut tak menghasilkan apa-apa selain kemiskinan. Dan suami Ranti malah melengkapi nalar bodohnya dengan mengikuti temannya itu ke padepokan temannya untuk menggali lebih dalam ilmu-ilmu di luar akal tersebut. Suaminya menjadi murid temannya itu dan meninggalkan mereka.

Sejak itu, hari-hari jadi semakin berat. Cemoohan dari orang sekitar karena kejatuhan finansial ini benar-benar menjadi alasan bagi siapa saja untuk memberikan hinaan. Dan semuanya diperparah dengan keluarganya yang sama sekali tak membantu. Semuanya benar-benar buntu.

Beruntung, Maya, sahabat semasa remajanya dulu mau memberikan tumpangan untuk tinggal bahkan menanggung makan Ranti dan anaknya sejak belakangan ini. Tetapi, tekanan demi tekanan kehidupan ini membawanya pada satu keputusan.

“Masih jauh, Bu?” Rara kembali bertanya dengan suara bergetar karena dingin dan sengal napas tak beraturan, efek dari jalan kaki sejak tadi.

“Tidak, kita sudah sampai. Cuma tinggal naik ke atas sana,” Ranti menjawab sambil menunjuk jembatan penyeberangan di depan mereka.

“Di atas ada apa, Bu?” sambil melangkah mengikuti ibunya, Rara kembali bertanya.

“Ibu akan antar Rara ke surga.” Ranti menjawab setelah mereka sampai di atas, “Hanya kita berdua? Apakah Ayah akan menyusul?” suara polos Rara terus bertanya dengan sedikit nada riang ketika mendengar kata surga.

“Tidak, hanya Rara saja!” Ranti mulai merasakan sesak di dadanya yang disusul suara isak yang tertahan.

“Lantas Ibu akan ke mana? Kenapa tidak menemani Rara di surga?” 

“Karena, supaya Rara mencapai surga, Ibu harus berada di neraka, Sayang.” 

Ranti menenggelamkan Rara dalam dekapan paling erat yang belum pernah dia berikan sebelumnya. Sementara  Rara masih tenggelam dalam kepolosannya, Ranti menjulurkan lehernya dan menatap ke bawah. Tampak olehnya aspal jalanan masih sepi tanpa kendaraan.

Tenggorokannya tercekat. “Maafkan ibu, Nak,” suaranya lirih berucap sambil menciumi ubun-ubun kepala anak satu-satunya itu.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here