Kelas menengah di Indonesia selama ini dikenal sebagai motor penggerak ekonomi. Tapi, kenyataan pahit menunjukkan mereka justru semakin tertekan. Dalam lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta orang dari kelas menengah harus “turun kelas.” Artinya, kelompok yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi ini sekarang justru banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Makan Jadi Prioritas Utama
Coba bayangkan, hampir 50% dari penghasilan orang-orang kelas menengah sekarang dihabiskan hanya untuk makanan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan signifikan dari 28,48% pada tahun 2014 menjadi hampir setengah dari total pengeluaran di tahun 2024.
Kenapa ini penting? Karena semakin besar pengeluaran untuk kebutuhan dasar seperti makanan, semakin kecil sisa yang bisa digunakan untuk hal-hal lain seperti tabungan, hiburan, atau investasi masa depan. Artinya, kelas menengah kita makin terhimpit.
Selain makanan, biaya perumahan juga memakan porsi besar, sekitar 28,5%. Sayangnya, pengeluaran untuk hiburan yang bisa jadi indikator kesejahteraan justru menyusut jadi 0,38%. Bisa dibilang, hidup kelas menengah sekarang bukan hanya berat, tapi juga minim kesenangan.
Daya Beli Terjun Bebas
Penurunan daya beli ini jelas terlihat. Menurut riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, kontribusi konsumsi rumah tangga kelas menengah terhadap total ekonomi terus menyusut. Pada 2019, kelas menengah menyumbang 43,3% konsumsi nasional, tapi di 2024 angkanya anjlok menjadi 36,8%.
Jumlah warga kelas menengah juga terus berkurang. Dari 57,33 juta orang pada 2019, kini hanya tersisa 47,85 juta. Banyak dari mereka yang terpaksa turun kelas dan masuk ke dalam kelompok rentan karena kehilangan pekerjaan atau harus pindah ke sektor informal yang pendapatannya nggak pasti. Ini bukan masalah kecil—turunnya daya beli mereka berpengaruh langsung pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
PHK dan Nasib Kelas Menengah
Salah satu penyebab utama kemerosotan ini adalah gelombang PHK yang melanda sektor manufaktur. Banyak pekerja kelas menengah dengan latar pendidikan SMA atau SMK yang dulunya bekerja di pabrik kini kehilangan pekerjaan dan kesulitan menemukan pekerjaan baru dengan gaji yang sepadan.
Data juga menunjukkan sektor manufaktur di Indonesia sudah menurun sejak 2010. Kondisi ini membuat banyak orang kelas menengah beralih ke pekerjaan informal seperti menjadi ojek online atau membuka warung kecil-kecilan. Tapi masalahnya, pendapatan dari pekerjaan ini jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Data dari Bank Dunia: Definisi dan Rentannya Kelas Menengah
Menurut studi Bank Dunia (2018), kelas menengah di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 10% per tahun pada periode 2002-2016. Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok dengan pengeluaran per kapita 7,5-38 dollar AS per hari (disesuaikan dengan PPP 2016). Di bawah kelas menengah ada “calon kelas menengah” (Aspiring Middle Class) dengan pengeluaran 3,3-7,5 dollar AS per hari, dan kelompok rentan dengan pengeluaran 2,2-3,3 dollar AS.
Meskipun pertumbuhan kelas menengah signifikan, mereka masih rentan terhadap gejolak ekonomi. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya 50% dari mereka yang menjadi kelas menengah pada tahun 2000 yang mampu bertahan sebagai kelas menengah pada 2014. Sebanyak 40% turun menjadi calon kelas menengah, dan 10% lainnya kembali menjadi kelompok miskin atau rentan.
Hukum Engel dan Dampak pada Kelas Menengah
Fenomena kenaikan proporsi pengeluaran untuk makanan ini dapat dijelaskan oleh Hukum Engel, yang menyatakan bahwa seiring dengan penurunan pendapatan, persentase pengeluaran untuk makanan meningkat. Chatib Basri, ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, juga menjelaskan bahwa ketika pendapatan seseorang menurun, mereka cenderung mempertahankan konsumsi makanan, meski harus mengurangi pengeluaran untuk hal-hal lain. Inilah yang terjadi pada kelas menengah Indonesia saat ini, di mana banyak yang terpaksa mengorbankan kebutuhan sekunder demi mempertahankan konsumsi makanan.
Riset terbaru Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan peningkatan pengeluaran untuk bahan makanan dari 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran, yang mengindikasikan semakin tertekannya daya beli kelas menengah.
Tren Penurunan dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional
Tekanan pada daya beli ini bukan fenomena baru. Menurut data Bank Dunia, sejak 2019 kelas menengah di Indonesia terus merosot. Pada 2018, kelas menengah mencapai 23% dari total penduduk, namun angka tersebut menurun menjadi 21% pada 2019 dan 17% pada 2023. Di saat yang sama, kelompok kelas menengah bawah (Aspiring Middle Class) membengkak dari 47% menjadi 49%, dan kelompok rentan juga meningkat menjadi 23%.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Telisa Aulia Falianty, menegaskan bahwa daya beli kelas menengah yang terus menurun ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di angka 5%. Menurutnya, konsumsi kelas menengah yang seharusnya menjadi pendorong ekonomi kini terhambat karena mereka lebih fokus pada kebutuhan dasar dan mengalami tekanan dari kenaikan inflasi.
Apa Solusinya?
Kondisi kelas menengah di Indonesia saat ini berada di titik yang mengkhawatirkan. Mereka menghadapi risiko besar untuk terus “turun kelas” jika tidak ada intervensi dari pemerintah. Program perlindungan sosial yang ada saat ini umumnya ditujukan untuk kelompok rentan dan miskin, sementara kelas menengah cenderung terabaikan.
Untuk menghindari semakin banyak orang yang jatuh ke dalam kelompok rentan, pemerintah perlu fokus pada penciptaan lapangan kerja yang layak, serta kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat. Jika tidak, kita akan terus melihat erosi daya beli dan semakin banyak orang kelas menengah yang kehilangan stabilitas finansial mereka.
Dengan jumlah kelas menengah yang terus menyusut, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan terancam stagnan. Ini bukan hanya soal konsumsi, tapi juga soal harapan dan masa depan.
tulisan bagus!