sastrawan legendaris

Nama Abdoel Moeis mungkin tidak terlalu muncul ke permukaan akhir-akhir ini. Abdoel Moeis dikenal sebagai sastrawan legendaris, politikus, dan wartawan berdarah Minakabau. Sastrawan legendaris yang juga dianugrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional itu lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat pada 3 Juli 1883. Tanggal lahir Abdoel Moeis ini juga ditetapkan sebagai hari sastra Indonesia. Sebagai sastrawan, nama Abdoel Moeis mulai melejit berkat novelnya yang berjudul Salah Asuhan. Novelnya yang berjudul Salah Asuhan dianggap sebagai salah satu karya sastra modern awal terbaik yang digadang-gadang sebagai puncak roman pada zamannya.

Tulisan Abdoel Moeis yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1928 satu ini tidak hanya menceritakan tentang percintaan antara pemuda dan pemudi, tetapi banyak tema kompleks yang menarik, yakni diskriminasi ras, diskriminasi sosial, penyesalan, dan keputusasaan. Namun, sebelum namanya dikenal sebagai sastrawan, berbagai lika-liku perjalanan karir Abdoel Moeis lalui.

Sastrawan yang mengenyam pendidikan dasar di Europees Lagere School (ELS), lulus dari Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil), dan tiga tahun di Stovia (sekolah dokter) Jakarta. Dia keluar dari Stovia sebelum tamat karena sakit. Karir Abdoel Moeis bermula ketika dirinya diterima di Departemen van Onderwijs en Eredienst sebagai klerk, suatu departemen yang dipimpin oleh Mr. Abendanon pada tahun 1903 hingga tahun 1905.

Kemampuan Bahasa Belanda Abdoel Moeis yang mumpuni menghantarkannya menjadi korektor naskah di surat kabar harian berbahasa Belanda, yakni  De Preanger Bode di Bandung. Dan hanya dalam tempo 3 bulan, Abdoel Moeis diangkat menjadi hoofdcorector (korektor kepala).

Perjalanan karir Abdoel Moeis mulai merambah ke bagian penerbitan dan pemasaran pada tahun 1913. Pada tahun tersebut, Abdoel Moeis diangkat dan dipercaya sebagai pemimpin redaksi Harian Kaoem Moeda dan tergabung menjadi anggota Serikat Islam pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Posisinya sebagai pemimpin redaksi menjadikannya lebih leluasa untuk melebarkan sayapnya melalui tulisannya.

Tahun 1917, ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Abdoel Moeis mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan pada kunjungan itu. Pada tahun 1918, Abdoel Moeis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.

Pertentangan dalam tubuh Serikat Islam membuat ia meninggalkan Jakarta dan kembali ke Sumatra Barat pada tahun 1923. Di Sumatra Barat ia meneruskan gerakan politiknya. Abdoel Moeis memimpin harian Utusan Melaju dan harian Perobahan yang dengan gigih melawan segala kebobrokan Belanda. Akan tetapi, setelah peristiwa tahun 1926/1927, yaitu perlawanannya terhadap politik pajak tanah dan perpanjangan waktu erfpacht dan ditambah lagi dengan aksinya dalam gerakan adat yang sangat menggemparkan, Abdoel Moeis tidak bebas lagi dalam berpolitik. Dia diasingkan ke Pulau Jawa dan tidak menonjolkan diri lagi dalam Serikat Islam.

Sejak itu ia menulis novel dan menyadur sastra asing sampai dengan akhir hayatnya. Abdoel Moeis menghembuskan napas terakhirnya di Kota Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dan Jenazahnya dikebumikan di TMP Cikutra, Bandung, meninggalkan dua orang istri dan 13 orang anak.

Novel paling terkenal garapan sastrawan legendaris ini adalah Salah Asuhan, yang mengisahkan tentang kehidupan pemuda bernama Hanafi dan gadis keturunan Pribumi-Perancis bernama Corrie de Busse.

Kehidupan terjal yang mereka lalui berawal dari rasa cinta yang tumbuh di hati kedua insan tersebut. Sejak masih muda, Hanafi dititipkan ke orang Belanda untuk bersekolah. Sejak kala itu juga Hanafi telah menganut prinsip hidup orang barat dan tak ingin bergaul dengan sesama pribumi.

Namun, Hanafi pun tak sepenuhnya diterima oleh bangsa barat. Pernikahan tanpa rasa cinta dengan Rapiah dan pertemuannya kembali dengan Corrie saat ia berobat di Betawi membuat Hanafi rela membuang nama dan bangsanya untuk bergabung dengan bangsa barat demi tetap menjalin kasih dengan Corrie. Pernikahannya dengan Corrie pun tetap ia laksanakan meskipun mendapat berbagai tentangan dan wejangan. Alhasil, ketika kabar pernikahan mereka yang muncul ke permukaan mereka dibenturkan dengan keras terhadap diskriminasi dan lambat laun cekcok yang semakin sering menghantarkan mereka kepada kerenggangan hubungan. Puncaknya Hanafi menuduh Corrie berzina sebab ia menemukan sebuah putung rokok di rumah mereka yang membuat Corrie pergi dari rumah. Kematian Corrie di Surabaya akibat kolera membuat Hanafi yang masih mencintai Corrie ikut menyusulnya dengan menelan obat sublimat hingga meregang nyawanya.

Novel yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul “Never the Twain” oleh Yayasan Lontar pada tahun 2010 ini, ditulis Abdoel Moeis dengan berbagai pesan-pesan tersembunyi yang masihlah relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Terbutakan oleh cinta yang hanya akan menghasilkan penyesalan tanpa adanya rencana matang terutama dalam pernikahan, menjadi salah satu pesan yang masih relevan bagi kaum muda.

Mengingat, pernikahan dini dan perzinaan masih banyak terjadi di golongan pemuda saat ini. Pesan lain yang ada di dalamnya adalah tentang kebangsaan, sebab yang akan menerima dan menjadi tempat pulang tetaplah tanah air kita. Selain itu, pesan tentang kekeluargaan juga menjadi sorotan di dalam novel setebal 273 halaman ini.

Kasih sayang Ibu Hanafi dan kesabaran Rapiah terhadap Hanafi membuktikan bahwa keluarga akan menerima apa adanya Pesan-pesan tadi menjadi alasan tambahan untuk lebih mengenal Abdoel Moeis Sang Sastrawan Legendaris melalui karya-karyanya. Selain novel Salah Asuhan, terdapat juga karya-karya lain yang ditulis oleh pengurus besar Sarekat Islam ini, yakni Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953) yang masih kental dengan stratifikasi sosialnya. Abdoel Moeis juga menulis beberapa karya saduran dari bahasa asing, yakni Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here