Kata “Pujangga Baru” tidaklah asing di telinga terutama jika disandingkan dengan kata “pelopor”. Pujangga Baru adalah sebuah nama majalah yang diterbitkan bulan Juli 1933 hingga Februari 1942. Lahirnya Pujangga Baru diprakarsai oleh beberapa tokoh, salah satu pelopor angkatan pujangga baru yang melegenda di lingkup Sastra Indonesia adalah Sutan Takdir Alisjahbana.
Nama Sutan Takdir Alisjahbana melegenda dengan tulisan-tulisannya yang memiliki pandangan modern dan berorientasi ke dunia barat. STA berkata bahwa “otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat”. Bapak pendiri Universitas Nasional Jakarta, itu ingin mendorong pemikiran-pemikiran para cendekiawan Indonesia yang masih cenderung anti modernisasi dan anti barat untuk lebih maju dan terbuka pada masa itu.
Orientasi sosok sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia ini tercermin dalam karya-karya yang ditulisnya. STA cenderung menulis karakter tokoh dalam novelnya sebagai sosok yang berpikiran terbuka dan modern. Lalu siapakah sebenarnya Sutan Takdir Alisjahbana ini ?
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Tapanuli, Sumatra Utara, tanggal 11 Februari 1908, dan meninggal tanggal 31 Juli 1993. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit di sekitar Bogor. Pelopor angkatan pujangga baru ini lahir dari Ibu bernama Puti Samiah yang merupakan keturunan Rajo Putih, Salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal, tempat kelahirannya. Sedangkan, ayahnya adalah Raden Alisjahbana yang merupakan seorang guru. Selain itu, STA juga memiliki hubungan kerabat dengan Sutan Sjahrir yang menjabat sebagai perdana menteri pertama Indonesia.
STA muda, mengenyam pendidikan pertamanya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu tahun 1921. Lalu, ia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool yang berlokasi di Bukittinggi. Kemudian, ia meneruskan sekolahnya di Hogere Kweekschool (HKS, sekolah guru tingkat atas) di Bandung tahun 1928.
Sutan Takdir Alisjahbana mengawali karirnya sebagai guru sekolah dasar di Palembang pada tahun 1928-1930. Kemudian,di tahun 1930 Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pindah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka sebagai hoofredacteur (pimpinan redaksi) di majalah Panji Pustaka hingga tahun 1942. Di tahun 1942 juga, STA berhasil menyelesaikan kuliah hukumnya di Rechtshogeschool, sekolah hukum tinggi, meskipun harus menyelesaikan pendidikannya ditengah-tengah kegiatannya berkarir.
Pada tahun 1942 -1945 Sutan Takdir Alisjahbana bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi Bahasa Indonesia, Jakarta. Lima tahun berikutnya, hingga 1950, STA menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia.
Selain di bidang kepenulisan dan pendidikan dasar, STA juga menularkan ilmunya di Universitas Indonesia sebagai dosen Bahasa Indonesia, Sastra, dan Sejarah Kebudayaan pada tahun 1946-1948. Jabatan di bidang akademik lainnya yang pernah diemban oleh STA antara lain adalah rektor Universitas Nasional, guru besar luar biasa di Akademi Luar Negeri, Jakarta, guru besar di Universitas Andalas, guru besar di Akademi Jurnalistik, guru besar di University of Malaya, Kuala Lumpur, dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Karya-Karya STA
Karya pertamanya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang STA selesaikan hanya dalam waktu tiga minggu selama ia dirawat di rumah sakit Cimahi Bandung pada tahun 1982, karena sakit jantung yang dideritanya. Kemudian, STA menulis novelnya yang selanjutnya yang berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam pada tahun 1932. Karya yang digarap selanjutnya berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun di tahu yang sama. Anak Perawan di Sarang Penyamun awalnya ditulis oleh STA sebagai cerita bersambung dalam majalah Penindjauan, dan setelah delapan tahun, pada tahun 1940 cerita tersebut disatukan untuk diterbitkan menjadi novel.
Selanjutnya, ia menggarap salah satu karyanya yang terkenal, yakni Layar Terkembang pada tahun 1936. Dilanjutkan lagi dengan karyanya yang berjudul Grotta Azzura dan Kalah Menang yang diterbitkan pada tahun 1970 dan 1978. Selain karya-karya novel, STA juga menulis puisi kumpulan puisi, yakni Tebaran Mega (1935), Lagu Pemicu Ombak (1978).
STA juga menulis terkait filsafat, yakni Pembimbing ke Filsafat (1945), dan Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1938). STA juga merupakan orang pertama yang menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada tahun 1936 yang masih digunakan hingga saat ini.