Entah sudah berapa lama Agnes memandangi selembar foto berwarna hitam putih yang sedang ia bawa. Dalam foto lusuh dengan tepian yang sudah menguning itu, terlihat sosok pria berseragam nahkoda sedang menggendong seorang bayi. Agnes membalik foto tersebut, tulisan “Alor, 3 Oktober 90’ – Theodorus Doe & Agnesia Doe”, tertera di belakangnya. Mungkin itulah harta karun paling berharga yang ia miliki. Satu-satunya foto kenangan tentang papa Agnes, Theo Doe. Agnes melamun, matanya tertuju pada tulisan besar Runa Bahari, di badan kapal. Ia kembali bersandar di tiang samping dermaga pelabuhan Kalabahi.
“Nona! jadi ikut kah?” Agnes dikejutkan suara kelasi berwajah pucat dari atas kapal, ia mendongak, matanya silau oleh cahaya lampu.
“Eh, sabar Kakak,” jawabnya sambil memasukkan foto tadi ke dalam plastik yang disisipkan pada casing ponselnya.
“Aih, ya sudah, kami mo pigi sekarang!” ujar kelasi itu tidak peduli.
Agnes melihat ponselnya, tidak ada jawaban sama sekali dari Matius. Padahal pemuda asli NTT itu sudah berjanji akan menjadi penunjuk jalan bagi Agnes. Mereka awalnya berkenalan di Surabaya, Agnes lalu menceritakan keinginannya untuk mencari keberadaan sang papa pada Matius. Dan Matius berjanji akan menemaninya selama di Alor nanti. Namun sudah hampir dua jam, Matius tidak juga muncul.
“Ah omong kosong!” Agnes melompat masuk ke dalam kapal. Ia bertemu dengan beberapa turis asing, tampaknya mereka akan diving, di Alor banyak terdapat spot untuk menyelam. Tapi anehnya pakaian mereka sudah basah kuyup.
“Apa nggak dingin ya?” batin Agnes heran, melihat kondisi para turis asing itu.
Agnes nyengir sambil membungkukkan badan saat melewati para turis tersebut. Berharap disapa oleh mereka, namun tidak ada yang merespon. Ya sudahlah pikir Agnes dalam hati, ia lalu menuju ke bagian buritan kapal. Jam tangannya menunjukkan pukul 01.00 WITA, perjalanan dari Kalabahi menuju Pelabuhan Sifala sekitar tujuh hingga delapan jam lagi. Kabarnya Theo Doe sempat terlihat di sana.
Atau begitulah yang pernah ia dengar dari Suster Maria ketika akan meninggalkan panti dulu, “Kamu masih mau mencari papamu Agnes?” pertanyaan Suster Maria itu seakan menampar pipinya. Agnes paham sekali, sangat paham malah, itu bukan hanya sekadar pertanyaan. Tapi lebih pada keraguan akan sesuatu yang sungguh sia-sia. Sejak meninggalkan bayi tanpa ibu itu di depan panti asuhan Kasih Mulia, lebih dari tiga puluh tahun lalu, Theo Doe tak pernah lagi menemui Agnes. Jangankan untuk menimang, ia bahkan tidak pernah memberikan uang susu untuk buah hatinya. Semua kebutuhan Agnes diperoleh dari ketulusan Suster penjaga panti. Juga kebaikan para donatur yang dermawan.
Theo Doe hanya meninggalkan selembar foto dirinya bersama Agnes. Foto yang menunjukkan satu lokasi dimana ia pernah berada, Alor. Setelah Agnes mengetahui foto itu beserta secuil cerita saat Theo Doe menitipkannya di panti, cita-citanya berubah. Ia tidak lagi berhasrat untuk menjadi perawat, Agnes hanya ingin tahu keberadaan sang papa dan ingin bertemu dengannya.
“Hanya dia keluarga yang kupunya suster,” jawab Agnes dengan lirih,
“Apa pun yang pernah ia lakukan padaku, ia tetap papaku.”
Suster Maria mengangguk, ia tahu tidak ada seorang pun yang akan bisa mencegah Agnes. Walau di balik itu semua, Suster Maria masih menyimpan sesal dalam hatinya. Andai ia tidak pernah menunjukkan foto Theo Doe. Andai ia sanggup berbohong tentang kejadian tiga puluh tahun lalu. Tentu Agnes tidak akan menggebu mencari sang papa. Mulai saat itu Suster Maria membantu Agnes untuk mencari keberadaan nahkoda tersebut. Ia mengontak seluruh teman di jaringan panti asuhan sampai ke wilayah timur. Hingga seorang temannya di Kupang memberi kabar, jika pernah mendengar keberadaan Theo Doe di sekitar pelabuhan Sifala.
“Semoga Tuhan selalu menjagamu anakku,” itulah kata-kata perpisahan yang mampu diucapkan Suster Maria sambil memeluk Agnes.
Dengan modal informasi sangat terbatas itulah, Agnes nekat mencari Theo Doe. Namun kegelisahan selalu menggelayuti hatinya. Apa yang harus ia katakan pada sang papa jika nanti bertemu? Apakah ia harus marah atau bahagia? Bagaimana jika Theo Doe memang tidak lagi mau bertemu dengannya?
“Peduli setan mau terima atau nggak, penting ketemu dulu,” tubuh Agnes merosot ke bawah, ia menyandarkan punggungnya pada peti-peti kayu muatan kapal.
Perairan Alor malam hari begitu sunyi. Agnes mulai mengantuk, buaian angin laut seakan mengajaknya untuk terpejam. Agnes melirik jam tangannya, aneh, sedari tadi angka yang tertera tidak berubah sama sekali. Tetap seperti awal ia memasuki kapal tersebut, pukul 01.00 WITA. “Kok rusak ya?” ucap Agnes sambil mengetuk-ngetuk kacanya. Ia tidak merasa benda itu terbentur atau terjadi apa pun yang menyebabkannya tak berfungsi. Saat sedang sibuk memperbaiki jam tangannya, mendadak Agnes merasakan kapal goyang dengan sangat hebat disertai angin kencang yang menyambar dari arah lautan. Hantaman gelombang tinggi membuat kapal miring ke sisi kanan, sirine kapal menyalak, kepanikan melanda isinya. Agnes segera bangkit dan lari mencari pertolongan. Ia sempat terjatuh saat kakinya tiba-tiba tersandung sesuatu, sebuah pelampung. Agnes segera memakainya, tampak pemandangan di depannya orang-orang yang panik.
“Ayo lekas lompat!” Teriak Agnes parau, namun tidak ada yang menghiraukannya,
“ Hei, ayo lompaaat!” sekali lagi Agnes berusaha mengajak para penumpang lain untuk menyelamatkan diri. Hanya saja tidak ada yang mendengar teriakan gadis itu.
Sisi kiri kapal dihajar gelombang secara bertubi-tubi. Air laut mulai membasahi geladak, Agnes berusaha sekuat tenaga menjaga keseimbangannya. Beberapa kali ia bangun setelah jatuh terpeleset karena menginjak lantai basah.
Melihat dirinya diacuhkan, juga kondisi kapal yang sudah tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, Agnes memutuskan untuk melompat dari kapal celaka itu. Tidak ada satu pun penumpang lain yang ikut dengannya. Dalam kepasrahan, Agnes hanya bisa melihat kapal bertuliskan Runa Bahari itu karam.
***
“Nona Agnes? Ah, su sadar tampaknya, puji Tuhan,” suara Matius membangunkan Agnes, ia sudah berada di sebuah rumah sakit.
“Nona kenapa? Beta su larang Nona pigi sendiri to?”
Matius datang bersama kawannya bernama Yoseph Manapa, ia seorang kelasi. Ternyata alasan Matius tidak muncul kemarin karena sedang mencari kawannya tersebut. Ada kabar yang harus ia beri tahu pada Agnes. Namun belum sempat Matius menjelaskannya, Agnes sudah terlanjur marah,
“Kau ke mana?! Aku menunggumu berjam-jam Matius!!”
Dengan suaranya yang serak karena terlalu banyak menelan air laut, Agnes mengomel menceritakan kejadian nahasnya. Semua ia muntahkan begitu saja di hadapan Matius dan Yoseph. Agnes bahkan tidak memberikan sedetik pun waktu untuk Matius maupun Yoseph menyela omongannya. Mereka berdua terpaksa mendengar ocehan Agnes dengan serius. Sampai sejurus kemudian saling berpandangan bingung. Yoseph yang sedari tadi diam lalu berkata,
“Maaf Nona, sa tak tahu harus percaya dengan Nona punya cerita atau tidak, tapi…”
“Kapal Runa Bahari itu su karam hampir tiga tahun lalu.”
Yoseph bercerita ia dulu pernah bekerja sebentar di sana, tapi kemudian pindah, itu tak lama sebelum kapal Runa Bahari mengalami kecelakaan.
“Dan satu lagi Nona, yang kemudikan kapal Runa Bahari itu pu nama Bapa Theo Doe.”
“Tidak ada yang selamat,” tutup Yoseph dengan dingin.