Suatu ketika Leopold II, Raja Belgia, dan Kaisar Wilhelm II, Raja Jerman, melihat sebuah parade militer dalam rangka perayaan ulang tahun Wilhelm II di Berlin. Di antara parade yang gempita itu Leopold menggerutu dengan geram kepada Kaisar Wilhelm II tentang kemunduran otoritas dan pembangkangan terhadap titah raja: “Tak ada yang tersisa untuk kita saat ini, sebagai raja, kecuali uang!” Namun, uang tanpa kekuasaan adalah sesuatu yang sumbang.
Karet yang berasal dari Kongo, tanah jajahan Belgia, akan membawa uang yang sangat besar; tetapi, kekayaan teramat sangat Kongo juga tak bisa memuaskan Leopold II. Kongo saja tak cukup, ia membayangkan suatu kerajaan dengan takhta tanpa cacat yang akan berdiri di atas dua sungai legendaris Afrika: Sungai Kongo dan Sungai Nil. Sebuah kerajaan mahabesar yang menghubungkan sungai-sungai dengan kereta api dan baja-baja. Hasratnya membangun sebuah kerajaan besar ini, pada tahun 1890an, membuat Leopold II mengutus sebuah tim ekspedisi dari timur laut Kongo menuju Lembah Nil. Di antara perjalanan ke lembah Nil itu, tim ekspedisi menemukan—tentu saja juga mengklaim—tambang tembaga kuno Bahr-el-Ghazal dan menempatkan sebuah kamp militer di sekitar tambang.
Nahas, ekspedisi ke Lembah Nil itu gagal, Prancis menjegal dan hasrat sebuah kerajaan besar yang diimpikan Leopold II jadi pupus. Meski ekspansi ke Lembah Nil gagal, tak memadamkan niatnya membentuk sebuah kerajaan besar dan koloni baru. Ia mengatakan dengan santai dan penuh rasa optimis: “Belanda, Spanyol, Portugal sedang berada di posisi dekaden dan negara-negara yang mereka jajah suatu saat akan dijual. Saya akan membuat sebuah Belgia kecil, dengan enam juta rakyat, sebagai ibu kota baru dari sebuah kerajaan yang sangat besar.” Oleh karena itu, untuk mencapai hasratnya membentuk sebuah ibu kota dari sebuah kerajaan besar, Leopold II bertanya kepada William Gladstone, Perdana Menteri Inggris, apakah Uganda bisa disewa.
Lagi-lagi, sama seperti proyek Lembah Nil, diplomasi Leopold II dengan Gladstone bertemu jalan buntu, dan usahanya membentuk sebuah kerajaan besar kandas. Meski gagal, ia tetap sukses sebagai penipu ulung dan begitu terampil sebagai tukang jagal. Karena hutang besar Belgia, misalnya, ia menipu dan memanipulasi perolehan hasil karet di negara jajahannya, Kongo, agar hutang Belgia bisa terus ditunda. Selain penipu ulung, Leopold II juga berhasil sebagai aktor paling mengerikan yang telah membunuh 10 juta rakyat Kongo; dan, karena kebengisannya ini, ia menjadi salah satu barang paling kotor yang mungkin ditemukan dalam sejarah manusia.
Tukang jagal itu menjalani hari-hari yang biasa-biasa saja, seperti orang yang sudah-sudah. Di umurnya yang ke 60 tahun, jika tak sedang bepergian, ia nyaris menghabiskan hidup yang ia gunakan buat orang sengsara itu di Chateau de Laeken, Istana Laeken di utara pusat Kota Brussels. Dia bangun subuh-subuh ketika matahari tampak hanya sedikit di ujung timur, lalu mandi air dingin, memangkas janggut, pijat, membaca surat pagi, dan sarapan besar (setengah lusin telur rebus, setumpuk roti panggang, dan setoples selai jeruk).
Setelah ritual pagi yang tenang di Laeken—terkadang juga ia habiskan pagi di Brussels—Leopold II mulai bersiasat dan mengatur kerja-kerja kenegaraan. Di Laeken pagi memang begitu tenang, tetapi di sebuah benua lain penjagalan terus berlangsung dan pagi tak lagi rapi. Benar, di Kongo penindasan tak kenal pagi atau malam; semua harus berdarah-darah sepanjang hari, demi Belgia, demi Leopold II. Karet dan gading gajah dikeruk, diangkut ke geladak kapal, melewati laut terik Atlantik Selatan, dan dijual di pasar-pasar Eropa.
Karena ledakan permintaan karet, sebagai komoditas utama Kongo, Belgia membutuhkan tenaga kerja tambahan untuk membangun sebuah kereta angkut dari Matadi ke Stanley Pool. Meski jalur kereta itu hanya 241 mil atau sekitar 388 km, proyek kereta angkut ini membutuhkan 60.000 pekerja. Dan, karena iklim yang panas, penyakit yang datang berganti-ganti, dan medan yang begitu sulit, pembangunan ini begitu keras, begitu akrab dengan ajal, dan menjadi salah satu proyek kereta angkut paling seram dalam sejarah.
Butuh tiga tahun untuk membangun empat puluh mil pertama dari total 241 mil. Seorang mandor dari Belgia mengatakan hamparan tanah dan lembah terlarang di jalur kereta angkut Kongo ini sebagai “tumpukan batu-batu begitu besar yang, di wilayah tertentu, umpama dilempar oleh para raksasa.” Seluruh rute proyek kereta angkut Matadi ke Stanley Pool membutuhkan sembilan puluh sembilan jembatan baja yang jika ditotal sekitar dua belas mil. Karena begitu besarnya tenaga yang dibutuhkan, mega proyek Leopold II ini tak bisa hanya dikerjakan oleh budak-budak kulit hitam; proyek gila ini membutuhkan darah lain selain rakyat Kongo.
Pada September 1892, ratusan pekerja dari Barbados, kepulauan Karibea, didatangkan ke kota pelabuhan Boma, Kongo. Ketika sampai di Boma, ratusan pekerja Barbados tersebut baru sadar ternyata kapal yang membawa mereka adalah kapal neraka. Di kota pelabuhan itu mereka berontak dengan amarah yang meluap-luap. Untuk meredam amarah, tentara membakar mereka, membunuh dua orang dan puluhan lainnya terluka. Ketika pemberontakan sudah padam, pada hari yang sama, orang-orang Barbados dikirim ke neraka Matadi untuk mulai bekerja membangun rel kereta angkut.
Pembangunan kereta angkut tersebut mungkin akan menjadi perkembangan penting bagi teknik sipil Belgia, namun menjadi katastrof mengerikan bagi manusia Kongo dan Barbados. Para pekerja tertimpa kecelakaan kerja, lainnya terkena disentri, cacar, beri-beri dan malaria. Hal tersebut diperparah dengan makanan tak layak makan dan cambukan cemeti para petugas pengawas proyek yang berjumlah dua ratus orang. Di sisi lain, mereka bekerja tanpa jaminan keselamatan sama sekali: mobil-mobil penuh muatan dinamit—beberapa di antaranya benar-benar meledak dan mengenai para pekerja—dan membuat mesin-mesin keluar dari jalur rel, lalu menghantam orang-orang.
Ketika malam yang teramat dingin tiba, tak ada tempat bernaung bagi para pekerja untuk tidur; dan hipotermia bukan barang langka. Ketika pagi datang dan terompet dibunyikan, tangisan pekerja mulai terdengar ketika melihat teman-temannya sudah tak lagi hidup karena diamuk gigil malam. Bagi buruh yang bandel, bengal, dan suka memberontak, mereka dirantai umpama anjing dan punggung-punggung mereka dicambuk. Tubuh para pekerja lebam, ringkih, dan kematian hanya berjarak seperlemparan lembing. Selama pengerjaan proyek jalur kereta dari Mutadi ke Stanley Pool itu, 132 orang kulit putih dan 1800 kulit hitam tewas.
Namun, neraka Matadi ke Stanley Pool bukan kegilaan terakhir Leopold II. Di bawah rezim gila ini, jutaan penduduk Kongo—termasuk anak-anak kulit hitam tanpa dan dosa—dimutilasi tanpa ampun, juga dibunuh atau terbunuh oleh ragam penyakit dan kelaparan.
Hal paling gila dari aturan Leopold II adalah ini: agar pelor Belgia tak sia-sia, Leopold II memerintahkan memotong telapak tangan sekaligus jari-jari rakyat Kongo sebagai bukti sah sebuah kematian. Menurut teori Sang Raja, memutilasi tangan kanan merupakan sebuah bukti tentaranya telah melakukan pembunuhan dan tak menyia-nyiakan peluru Belgia; singkatnya, asumsi teori Leopold II, mati dulu, mutilasi tangan kanan kemudian.
Namun, praktik di lapangan berkata lain: demi menghemat pelor dan mempermudah tugas, para tentara terkadang sekonyong-konyong memotong tangan kanan orang yang masih hidup, baik orang-orang dewasa maupun anak-anak. Juga demi menghemat pelor Belgia dan kemudahan tugas, para budak yang tak bisa menghasilkan cukup karet untuk disetor ke jagawana kulit putih, mereka tak akan lagi punya telapak tangan kanan. Setelah memutilasi tangan kanan itu, tentara Belgia meninggalkan korban dengan keadaan hidup atau mati. Tentu saja banyak dari rakyat Kongo menjemput ajal setelah mutilasi kejam itu karena tak mendapatkan pertolongan medis.
Korban-korban menjerit keras, tangan kanannya tanggal sudah. Mereka meminta bantuan dan belas kasih para tentara. Tentara-tentara gila itu terus saja acuh tak acuh sembari memegang tangan kanan korban yang sudah dimutilasi untuk disetor ke para komisar. Bagi korban yang terus bertahan hidup setelah peristiwa tangan-tangan putus itu, sepanjang hidup mereka tak lagi bisa menggenggam. Belgia telah membuat tangan kanan rakyat Kongo umpama sebilah tongkat dari tulang paus.
Kongo dijajah sejak 1885 hingga 1908, dan merdeka pada tahun 1960 dari Belgia. Adapun Leopold II, yang memimpin Belgia dari 1865-1909, telah merenggut 15 juta rakyat Kongo—dengan konsensus umum sebanyak 10 juta korban. Pada tahun 1894, seorang misionaris Swedia, mencatat sebuah nyanyian putus asa rakyat Kongo:
Kita penat sudah hidup di bawah sang tiran.
Kita tak lagi kuat melihat perempuan-perempuan dan anak-anak mungil kami dibegal
Dan dipelihara oleh orang-orang putih haram jadah itu.
Kita harus berperang…
Meski tahu kita pasti kalah, karena kita memang ingin ajal datang.
Kami ingin mati.
Mereka begitu ingin ajal datang, daripada hidup tapi anak-istri hilang dan tangan yang cuma sisa satu. Demikianlah kolonialisme Belgia telah membuat tangan-tangan itu putus; dan tangan kanan manusia Kongo telah menjadi, umpama, sebilah tongkat dari tulang paus.
Daftar Bacaan
Adam Hochschild. King Leopold’s Ghost: A Story of Greed, Terror, and Heroism in Colonial Africa, Mariner Books: New York. 1998. (h. 188 – 194).
Asafa Jalata. Colonial Terorrism, Global Capitalism, and African Underdevelopment: 500 Years of Crimes Againts African Peoples. The Journal of Pan African Stuies, vol.5., no.9, Maret 2013.
David Renton. The Congo Plunder and Resistance. Zed Books: London. 2007.
Godfrey Olukya. Belgian Colonial Atrocities Still Haunt Congolese, 2022. https://www.aa.com.tr/en/africa/belgian-colonial-atrocities-still-haunt-congolese/2499958
Jocelyn C. Zuckerman. The Youngest Victims of Belgium’s African Rule Are Still Seeking Justice, Decades Later. 2023. https://www.smithsonianmag.com/history/shattered-the-youngest-victims-of-belgian-rule-still-seeking-justice-decades-later-180981813/