Fenomena sejarah digambarkan ulang oleh Jim Taihuttu dalam film “The East”. Dirilis pada November 2020 lalu, film ini mencoba untuk memberi sudut pandang dari negara Belanda sebagai negara yang pernah menjajah.
Film tersebut mengarkan sebuah fenomena dimana sebagian orang mengatakan bahwa Indonesia beruntung dijajah oleh Belanda karena telah memberikan dampak positif. Narasi ini terdengar layaknya kepasrahan untuk mengafirmasi inferioritas negara yang diduduki.
Kepasrahan justru muncul berkelindan dengan panjangnya catatan sejarah kekejaman negara penjajah. Perasaan beruntung akibat penjajahan tersebut seolah-olah mengaburkan adanya fakta pelanggaran kemanusiaan.
Untuk memperlihatkan keseriusan niat, syuting film pun dilakukan di Indonesia. Selain itu, tak ketinggalan juga sutradara menggandeng aktor-aktor Indonesia yaitu Lukman Sardi, Yayu Unru, dan Putri Ayudya.
Film diawali dengan kedatangan para tentara muda Belanda yang ditugaskan untuk merebut kembali tanah jajahan. Selain itu, diperlihatkan juga upaya pelemahan sisa-sisa pasukan Jepang dengan cara mengusirnya ketika berkonflik dengan pribumi.
Suatu hari, Johan—sebagai pemeran utama—mendapati situasi konflik antara pribumi dan tentara Jepang. Lantas, konflik ini diselesaikan oleh seorang tentara senior yang dijuluki De Turk/Westerling. Dari sinilah Johan—yang diperankan oleh Martijn Lakemeier—memiliki kedekatan dengan Westerling hingga dirinya bergabung dalam suatu pasukan khusus.
Westerling adalah seorang pemimpin bertangan besi. Tindakan sadisnya dalam memperlakukan pejuang kemerdekaan membuat naluri Johan goyah.
Pengalaman atas rasa bersalah dimanifestasikan lewat karakter Johan yang berperan sebagai tentara Belanda. Pada awalnya, Johan, menunjukkan semangat berapi-api karena merasa telah mengabdikan diri pada negara. Namun, setelah bertemu dengan Westerling, dirinya mulai mempertanyakan arti dari “pengabdian” tersebut.
Johan merasa bahwa praktik-praktik penguasaan seperti pembunuhan tak perlu dilakukan. Beban atas rasa bersalah tetap dipikul Johan. Hingga ia diberikan pilihan oleh Westerling untuk melarikan diri ke Belanda. Pilihan lain siap dibunuh apabila ia terus merasa bersalah atas tindakan penjajahan tersebut.
Berupaya untuk menunjukkan rasa bersalah yang mendalam, bumbu-bumbu cerita justru hadir menambah detail situasi yang terjadi. Terdapat ketimpangan relasi gender yang dinormalisasi oleh Johan atas Gita. Gita merupakan seorang perempuan pribumi. Relasi tersebut menempatkan perempuan pada posisi tak berdaya. Pada suatu adegan, ketika Gita sedang bersama tunangannya di rumah, tiba-tiba Johan datang.
Tunangannya mau tak mau bersembunyi hingga pada akhirnya Gita terpaksa pasrah menerima Johan karena statusnya sebagai pelanggan setia. Dengan demikian, bumbu tersebut semakin menunjukkan realita pelik yang terjadi saat itu.
Penyajian film dilakukan dengan menampilkan kilas balik pengalaman Johan saat melakukan kolonialisasi dan saat kembali ke negara asalnya. Gaya bercerita seperti itu ternyata tak serta merta membuat film dapat dipahami dengan mudah oleh penonton. Artinya, pilihan alur maju mundur ini merumitkan jalan cerita, alih-alih memperjelas tahapan emosi.
Akan tetapi, terlepas dari alur yang merumitkan jalan cerita, “The East”/”De Oost” patut diapresiasi karena berani menelanjangi sebagian peristiwa kelam masa lampau. Setidaknya, upaya ini dapat menjadi salah satu media pengakuan dosa yang telah dilakukan Belanda atas Indonesia.
Film tentu saja penting, tetapi tidak cukup untuk membuka tabir kejahatan masa lalu. Dibutuhkan usaha-usaha lain yang lebih kongkrit dalam mengakui kejahatan kemanusiaan oleh Belanda.