Kemunculan atau pengkategorian sastrawan-sastrawan Angkatan 66 ke permukaan dunia kesusastraan Indonesia tak lepas dari gejolak sosial-politik masa itu. H.B. Jassin, adalah pencetus awal sekaligus pelaku utama dari kampanye Angkatan 66 mengungkapkan pemikirannya melalui tulisannya yang tayang di Majalah Horison Nomor 2 tahun 1966; bahwa Angkatan 66 muncul atau diilhami oleh peristiwa sosial-politik yang terjadi pada tahun tersebut.
Akan tetapi, periodisasi Angkatan 66 ini banyak mengundang kontroversial dan tidak diterima dengan langsung oleh para sastrawan lainnya. Walau demikian, periodisasi ini bukan semata perkumpulan tanpa arah atau demonstrasi melalui literatur sastra saja, lebih dari itu. Terlihat dari fokus Angkatan 66 yang juga dengan lantang menggambarkan perlawanan dan kritik sosial dalam karya-karyanya.
Karkateristik yang paling mencolok dari Angkatan 66 ini ialah; puisi-puisinya yang menggambarkan kemuraman dan penderitaan hidup, prosanya yang menggambarkan masalah sosial, fiksi-fiksinya yang bergeseran banyak dengan politik pemerintahan, dan semacamnya.
Meski banyak yang menolak, Angkatan 66 masih menjadi penanda dari transisi kesusastraan Indonesia, dan telah terlibat oleh kebaharuan tema, bentuk, gaya, dan lain-lain. Sastrawan-sastrawan yang digolongkan ke dalam Angkatan 66 tidaklah sedikit. Mereka, biasanya terdiri dari orang-orang Manikebu yang sempat berseteru oleh Lekra pada masa-masa kegentingan.
Adapun siapa saja orangnya, tentu tak bisa keseluruhan dirangkum dalam tulisan ini. Semilir hanya akan berikan nama-nama sastrawan-sastrawan yang sekiranya menonjol dalam Angkatan 66. Siapa saja mereka? Berikut selengkapnya.
Taufiq Ismail
Taufiq Ismail adalah sastrawan yang paling mencolok di dalam Angkatan 66. Meski telah menulis jauh sebelum tahun 1960-an, oleh H.B. Jassin, Taufiq dikategorikan sebagai Angkatan 66 karena ruh dari puisi-puisinya yang sesuai dengan gagasan tercetusnya angkatan tersebut. Puisi-puisi Taufiq sarat akan pembelaan atas keadilan dan kebenaran. Puisi-puisinya juga kerap kali disebut sebagai penanda eksistensi dan tonggak kelahiran dari Angkatan 66.
Lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Taufiq Ismail aktif di berbagai kegiatan pada masa kuliahnya. Ia pernah menjadi ketua federasi teater bogor, dan lain-lain. Selepas kuliah ia pernah menjadi anggota DKJ, dan redaktur di Majalah Horison. Kumpulan sajak-sajaknya yang terkenal adalah Tirani (1966), Benteng (1966), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), dan Sajak-Sajak Ladang Jagung (1973). Taufiq juga sempat produktiv menulis sajak-sajak yang bernuansa islami.
Mansur Samin
Kemudian ada Mansur Samin dengan karyanya yang berjudul Perlawanan. Mansur Samin adalah sastrawan Indonesia yang lahir di Batang Toru pada tanggal 29 April 1930. Ia menulis sajak dan drama, serta aktif juga sebagai seorang wartawan untuk Harian Merdeka. Samin juga seorang redaktur mingguan di Solo, dan redaktur cerpen. Bersama yang lain, ia merupakan sastrawan Angatan 66 yang karyanya sangat genting akan tindakan perlawanan.
Karya-karya Mansur Samin antara lain Kebinasaan Negeri Senja, Dandang Kabur Senja, dan Tanah Air. Samin juga sedikit banyak menulis cerita-cerita anak. Pengaruh tulisannya datang dari impresinya terhadap masa lalu di kampungnya. Samin hidup dalam keadaan perang, penindasan, dan perlawanan mempertahankan territorial. Maka sebab itu banyak dari warna karyanya beririsan dengan keadaan masa lalunya.
Bur Rasuanto
Belajar menulis cerpen secara intens bersama H.B. Jassin, Bur Rasuanto terkenal sebagai cerpenis yang berkarakteristik. Ia kerap mengangkat cerita-cerita yang berkaitan dengan kehidupan buruh industri kilang minyak—yang pada masa itu sangatlah baru. Ia digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66 karena narasinya yang secara produktif mengangkat isu-isu buruh.
Bur Rasuanto lahir di Palembang pada tanggal 6 April 1937. Bur Rasuanto memang mantan pekerja kilang minyak, dan itu sangat berpengaruh pada setiap kemunculan karya-karyanya. Di tempat kerjanya dulu, ia melihat banyak persaingan, dendam, dan iri, akibat gaji-gaji yang kerap tak sesuai. Cerpennya yang paling dikenal adalah Mereka Akan Bangkit, yang terdiri dari kurang sedikitnya 9 cerpen. Selain itu, banyak lagi cerpennya, bahkan memenangi beberapa penghargaan, sebut saja Pertunjukkan dan Discharge.
Umar Kayam
Umar Kayam adalah sastrawan Indonesia yang tergolong Angkatan 66. Ia seorang cerpenis yang sangat realis dan terampil. Ia juga seorang guru besar fakultas sastra Universitas Gajah Mada. Umar Kayam lahir di Ngawi pada tanggal 30 April 1932. Ia juga seorang aktor yang pernah bermain dalam film tentang pembunuhan PARA jenderal oleh komunis PKI.
Umar Kayam sejak muda telah menggeluti bidang menulis. Ia tercatat telah menulis banyak karya baik di luar akademik maupun di dalam akademik. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan adalah karya cerpen yang menaikkan namanya ke konstelasi kesusastraan Indonesia. Tak cuma itu, karyanya yang berjudul Sri Sumarah dan novel Para Priyayi mengangkat nama Umar Kayam sebagai pengarang paling kaliber dan legendaris di Indonesia.
Ajip Rosidi
Ajip Rosidi adalah salah satu penulis sastrawan yang telah aktif sebelum adanya Angkatan 66. H.B. Jassin memasukkannya dalam daftar sastrawan Angkatan 66, sebab puisi-puisinya yang relevan dengan apa yang digagas oleh Jassin. Ajip mungkin menjadi salah satu sastrawan yang sangat aktif dalam dunia kepenulisan, baik sastra maupun di luar sastra. Ia juga pernah menulis cerita rakyat dan cerita wayang pada usianya yang relatif muda.
Lahir di Cirebon pada tanggal 31 Januari 1938. Ajip Rosidi hampir tak pernah absen dalam percaturan sastra Indonesia. Memang sejak muda ia telah menggeluti dunia kepangarangan atau kesusastraan, meski tak memiliki pendidikan yang tinggi pada saat itu. Ajip telah tercatat menelurkan karya antara lainnya puisi, cerpen, sampai dengan esai. Ia juga menerjemahkan beberapa karya-karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia.
Goenawan Mohamad
Bersama Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad merupakan penyair Angkatan 66 yang masih hidup hingga saat ini. Ia adalah salah satu orang yang ikut menandatangani Manifestasi Kebudayaan pada masa itu. GM, sapaannya, adalah penyair, wartawan senior, seorang intelektual, dan eseis ternama dari Indonesia yang mungkin masih berjaya pada saat ini. Ia telah menulis puisi sejak umur 17 tahun, puisi-puisinya dulu sering ditayangkan oleh Majalah Horison.
Goenawan Soesatyo Mohamad lahir di Batang pada tanggal 29 Juli 1941. Ia merupakan pendiri Tempo, Utan Kayu, dan Salihara. Gonawan masih aktif menulis hingga saat ini dan karya-karyanya selalu moncer, baik berupa puisi maupun esei. Saat ini ia juga merambah ke dunia melukis. Puisi-puisi Goenawan Mohamad yang terkenal adalah Parikesit, kemudian ada Fragmen, dan Don Quixote. Sementara tulisan-tulisannya yang tergabung dalam Catatan Pinggir, telah terhimpun dari tahun 1970-an sampai saat ini.
Itulah beberapa sastrawan Angkatan 66. Nama-nama di atas hanya sebagian kecil dari berapa banyaknya sastrawan yang tergolong Angkatan 66. Tercatat ada 30 nama lebih sastrawan yang digolongkan dalam angkatan ini. Sebut saja Soewardi Idris, Bastri Asnin, Yusach Ananda, Djamil Suherman, Bokor Hutasuhut, Gerson Poyk, Abdul Hadi, Sapardi Djoko, dan masih banyak lagi. Karya-karya mereka pun tidak kalah tenarnya dan bagusnya oleh nama-nama yang ada di atas.