Sejarah perbukuan di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang dan dinamis dalam perkembangan budaya tulis-menulis, yang berkembang seiring dengan perubahan politik, sosial, dan teknologi. Dari prasasti-prasasti kuno hingga buku digital di era modern, buku menjadi media penting dalam penyebaran pengetahuan, keyakinan, dan budaya di Indonesia. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi perjalanan evolusi perbukuan di Indonesia dari masa kerajaan hingga era digital, menggambarkan bagaimana buku terus memainkan peran sentral dalam pembentukan sejarah intelektual bangsa.
Era Kerajaan: Awal Mula Tradisi Tulis-menulis
Pada abad ke-4 hingga abad ke-15 M, budaya menulis sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Prasasti Kutai, yang ditulis sekitar 400 M dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, merupakan salah satu prasasti tertua di Indonesia. Prasasti ini mencatat kegiatan ritual dan kehidupan kerajaan, menjadi bukti awal penggunaan tulisan sebagai sarana dokumentasi. Begitu pula Prasasti Mulawarman di Kalimantan Timur, yang menunjukkan pengaruh kebudayaan India pada masa itu.
Selain prasasti, kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Mataram Kuno dan Majapahit mulai menggunakan daun lontar sebagai media tulis sejak abad ke-9. Naskah lontar ini berisi teks keagamaan, hukum, dan sastra, memperlihatkan kekayaan intelektual pada masa itu. Karya-karya seperti Serat Pararaton dan Kakawin Sutasoma tidak hanya menjadi warisan sastra, tetapi juga memberikan wawasan tentang struktur sosial, moral, dan religi masyarakat kerajaan.
Era Kolonial: Peralihan Media dan Kebangkitan Sastra
Masuknya penjajah Eropa ke Nusantara pada abad ke-17 membawa perubahan besar dalam dunia perbukuan. Pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), catatan administratif dan jurnal perjalanan mulai ditulis oleh orang Eropa di Indonesia. Misionaris yang datang untuk menyebarkan ajaran Kristen juga memperkenalkan percetakan di berbagai daerah. Buku-buku agama dan pelajaran dasar diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, membuka pintu bagi masyarakat pribumi untuk mengakses literatur tertulis.
Pada tahun 1855, percetakan pertama di Indonesia didirikan di Batavia. Percetakan ini menggunakan teknologi dari Eropa untuk mencetak buku dan surat kabar, termasuk buku sastra Melayu seperti Hikayat Hang Tuah dan Syair Siti Zubaidah, yang mulai dikenal luas pada abad ke-19. Meskipun masih berada dalam kontrol kolonial, penerbitan buku pada masa ini mulai menyebarkan ide-ide pendidikan dan memperkuat literatur lokal.
Kebangkitan Nasional dan Penerbitan Balai Pustaka
Memasuki abad ke-20, kebangkitan semangat nasionalisme melahirkan organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam dan Boedi Oetomo. Organisasi ini tidak hanya bergerak dalam perjuangan politik, tetapi juga mendirikan percetakan untuk menyebarkan gagasan kemerdekaan melalui buku dan pamflet. Pada tahun 1917, pemerintah kolonial mendirikan Balai Pustaka, yang kemudian menjadi penerbit utama di Indonesia, menerbitkan buku-buku sastra, pendidikan, dan terjemahan karya asing dalam bahasa Melayu. Balai Pustaka berperan penting dalam menyebarkan bacaan berkualitas dan memelihara bahasa Indonesia sebagai medium utama pendidikan.
Era Kemerdekaan dan Orde Baru: Dinamika Kebebasan dan Sensor
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, dunia perbukuan di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Banyak penulis seperti Hamka menciptakan karya yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Buku-buku ini menjadi sarana penting dalam membangun identitas nasional yang kuat. Pemerintah juga mulai mendirikan lembaga seperti Badan Bahasa pada tahun 1947 untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan sarana pendidikan.
Namun, di bawah rezim Orde Baru (1965-1998), kebebasan penerbitan buku dikontrol ketat oleh pemerintah. Banyak buku yang dianggap subversif atau menentang pemerintah dilarang beredar. Meskipun demikian, penerbitan buku tetap berkembang, terutama dalam mendukung program pendidikan nasional. Pada masa ini, literatur anak dan remaja mulai tumbuh, memberikan generasi muda akses pada cerita-cerita yang menggugah kreativitas dan imajinasi.
Era Reformasi dan Digital: Kebebasan Berbicara dan Perkembangan Teknologi
Reformasi tahun 1998 membawa kebebasan berbicara dan penerbitan yang lebih luas. Banyak penulis dan penerbit baru bermunculan, membahas topik-topik yang sebelumnya dianggap tabu. Penerbit independen seperti Gramedia, Mizan, dan Republika mulai berkembang pesat, memberikan ruang bagi penulis lokal untuk mengeksplorasi berbagai genre dan ide. Selain itu, perkembangan teknologi digital mulai memengaruhi dunia penerbitan. Buku elektronik (e-book) dan platform daring seperti Google Books dan Amazon Kindle mulai populer, menawarkan kemudahan akses ke ribuan buku hanya dengan satu perangkat.
Media sosial juga membawa perubahan signifikan dalam dunia perbukuan Indonesia. Penulis kini dapat mempromosikan karya mereka secara langsung kepada pembaca, menciptakan fenomena literasi baru di mana komunikasi antara penulis dan pembaca lebih interaktif.
Sejarah perbukuan di Indonesia adalah perjalanan panjang yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial, politik, dan teknologi. Dari prasasti kuno dan naskah lontar di era kerajaan, hingga penerbitan modern dan digital di era reformasi, buku selalu menjadi medium penting dalam penyebaran pengetahuan dan budaya. Sebagai bagian dari warisan intelektual bangsa, perkembangan buku di Indonesia mencerminkan semangat belajar, bertahan, dan terus berinovasi di tengah perubahan zaman.
[…] Perbukuan Dunia: Dari Tablet Tanah Liat hingga Era Digital Sejarah Perbukuan di Indonesia: Perjalanan Panjang Pengetahuan Tertulis Keunikan Al-Zahrawi: Bapak Bedah Modern dari Andalusia Ibnu Al Haytham: Bapak Optik […]