Tembang Putus-Putus
Tembang Putus-Putus

Ibu kerap berkata agar aku berhati-hati. Jendela kamar yang mudah dibobol jangan lupa dikunci. Pintu kamarku yang rapuh jangan lupa diberi palang. Jangan keluar kamar lewat dari  jam sepuluh. Jangan penasaran dengan suara berisik yang terdengar dari  luar kamar. Jangan menegur ibu saat tembang kenangan favorit mulai membentuk harmonisasi indah dari suaranya.

Aku selalu patuh pada perintah dan larangan ibu. Tidak sekalipun aku berniat melanggar atau membayar rasa penasaranku. Seperti malam ini, teriakan ibu kembali terdengar. Teriakan yang selalu muncul saat aku sudah berada di kamar, saat seorang pria tua yang ku yakini sebagai tamu kembali datang.

Aku menutup telinga rapat-rapat. Seperti malam sebelumnya, malam ini nyawa ibu juga seolah akan terangkat. Apa yang terjadi pada ibu? Kenapa dia selalu merasa akan mati saat aku telah bersembunyi di balik pintu kamarku?

Huh, mungkin hal itu akan selamanya jadi rahasia hingga salah satu diantara kami terkubur lebih dulu.

“Akasia! Ayo sarapan! Ada bubur kacang hijau!”

Pagi datang begitu cepat. Pikirku masih berada pada tengah malam menyakitkan itu, tapi ternyata aku baru saja tidur dengan nyenyak di bawah kolong tempat tidur. Aku juga tidak tau kenapa bisa berakhir di sana karena seingatku, aku tidur di atas tempat tidur.

Mungkin aku berpindah dalam tidurku. Tidak penting juga. 

“Silahkan makan, Sia. Aku baru saja membeli bubur kacang hijau dan gorengan.”

Wanita paruh baya itu tersenyum begitu ringan seakan teriakan menyakitkan itu bukan berasal darinya. Tidak ada luka mengerikan di wajah, leher atau anggota tubuhnya yang lain. Dia tampak sehat. Semakin sehat karena sedang menghitung segepok uang.

Aku menarik kursi, duduk di hadapan ibu yang sedang dilingkupi rasa bahagia. “Dapat uang dari mana, bu?”

Kami bukan orang kaya. Ibu bukan pengusaha. Aku sangsi dengan uang yang bertumpuk-tumpuk itu. 

“Hasil jual ginjal,” jawabnya enteng. 

“Jangan bercanda, bu,” kataku. Bagaimana bisa orang yang baru saja jual ginjal bisa sesantai itu? Aku tentu saja tidak percaya.

Ibu berhenti menghitung uangnya. Menatapku, lalu sejurus kemudian mengangkat bajunya tinggi-tinggi. Aku terkejut melihat ada bekas jahitan memanjang di perut bagian kanannya. Jahitan yang tampak masih baru. 

“Ibu gila?!” Aku berseru tidak percaya. 

“Kamu lupa? Aku kan memang  gil—”

“Apa sih rencana ibu sampai menjual ginjal segala? Mau mati ya? Mau meninggalkanku?” Aku langsung menggebu. Aku tau ibu gila, tapi kegilaannya kali ini turut menguras kewarasanku. Sudah cukup dengan tembang yang tiba-tiba berganti dengan teriakan pencabutan nyawa, jangan dengan aksi jual organ tubuh.

Bukannya merasa bersalah, dia justru tertawa lebar. 

“Jangan marah-marah. Ini aku lakukan untukmu. Bukannya kita akan pindah ke rumah baru, hidup normal dan bahagia. Masa lupa?”

Aku frustasi. “Iya! Tapi tidak dengan cara seperti ini. Mending melarat sampai mati saja kalau begitu.” Sumpah, aku sangat jengkel.

Seharusnya dia meminta maaf, bukan tertawa semakin lebar. 

“Terserah deh. Jangan memanggilku jika napasmu mulai putus-putus!” Aku beranjak dari sana dengan perasaan sangat kesal. Aku khawatir, tapi wanita itu menganggapnya sebagai lelucon.  

“Oh iya, nanti malam tidurlah pukul 9, jangan keluar kamar sampai pagi, tutup telingamu rapat-rapat,” katanya. “Dan jangan lupa kunci semua yang bisa dikunci.”

Aku mendengkus. “Mau berlatih mati lagi?”

Ibu menggeleng polos. “Aku ada tamu. Tamu terakhir. Aku janji, besok pagi kita pindah ke tempat baru.”

“Iya.” Aku menyahut malas. “Tapi kenapa aku harus tidur secepat itu?! Aku masih harus makan malam. Ibu lupa kalau jam makan malamku itu pukul sembilan?”

“Itu demi kebaikanmu.”

Aku tidak ingin mendebatnya lagi dan memilih memasuki kamar.

 

***

 

Pukul sembilan malam aku terkurung di dalam kamar. Sayup-sayup tembang kebanggaan ibu terdengar memenuhi rumah. Tembang itu mengalun mulus, menyapa telingaku dengan lembut. Ku akui ibu mahir bernyanyi tapi sayangnya dia lebih memilih bekerja tidak jelas ketimbang jadi penyanyi. Katanya dia takut digoda suami orang lalu mati mengenaskan karena rasa cemburu wanita lain.

Wanita aneh. Aku tidak percaya bisa hidup dengan baik bersama wanita setengah sinting.

Bosan karena belum memasuki jam tidur, aku memutuskan membongkar lemari pakaian. Tadi siang aku melihat ibu menyelipkan koper kuno di bawah tumpukan baju lusuhku. Aku penasaran dengan isinya dan memutuskan untuk menarik koper itu keluar. Wanita itu tidak akan tau karena dia sibuk menunggu tamunya.

Mataku membola begitu koper itu terbuka. Setumpuk uang menjadi hal pertama yang disapu netraku. Uang yang kuduga hasil jual ginjal ibu. Lalu dibawahnya ada tiga emas batangan asli. Satu buku tabungan yang ketika dibuka, aku semakin tidak percaya.

Dimana ibuku ini bekerja? Apakah dia pemilik kartel dan pura-pura jadi orang miskin? Kekayaan yang ku lihat rasanya mustahil dimiliki oleh wanita yang kerjaannya berteriak dan bernyanyi.

Ku telusuri lebih dalam koper itu. Sebuah kertas dan kunci ku temukan di bagian paling bawah. Disembunyikan di bawah selendang merah. Apa ini surat tanah atau surat wasiat?

Di luar dugaan, itu bukan surat tanah ataupun surat wasiat. Itu adalah akta kelahiranku. Sudah begitu lusuh. Bukan lusuh dan kumuhnya yang membuatku tercengang, tetapi nama kedua orang tuaku yang tertera di sana.

Aku memejamkan mata. Rosalina dan Bakri bukan nama ibu dan ayahku. Jadi, maksudnya aku bukan anak kandung ibu?

Fakta macam apa ini? Aku merasa sesak dan merobek akta itu. Aku anak ibu. Akta ini pasti palsu.

“BAWA AKU SAJA! ANAKKU TIDAK ADA! DIA TIDAK ADA DI SINI!”

Aku tersentak mendengar teriakan ibu. Ah, ini teriakan yang berbeda dengan malam sebelumnya. Ibu tidak pernah berteriak seperti ini.

“ANAKKU TIDAK ADA, SIALAN! KAU TIDAK AKAN MENEMUKANNYA SEKALIPUN KAU MENGANCAMKU DENGAN PARANG BERKARATMU!”

Terdengar keributan di luar kamar. Seperti kursi terbang, vas pecah dan pukulan.

Aku memilih menyimpan kembali isi koper dan menyumpalkannya secara asal ke dalam lemari. Lalu berjalan mendekati pintu kamar, berdiri di sana cukup lama. Teriakan penuh makian dari ibu masih bersahut-sahutan dengan teriakan murka seorang pria. Ibu berkali-kali memekik.

Ragu menguasai diriku. Ibu melarangku keluar kamar. Larangan adalah perintah yang mesti dipatuhi. Namun siapa yang bisa tenang mendengar ibunya berteriak penuh kesakitan? Aku harus keluar, melihat jenis perang apa yang sedang dilakoni dua manusia dewasa di luar sana.

Kudorong pintu yang berderit itu. Ku tatapi seluruh penjuru ruangan. Tidak ada lagi teriakan. Tidak ada lagi suara perang. Tidak ada lagi amarah dan makian. Sunyi menyambut langkahku.

Ini aku yang gila atau mereka saja yang sudah berdamai?

Aku lanjut melangkah. Sayup-sayup tembang favorit kembali terdengar. Ah, sakit. Tinggal di rumah ini adalah penyakit.

Biarkan aku pergi..”

“Menyu—suri jalan berliku..”

“Wa—lau sakit kurasakan..”

“Ta—npa.. cin—ta..”

“IBU?!” Aku menutup mulut dengan pekikan kala melihat ibu terduduk di sofa dengan leher penuh darah. Dia terkulai, tapi masih bisa melihatku. Lalu, kenapa dia masih bernyanyi disaat napasnya sudah putus-putus?!

La—gi..”

Matanya melirikku. “A—ku… b—ukan, ibu  mu..”

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here